Hal Ini Akan Menyakitkan

Luka emosional yang tidak disembuhkan membuat kita tetap lemah secara rohani. Hanya melalui pengampunan kita dapat menjadi lebih kuat.

Oleh Seth Haines

Perempuan berotot, rambut yang sempurna, perut baja, sedang melakukan perenggangan, dan tersenyum. Pria dengan otot bisep seperti gunung-gunung kecil, mengangkat besi dan berpose di depan cermin. Model fisik yang paling sehat lebih dari sekedar bertahan hidup, mereka berkembang. Anda melihat mereka di pusat kebugaran, mengurangi seinci demi seinci pada pinggang mereka, menambah beberapa inci di lengan mereka. Mereka berusaha keras, berlatih dan meminum suplemen, berharap saat melihat tubuh mereka di cermin, ia berkata, “Kamu sehat – kamu terlihat bagus.” Mereka ini adalah tikus-tikus pusat kebugaran, yang hidup dengan pepatah lama “tanpa rasa sakit, tidak ada yang diraih.”

Mungkin karena rahasia kesehatan fisik itu sendiri. Sedikit rasa sakit tidak pernah menyakiti siapa pun. Bahkan baik untuk tubuh. Kita bekerja melalui pembakaran lemak. Rasa sakit memangkas lemak, dan menambah jumlah otot. Melewati rasa sakit tersebut akan memperlihatkan hasilnya. Namun apakah prinsip ini benar secara rohani?

Di musim gugur tahun 2013, saya terbangun dari kematian rohani. Anak terkecil saya Titus sakit parah, dan saya seperti dilemparkan ke dalam suatu kekacauan. Menyadari kegelisahan saya, dan ketidakmampuan saya untuk menaikkan doa yang manjur, saya mengunjungi seorang terapis Kristiani. Saya duduk di kursinya dan bertanya, “Apa penyebabnya?”

Ia menyeringai datar dan menyipitkan matanya. “Mari kita gali masa lalu Anda. Mari kita temukan sumber kegelisahan Anda.” Mungkin saja itu karena penyakit anak saya, ia berkata, namun mungkin juga sesuatu yang lebih mendalam.

Kami duduk di dalam doa yang hening – alat terbaik dari para terapis Kristiani – dan saya bertanya kepada Roh Kudus untuk menunjukkan kepada saya sumber dari kegelisahan saya. Dalam keheningan itu, beberapa gambaran muncul. Saya melihat seorang penyembuh iman, seseorang dari masa muda saya yang berjanji bahwa, dengan iman yang cukup, saya dapat disembuhkan dari penyakit asma. Janjinya tak terbukti. Saya teringat seorang pendeta di masa awal karir pelayanan anak muda saya (pendeta yang menggabungkan kampanye gedung dengan pertumbuhan rohani sejati). Saya mengingat teman yang berkhianat dan anggota keluarga yang menyeleweng. Saya mengingat kekecewaan demi kekecewaan, dan cara dunia berperang dengan iman saya yang dulunya lembut dan menuntun saya untuk mempercayai bahwa baik Tuhan dan manusia terkadang dapat mengecewakan.

Jiwa yang sakit, penuh keraguan dan peperangan, saya mempertanyakan batin saya. Otot-otot rohani saya berhenti berkembang, iman saya lemah. Roh saya begitu kurus, suram dan penuh prasangka – bukan suatu pemandangan indah untuk dilihat.

Konselor tersebut menuntun saya pada kecemasan saya. “Hal ini akan menyakitkan,” katanya, “namun kamu harus mengkonfrontasi kekecewaan-kekecewaan ini, rasa sakit ini. Melihat kekecewaan itu sebagaimana adanya, dan bertanya kepada Tuhan apa yang harus kamu lakukan dengannya.”

