Hadiah dari Barang-Barang yang Rusak

Oleh Charity Singleton Craig

Saya menaruh tangan saya di pegangan tangga sambil menuruninya di suatu pagi dan kemudian terhenti saat saya menyadari ada pemisah yang cukup dalam diantara tangga itu dan tiang tangga. Suami saya Steve telah menarik perhatian saya pada gerakan kecil di tiang itu akhir pekan lalu, bagaimana tiang itu bergerak ke depan dan belakang bila ia memegangnya terlalu erat. Pada hari Senin pagi, tiang itu tidak bergerak, sekalipun bukan karena tiang itu benar dengan sendirinya. Sekarang, jarak diantara kedua kayu itu telah berkembang menjadi setidaknya 2,5 cm, dan keduanya tidak lagi pas ukurannya.

“Arrgggh,” saya menggerutu di tengah heningnya rumah. Salah satu anak saya sudah pergi ke sekolah, sedangkan yang dua lagi masih tidur. Saya bertanya-tanya apakah Steve sudah melihat kemajuan ini, atau kemunduran dari kerusakan ini sebelum ia pergi ke kantor. Saya harus menambahkan hal ini ke dalam daftar, pikir saya selagi menyalakan teko kopi, memasukkan selembar roti ke dalam pemanggang, dan mencatat waktunya. Saya memiliki waktu 5 menit sampai waktunya saya membangunkan anak tengah kami. Apakah saya benar-benar ingin menghabiskan waktu itu di depan laptop dan mencatat hal lainnya yang rusak di dalam rumah kami yang berusia hampir 100 tahun ini? Daftar perbaikan yang kami catat semakin bertambah hari demi hari.

Pada akhirnya, kami akan membetulkan semuanya, sekalipun saya tahu bahwa saat kami menyelesaikan satu masalah, masalah lainnya akan muncul. Itu adalah beban pemilik rumah, tak peduli berapa pun usia rumah itu. Namun bagi saya, belajar untuk hidup dengan barang-barang yang rusak di sekeliling saya juga merupakan bagian dari disiplin sikap menerima. Saya berusaha untuk mengkontrolnya terlalu banyak; saya terobsesi dengan detil-detilnya. Saya tidak dapat tidur di malam hari kecuali setiap bantal sudah siap dan segala sesuatu sudah pada tempatnya. Namun dengan adanya 3 anak laki-laki remaja di dalam rumah, ini adalah suatu tugas yang tidak efektif dan tidak ada habisnya. Kerusakan yang terus-menerus membantu saya menyadarinya dan membuat saya mengevaluasi prioritas-prioritas saya dalam mengatur rumah saya.

Tuhan lebih tertarik pada ketidaksempurnaan yang kita bawa kepada-Nya daripada versi diri kita yang telah diperbaiki.

Mungkin bagian terpenting belajar untuk hidup dengan barang-barang yang rusak adalah suatu pengingat bahwa saya pun pribadi yang tidak sempurna. Begitu pula suami saya, anak-anak saya, keluarga dan teman dalam hidup kami, serta jemaat gereja yang duduk di samping kami setiap hari Minggu. Kita dapat membuat daftar perbaikan untuk diri kita sendiri, kita dapat berusaha untuk membetulkan segala sesuatu, kita bahkan dapat saling menolong untuk bertumbuh dan menjadi semakin baik dan berubah, namun Tuhan lebih tertarik pada ketidaksempurnaan yang kita bawa kepada-Nya daripada versi diri kita yang telah diperbaiki. “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah” (Mazmur 51:17).

Dengan kata lain, ketidaksempurnaan – baik diri kita maupun harta milik kita –menjadi lampu sorot terhadap kematian dan kerusakan di dalam dunia yang berusaha untuk menyangkal keberadaan mereka, atau setidaknya dampak yang mereka buat. Seberapapun kita berusaha untuk memperbaikinya, membungkusnya, atau menggantikan kecacatan di dalam diri kita dan di sekeliling kita, akhirnya kita akan mati, hal-hal akan berlalu, dan dunia ini akan terus “mengeluh”, sebagaimana yang Paulus katakan, untuk cara yang lebih baik menikmati maksud penciptaannya. Untuk mengalami pemulihan, membuat tujuan yang baru dan penebusan.

Namun saya harus akui bahwa saya lebih memilih hidup selamanya tanpa terlebih dahulu mengalami kematian. Saya ingin segala sesuatu menjadi baru tanpa harus menyaksikan mereka bertambah tua terlebih dahulu.

Saya ingin versi yang telah dibetulkan tanpa penderitaan. Namun tidak seperti itu cara kerjanya.

Disini, diantara banyak hal yang dihancurkan, kita mungkin tidak mengalami semua kehidupan atau pembaharuan atau keutuhan yang telah dijanjikan kepada kita. Namun kita merasakan sedikit akan hal itu. Sebagaimana Paulus berkata kepada jemaat di Korintus, “Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari” (II Korintus 4:16). Dengan kata lain, hal-hal cacat di sekeliling saya adalah salah satu cara Yesus memperbaiki diri saya dari dalam.

Hal lainnya yang kami lakukan baru-baru ini, selain membuat daftar hal-hal yang harus dilakukan, adalah membersihkan seluruh rumah. Kami menyapu semua debu dan membuang koran-koran lama yang menumpuk di pojokan. Kami bahkan mengatur ulang perabotan di setiap ruang tidur kami. Ketika saya menarik selimut malam itu, saya memiliki perspektif yang baru tentang rumah kami – baik secara kiasan maupun harafiah, karena kami memutar tempat tidur kami 45 derajat ke kanan, dan mendorongnya ke tembok barat. Dari sudut pandang itu, keseluruhan ruangan nampak lebih besar dan lebih terang. Dan sekalipun daftarnya masih teringat di pikiran saya, saya juga bersyukur untuk rumah yang mengharuskan saya melakukannya. Tentu saja struktur rumah berusia seabad ini mulai rusak, namun ia menyediakan tempat yang aman bagi kami yang tinggal disini untuk mengerjakannya dan, ya… menyerahkan ketidaksempurnaan kami sendiri kepada Tuhan, kepada satu sama lain, dan bahkan kepada diri kita sendiri.