Berduka Dan Bersuka Pada Saat Paskah

(Daniel Darling)

Sebagian dari kita berfokus pada salib, yang lain hanya memperhatikan kebangkitan – padahal cara terbaik untuk memperingati Paskah adalah dengan berada di dalam keduanya.

“Kita jangan mengadakan ibadah Jumat Agung. Itu terlalu suram,” seorang pemimpin gereja pernah berkata begitu pada saya. “Paskah adalah tentang kebangkitan. Tentang sukacita.”

Seorang pemimpin lain mengatakan hal yang sebaliknya tentang Paskah. “Merayakan Paskah itu terlalu bergembira. Dapatkah kita agak lebih merenungkan tentang salib?”

Pandangan keduanya sama-sama baik, yang jika digabungkan mungkin dapat merefleksikan ketegangan yang terdapat dalam cerita-cerita Alkitab tentang kesengsaraan dan kebangkitan. Kita bisa mendeteksi, dari bahasa yang tidak hanya diungkapkan oleh penulis Injil tetapi juga para murid, ada semacam perasaan tertahan yang sangat kuat. Bahkan setelah Yesus bangkit dan menampakkan diri kepada mereka di ruang atas, dengan bekas luka-luka di tubuh-Nya, para murid menunjukkan perasaan campur aduk antara gembira dan sedih. Hal yang sama bisa terjadi pada kita pada saat Paskah.

Kita bisa berduka karena merasakan betapa beratnya hukuman dosa yang ditimpakan kepada Tuhan kita yang tidak berdosa. Seperti Yesus saat berada di makam sahabat-Nya, Lazarus, kita tak perlu ragu untuk menangis dan bahkan marah atas akibat kontaminasi dosa yang sudah merasuki seluruh kehidupan manusia. Seringkali, di pemakaman-pemakaman orang Kristen kita mengabaikan kesedihan ini dan mengalihkannya pada betapa bahagianya orang-orang kudus yang telah meninggal di surga. Padahal Yesus sendiri menangis ketika melihat kematian. Dan Paulus memandang kematian sebagai musuh kuat kita yang terakhir (1 Korintus 15:26; Ibrani 2:15). Jadi, pada saat Paskah maupun Jumat Agung, marilah kita berkabung.

Namun Paskah juga merupakan saat untuk bersukacita luar biasa. Kutuk dosa yang mengerikan sudah dipatahkan; Kristus sudah mengalahkan maut dan Iblis. Karena Yesus bangkit, secara tubuh dan jiwa, kita juga akan bangkit, secara tubuh dan jiwa. Musim dingin yang panjang dari bumi yang terkontaminasi dosa ini sedang beralih, perlahan-lahan, kepada pembaruan dan penciptaan kembali. Itulah sebabnya saya bersukacita, setidaknya dari sudut pandang planet saya, Paskah adalah musim semi. Musim semi mengingatkan kita bahwa setelah musim dingin yang panjang dan suram, ada kehidupan baru di kaki langit ini. Bunga-bunga mulai bermekaran, pohon-pohon kembali ke warna segarnya, dan langit menjadi lebih cerah. Ada sebuah penantian dan kerinduan yang tampaknya merefleksikan penantian dan kerinduan akan pembaruan Allah bagi dunia di dalam Kristus.

Tiba-tiba saja tebersit di pikiran saya bahwa, sebagian dari kita kemungkinan adalah orang-orang Jumat Agung. Termenung. Suram. Murung. Dan sebagian dari kita adalah orang-orang Paskah: optimis, ceria, penuh harapan. Gereja Yesus Kristus membutuhkan keduanya. Tetapi lebih dari itu, setiap kita juga memerlukan sedikit ketegangan Jumat Agung/Minggu Paskah yang terjadi di hati kita sendiri.

Ketegangan itu adalah, mengapa ibadah hari Minggu kita harus mencakup kemenangan dan  ratapan. Kebanyakan kita pergi ke gereja dengan membawa sebagian dari keduanya – beban-beban kesedihan yang terus ada, tetapi juga kantong-kantong sukacita orang Kristen. Dan demikian jugalah cara kita menghidupi dan menyampaikan pesan Injil dalam keluarga dan komunitas kita. Kita perlu menolak dorongan untuk bergembira atas dahsyatnya kerusakan yang kita jumpai di sekitar kita, masalah-masalah menyebalkan yang melanda orang-orang terkasih dan dunia. Pada saat yang sama, kita juga tidak perlu “berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan,” sebagaimana dikatakan Paulus kepada orang-orang di Tesalonika yang sedang kehilangan  (1 Tesalonika 4:13).

Pengharapan Injil memberi kita sarana untuk hidup dalam realitas kehidupan yang sudah-tetapi-belum ini. Salib mengingatkan kita pada sifat kejahatan dan juga pengorbanan Juru Selamat, yang sudah menanggung murka Allah bagi kita. Tetapi kebangkitan mengingatkan kita bahwa dosa, kematian dan kubur bukanlah realitas permanen, bahkan bagi umat Allah yang sedang mengalami penderitaan yang tak terkira. Paskah – dengan realitas penyaliban dan juga pengharapan musim semi yang membayanginya – mengingatkan kita bahwa keselamatan dalam Kristus sudah ada di sini dan juga masih dalam perjalanan saat kerajaan-Nya datang kembali secara penuh.

Jadi, saat Anda memperingati Paskah, biarkanlah diri Anda diliputi dukacita Jumat Agung. Berdoalah, menangislah, termenunglah. Tinggallah berlama-lama di depan gambar Juru Selamat Anda yang tergantung di salib. Tetapi juga bersukacitalah karena Allah yang mahakuasa, yang sebelum dasar bumi ini diletakkan sudah merangkai cerita Injil yang besar yang meliputi kisah Anda di dalamnya. Bangkitlah dengan sukacita Paskah yang menciptakan-kembali segala yang sudah rusak oleh dosa. Selamilah kedahsyatan kebangkitan tubuh Yesus. Sebagaimana dikatakan penulis kitab Pengkhotbah, ada waktu untuk menangis dan ada waktu untuk tertawa (Pengkhotbah 3:4). Pada saat Paskah, waktu-waktu itu adalah satu dan sama.