Di ruang keluarga saya, malam demi malam, minggu demi minggu, saya berjalan ke dalam semua kekecewaan iman yang pernah terjadi dalam hidup saya. Mengapa saya membawa rasa sakit ini begitu lama? Apakah saya dapat memakai rasa sakit kehidupan ini sebagai katalisator menuju pertumbuhan rohani? Saya berdoa, meminta Roh Allah untuk menuntun saya kepada kesehatan jiwa yang sejati. Dan inilah yang saya dengar:

Pergilah ke taman.

Saya membuka Alkitab, ke bagian dimana Yesus berlutut di taman Getsemani, cemas dan mengeluarkan keringat seperti darah. Ia mengucapkan doa yang sangat tulus: “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Lukas 22:42). Dan Allah, oleh karena kasih-Nya yang besar bagi kita, tidak berubah pikiran. Ia tetap mengutus Anak-Nya ke dalam rasa sakit itu. Minumlah cawan rasa sakit itu, Anak-Ku; inilah kehendak-Ku demi kebaikan mereka.

Saya terus membaca. Orang banyak yang ingin menyalibkan-Nya membawa pergi Yesus. Ia dicemooh, sambil janggutnya ditarik hingga ke akarnya. Ia dicambuk dan kemudian dipaku ke kayu salib. Ia digantung dan dibiarkan untuk mati. Dan disana, mengalami penderitaan terburuk yang pernah diberikan kepada manusia, sebelum roh-Nya pergi kepada kemuliaan surgawi, Ia membisikkan perkataan ini atas para penganiaya-Nya: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34).

Yesus mengampuni para penganiaya-Nya.

Doanya cukup menarik, bukan? Ia bisa saja mendoakan hal lainnya – Ia bisa saja mengatakan “Bapa, ampunilah mereka atas dosa mereka.” Lagipula, Dia memang telah sebelumnya mengampuni dosa. Dengan karya penebusan di kayu salib, Ia mengampuni dosa sekali untuk selamanya. Namun kalimat-Nya dari salib sangat khusus – “ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”

Itu adalah doa yang diucapkan Yesus di saat Ia paling disiksa, di saat roh-Nya berada di kondisi yang paling lemah. Dan bila Yesus yang disiksa menjadi teladan kita, bila Ia adalah pengharapan kemuliaanku, bukankah seharusnya kita memberikan pengampunan yang sama ini di dalam kelemahan rohani kita sendiri? Ampunilah mereka yang menganiaya engkau, Ia berkata, mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat, walaupun tidak sepenuhnya benar. Mereka menyalibkan Aku, dan Aku mengampuni mereka.

Tidak ada keraguan tentang hal ini: praktik mencatat semua rasa sakit kita, menjalani luka dan kekecewaan kehidupan bukanlah hal yang mudah. Namun sementara kita mempraktikkan cara yang Yesus lakukan, selagi kita mengencangkan otot-otot pengampunan kita, kita bertumbuh semakin kuat di dalam belas kasih Kristus. Kita bertumbuh menjadi seperti Kristus.

Sudah lebih dari dua tahun saya merangkak ke bangku angkat beban rohani – sejak saya mulai mengingat nama dan mempraktekkan pengampunan. Dan selagi dunia tetap berputar, orang tetap ada yang mengkhianati saya. Rasa sakit yang baru datang. Kekecewaan yang baru muncul. Namun bila saya tekun di jalan pengampunan, saya akan melihat kekuatan dan ketetapan hati kasih Kristus menguatkan tulang-tulang saya, membuat manusia rohani saya semakin berotot. Saya akan mendapati diri rohani saya berubah menjadi lebih kuat dan fleksibel. Dan saya percaya hal yang sama akan terjadi pada Anda juga.

Cara pengampunan Yesus tidaklah mudah. Ia tidak pernah berjanji hal ini akan mudah. Namun inilah yang saya temukan: praktek pengampunan menjadi bahan bakar kebugaran rohani kita. Sesulit hal ini dilakukan, kebenarannya tetap sama. “Tanpa rasa sakit, tidak ada yang diraih.”