Gereja yang Membutuhkan

Apa yang dapat dipelajari gereja-gereja Barat dari orang-orang Kristen di Nigeria.

Oleh : Matt Woodley                                        

Teman-teman Amerika saya seringkali ingin mengetahui tentang perjalanan saya ke Jos, Nigeria. “Seperti apa sih?” tanya mereka. “Apa yang kamu lakukan untuk mereka saat kamu disana?” Biasanya saya akan mengatakan sesuatu seperti ini: “Ijinkan saya menceritakan kepadamu tentang Nigeria. Itu adalah negara yang indah!” Pasarnya dipenuhi oleh pedagang yang menjajakan pisang dan tomat segar; jalan-jalannya yang berdebu dipenuhi dengan mobil dan pejalan kaki; lembah hijau subur dan perbukitan yang indah di provinsi Plateau; moi-moi (kacang tumbuk yang pedas) dan ubi tumbuk lezat yang disajikan dengan daging kambing; para wanita Nigeria yang mengenakan pakaian tradisional mereka yang penuh warna dan tidak ada yang serupa – ini adalah suatu negeri yang indah.

Namun, dengan peristiwa kekerasan dan teror yang terjadi, Nigeria juga merupakan negeri yang menderita. Pada tanggal 18 dan 19 Mei, 2015, para militan bersenjata turun ke empat desa kecil berjarak satu jam dari Jos. Anggota-anggota dari suku-suku Fulani yang semakin radikal ini membunuh 21 orang — termasuk seorang pendeta setempat — dan merobohkan banyak bangunan menjadi puing-puing.Ketika saya mengunjungi desa-desa yang sebagian besar telah ditinggalkan pada bulan November 2016, desa itu masih dipenuhi tumpukan batu bata dan lembaran timah, sisa-sisa dari runtuhan gedung gereja yang pernah ada. Salah satu pemandu saya menunjukkan sepatu dari pendeta yang meninggal, masih berserakan di lantai kotor dari gereja yang telah dicemari itu – suatu simbol kesedihan jemaatnya yang tidak hilang.

Dunia hampir tidak mengetahuinya. Coba saja meng-Google Lo-Biring, Nigeria, Jong, Rabuk, atau Zim. Anda tidak akan menemukannya di peta atau membaca tentang mereka di koranThe New York Times. Namun orang-orang yang kembali ke desa-desa kecil yang hancur ini hampir semuanya adalah pengikut Yesus. Iman mereka seringkali sederhana namun mengejutkan. Saat kami bertanya kepada salah satu pendeta di desa itu mengapa ia tidak melarikan diri sekalipun para teroris datang, ia menatap kami, dan tidak berbicara sepatah kata pun. Kemudian, seolah-olah kami adalah anak kecil, ia berkata, “Sebab saya adalah gembala. Sama seperti Yesus, seorang gembala tidak meninggalkan domba gembalaannya.”

Kombinasi dari iman yang kuat dan kesedihan yang mendalam ini terlihat di dalam ibadah penyembahan mereka. Tidak mengejutkan untuk mendengarkan saudara-saudara seiman Nigeria saya berdoa dengan rutin di dalam ibadah Minggu mereka (yang dapat berlangsung selama 3-4 jam) bagi mereka yang rumah dan bisnisnya telah dihancurkan atau bagi mereka yang telah melihat orang-orang terkasih mereka dibunuh. Mereka hidup dengan trauma dan tangisan, ratapan dan kerinduan untuk suatu kedamaian.

Namun saya juga memberitahu teman-teman Amerika saya tentang sukacita yang saya saksikan di dalam gereja Nigeria – suatu sukacita yang selalu mengejutkan saya. Pemerintahannya penuh dengan korupsi. Gambaran ekonomi terlihat suram. Para teroris masih berkeliaran di bagian timur laut negeri itu. Orang-orang seperti teman saya Hasan, seorang pendeta dan jurnalis untuk CNN, telah menyaksikan puluhan pemboman. Ia masih menyimpan kenangan traumatis di dalam tubuh dan pikirannya. Akan tetapi, saudara-saudara seiman saya disini sering tertawa. Mereka saling bercanda satu sama lain. Mereka bernyanyi dan menari. Bila Anda ingin melihat kegembiraan yang nyata, lihat saja orang-orang percaya Nigeria – anak muda, pria dan wanita tua, anak-anak kecil – menari selagi mereka berjalan ke depan untuk menaruh uang mereka ke piring kolekte.

