Alasan Bekerja Bagi Tuhan, Dimulai dari Rumah

Oleh : Hannah Anderson

Kita tidak terbiasa memikirkan kehidupan rumah tangga sebagai “pekerjaan.” Bahkan, kita sering menganggap rumah dan pekerjaan sebagai hal yang bertolak belakang. Kita membicarakan para wanita sebagai ibu “rumah tangga” atau ibu “yang bekerja.” Dan ketika seorang direktur perusahaan pensiun, kemungkinan ia akan melewatkan waktunya untuk komunitas atau mengurus cucunya. Tetapi jangan salah, ia tidak lagi “bekerja.” Bagi kebanyakan kita, rumah bukanlah tempat yang produktif. Namun apakah ini yang Tuhan maksudkan?

Referensi alkitabiah pertama ke rumah tangga terdapat di kitab Kejadian, segera setelah penciptaan laki-laki dan perempuan (Baca Kejadian 1). Ungkapan “berkembang biaklah dan bertambah banyaklah” (Kejadian 1:22) merujuk pada kemampuan manusia untuk memproduksi anak-anak. Namun ungkapan ini – ungkapan yang kita asosiasikan dengan kehidupan rumah tangga – berkaitan dengan ungkapan lainnya yang sama pentingnya: “Berkuasalah” (Kejadian 1:28). Dalam ekonomi Allah, mengolah dunia dan mengolah rumah tangga kita bukanlah panggilan yang terpisah. Keduanya sangat terhubung.

Maksudnya adalah “pekerjaan” tidak dapat dibatasi pada suatu kantor, ruang kelas atau lokasi konstruksi. Pekerjaan terjadi di segala tempat dan kapanpun kita melakukan apa yang Tuhan panggil, entah itu artinya melipat pakaian atau mengawasi penggabungan suatu perusahaan. Ini juga berarti bahwa kita semua terpanggil untuk bekerja sebab – entah itu pria atau wanita, tua ataupun muda – kita semua diciptakan seturut dengan gambar dan rupa Allah.

Jadi, bagaimana hal ini seharusnya mempengaruhi pemahaman kita akan rumah? Ini berarti kita tidak dapat lagi menganggap rumah semata-mata tempat untuk beristirahat namun seharusnya menganggapnya sebagai tempat untuk melayani dan suatu tempat produksi.

Di masa lalu, hubungannya lebih jelas. Toko pandai besi berada di samping rumahnya, pedagang tinggal di atas tokonya, dan petani mengolah lahan di sekeliling rumah yang ia bangun. Dan di setiap generasi, orangtua menurunkan ketrampilan mereka kepada anak-anaknya. Namun saat pekerjaan berpindah ke pabrik dan kantor, kita kehilangan visi holistik ini. Saat ini, selagi makin banyak dari kita yang “bekerja dari rumah”, kita dapat mulai berpikir secara berbeda tentang apa yang terjadi disana.

Saya bukan menyarankan agar setiap keluarga terpanggil untuk memulai suatu bisnis atau bahwa kita kita perlu mengubah meja makan menjadi meja tulis. Saya hanya menyarankan agar kita menyadari dan menghormati pekerjaan yang sudah terjadi di dalam lingkup rumah kita. Dan apa yang akan terjadi adalah pengembangan dan pembudayaan diri kita, yang diciptakan seturut dengan gambar dan rupa Allah, dimana kita terpanggil untuk bekerja sebagaimana Allah pun bekerja.

Ya, setiap hari Tuhan bekerja di dalam dan melalui kita. Namun ketika semuanya telah diucapkan dan dilakukan, pepatah lama akan terbukti benar: Tidak ada tempat seperti rumah sendiri.