Anjing Yang Hidup Dan Singa Yang Mati

anjing-hidup-singa-matiAnjing pada jaman kuno pada umumnya tidak menimbulkan emosi yang sama pada manusia seperti yang ditimbulkan oleh, misalnya saja jenis puddle. Sebagian besar anjing berkeliaran memunguti apapun yang mati. Mereka diperlakukan serupa dengan tikus-tikus di bawah tanah dan bukan diperlakukan seperti tokoh anjing Snoopy. Sebaliknya dengan singa. Saat itu (dan hingga sekarang) singa adalah simbol kehormatan dan bangsawan.  Tidak salah bila citra mesianis di dalam Alkitab mencakup hewan agung ini yang duduk di tempat teratas rantai makanan, menguasai wilayah dan bertarung demi kehormatan.

Namun Pengkhotbah mengatakan, “Anjing yang hidup lebih baik dari pada singa yang mati” (Pengkhotbah 9:4)

Untuk memahami perkataannya, kita perlu memahami lingkup proyek Salomo dalam kitab Pengkhotbah. Kitab ini mencatat pencariannya akan “hidup yang baik”. Sang Pengkhotbah melihat kehidupan “di bawah matahari”, yang mungkin lebih dapat dimengerti dengan menukar frase itu dengan frase yang lain yaitu “seperti yang terlihat”. Pada intinya ia hendak mengatakan, “Saya akan melihat kehidupan dari segi nominalnya, terlepas dari makna apapun yang diberikan oleh Tuhan maupun agama, dan berusaha mencari tahu apa yang baik, yang bermakna, dan layak diperjuangkan untuk dijalani.” Ia merangkum keseluruhan proyek ini dengan satu kata dalam bahasa Ibrani: hebel.

Kata ini telah diterjemahkan ke berbagai macam arti sebagai “kesia-siaan” atau “tanpa makna”, atau secara harafiah berarti “uap” atau asap”. Sang Pengkhotbah memulai kitab ini dengan berkata, “Kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia” (Pengkhotbah 1:2). Kalimat paling harafiahnya adalah, “Semua kehidupan adalah seperti uap”, segalanya seperti tak berarti. Anda dapat mengalami semua kesenangan dalam hidup ini – seperti uang, kekuasaan, dan seks – namun di dalamnya dan hasil dari hal-hal ini hanya membuat Anda hampa dan tidak puas.

Bahkan kebaikan moral pun tidak ada artinya di bawah pengamatan sang pengkhotbah:

“Segala sesuatu sama bagi sekalian; nasib orang sama: baik orang yang benar maupun orang yang fasik, orang yang baik maupun orang yang jahat, orang yang tahir maupun orang yang najis, orang yang mempersembahkan korban maupun yang tidak mempersembahkan korban. Sebagaimana orang yang baik, begitu pula orang yang berdosa; sebagaimana orang yang bersumpah, begitu pula orang yang takut untuk bersumpah. Inilah yang celaka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari; nasib semua orang sama. Hati anak-anak manusia pun penuh dengan kejahatan, dan kebebalan ada dalam hati mereka seumur hidup, dan kemudian mereka menuju alam orang mati. Tetapi siapa yang termasuk orang hidup mempunyai harapan, karena anjing yang hidup lebih baik dari pada singa yang mati.” (Pengkhotbah 9:2-4)

Takdir yang sama yang ia maksudkan disini adalah kematian. Sang pengkhotbah intinya mengatakan, “Kekayaan itu hebat, tapi kamu akan mati. Cinta itu hebat, tapi kamu akan mati. Kebaikan moral itu hebat, tapi kamu akan mati. Lebih baik anjing yang hidup daripada singa yang mati.”  Kematian adalah yang terjadi pada semua, dan kita semua hidup di dalam baying-bayangnya. Kematian menghancurkan akhir dari semua kisah kita.