Kita memiliki begitu banyak hal yang mereka tidak miliki – dana pensiun yang dikelola secara profesional, pelayanan medis dan gigi kelas satu, mobil dan telepon genggam baru. Namun mereka memiliki sesuatu yang seringkali kita tidak miliki – keyakinan mendalam dan tidak tergoyahkan pada Injil. Setiap tahun, Institut Kristen di Jos membina perintis-perintis gereja, penginjil, dan pekerja perawatan kesehatan untuk melayani di provinsi bagian timur laut Nigeria, tempat-tempat yang telah diratakan oleh kekejaman grup teroris Boko Haram.

Dua dari mentor rohani saya, Uskup Agung Anglikan Benjamin Kwashi dan istrinya “Mama” Gloria Kwashi, telah mengadopsi 60 anak-anak, korban penyakit, teror dan perang suku. Sekitar seperempat orang dari mereka telah menyaksikan pembunuhan salah satu orangtua mereka. Namun pasangan Kwashi dan gereja-gereja dalam jaringan mereka memiliki pandangan yang sederhana bagi rumah mereka (dan jangan sampai Mama mendengar Anda menyebutnya “panti asuhan”): Kristus dapat memulihkan trauma dan rasa kehilangan yang paling mendalam, namun pemulihan itu terjadi di dalam konteks komunitas Kristiani yang mengasihi. Sebagaimana Mama Gloria berkata, “kebutuhan terbesar anak yatim adalah orangtua. Kehilangan orangtualah yang menjadikan mereka anak yatim.” Karenanya, bagi Mama Gloria, solusinya sederhana saja: Membuat mereka berakar di dalam keluarga baru yang disebut gereja Yesus Kristus, keluarga Allah. Itulah mengapa mereka bukanlah anak yatim, karena mereka memiliki rumah.

Kristus dapat memulihkan trauma dan rasa kehilangan yang paling mendalam, namun pemulihan itu terjadi di dalam konteks komunitas Kristiani yang pengasih.

Dengan kerendahan hati, mereka merasa sangat sedih atas cara-cara sebagian orang Kristen yang cenderung melemahkan Injil, mendinginkan iman kita, dan memutarbalikkan moralitas kita. Sang Uskup Agung sering menunjukkan kepada para pengunjung dua batu nisan milik dua bersaudara dari Ingris yang membawa Injil ke Jos pada tahun 1907. Keduanya meninggal secara tragis, yang paling tua pada usia 32 tahun. Akan tetapi, kematian mereka yang sebelum waktunya itu membukakan pintu bagi Injil untuk mengalir ke negeri ini. Kemudian sang Uskup berkata, “Kalian yang di Barat, kalian membawakan kabar baik tentang Yesus kepada kami, dan kami bersyukur senantiasa. Namun sekarang, banyak orang di Barat telah mengabaikan Injil. Kami harus membantu Anda sekarang. Kami harus memperkenalkan kembali Injil kepada Anda dan negeri Anda yang bermasalah.”

Gereja-gereja di Jos dapat sungguh mengatakan dan merasakan serta mengartikan perkataan Paulus dalam II Korintus: “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami” (II Korintus 4:8-10).

Jadi bila Anda bertanya kepada saya pertanyaan biasa tentang kunjungan saya – apa yang kamu lakukan untuk mereka? –saya dapat membahasnya selama beberapa menit. Saya rasa saya telah menolong mereka. Saya sering berkhotbah, di beberapa tempat dan tanpa diborgol. Kami berbincang seperti layaknya teman. Kami makan bersama. Kami memberkati Pusat Kesehatan Resurrection baru milik Institut Kristen, mendanainya cukup besar dengan persembahan gereja kami pada hari Jumat Agung.

Tapi saya lebih senang Anda menanyakan hal ini kepada saya: Apa yang mereka telah lakukan kepadamu dan imanmu? Ah, saya dapat menceritakannya sepanjang hari.