Bila demikian, lalu mengapa kita berusaha untuk hidup seperti singa? Lagipula, fleksibiltas moral seringkali malah dihargai di dalam kehidupan ini. Kesempatan ada bagi kita semua yang memotong jalan, khususnya di tempat kerja. Kita mungkin tergoda untuk memakai sedikit gosip untuk mendapatkan keunggulan atas kompetitor kita atau untuk memanipulasi pelanggan dan menghasilkan komisi yang lebih besar. Kita mungkin tergoda untuk menggambil beberapa barang kantor atau tidak membayar minuman yang kita ambil dari lemari es kantor. Atau kita malah tergoda untuk hal-hal yang lebih buruk lagi.

Dalam Pengkhotbah 9, sang Pengkhotbah mengekspos daya tarik dari ketidak-jujuran. “Di bawah matahari” sangatlah sulit untuk membenarkan komitmen terhadap integritas. Para anjing nampaknya baik-baik saja, dan di tempat kerja, mereka seringkali terlihat mengecoh dan bertahan lebih lama dari para singa. Bila kita menerima dunia semata-mata dari “yang kelihatan”, gaya hidup anjing lebih memikat. Kita ingin bertahan hidup – baik dalam arti harafiah maupun kiasan – dan bila kecurangan menolong kita untuk membayar tagihan atau lolos dari masalah, maka itulah yang akan kita lakukan.

Bila Anda mengambil firman ini di luar konteks, Anda dapat mengkhotbahkan khotbah yang cukup mengerikan tentang “Kesia-siaan Kebaikan Moral”. Namun jangan kuatir, bukan itu tujuan kita disini. Untuk dapat memahami bagian firman ini, kita perlu melihatnya dalam terang Pengkhotbah 12, dimana sang pengkhotbah berkata, “Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang. Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat” (Pengkhotbah 12:13-14).

Setelah melihat kehidupan dari “yang kelihatan”, ia menyimpulkan bahwa melihat dunia dengan cara seperti ini bukanlah cara yang baik dan satu-satunya cara untuk menemukan makna hidup adalah di dalam takut akan Tuhan.

Takut akan Tuhan menutupi semua rasa takut lainnya. Rasa takut akan atasan pemarah, tagihan yang belum terbayar, klien yang terlepas dan rasa takut lainnya hilang dalam terang Allah yang melihat “segala sesuatu yang tersembunyi” dan akan menghakiminya satu hari nanti. Perintah-perintah ini pun bukanlah batasan-batasan bersifat hukuman yang dengannya Allah menghukum ciptaannya yang tidak taat. Perintah-perintah itu menyingkapkan dunia sebagaimana ia diciptakan. Kita tidak diciptakan untuk hidup seperti anjing, dan bila kita hidup seperti anjing hal itu akan merusak bukan hanya dunia di sekeliling kita melainkan juga jiwa kita. Hal ini merusak diri kita sendiri. Takut akan Tuhan dan mengikuti perintah-Nya membentuk jalan menuju kehidupan yang sebenarnya, menjadi manusia yang seutuhnya.

Dunia yang kita tinggali ini sedang frustasi. Kerja keras seringkali terasa seperti mengejar angin. Berusaha untuk berbuat baik dan mengasihi sesama kita terasa seperti suatu kebodohan khususnya ketika para “anjing” terus mendapatkan kenaikan gaji dan promosi. Namun dunia yang seperti itulah yang Yesus masuki, dan melalui kehidupan, kematian dan kebangkitan-Nya, Ia mengubahnya. Oleh kasih karunia-Nya, kita dipulihkan, dan kita dapat bertahan melalui badai kehidupan, berbagai masalah serta ketidakadilan dalam dunia kerja. Kita dapat mengikut Yesus dan hidup dengan cara yang mengijikan kita untuk berkembang dan maju. Dan kita dapat tinggal tenang dengan mengetahui bahwa, sekalipun dunia ini tetap menjadi dunia anjing makan anjing, hal itu tidak akan demikian selamanya.