Hendaklah Pikiran Ini ….

Oleh : Hannah Anderson

Kita tidak mengetahui segalanya dan kita memang tidak perlu tahu segalanya.

“TETAPI IA SALAH!”

Hendaklah Pikiran Ini ….        Saya ingin sekali berkata bahwa kalimat ini diucapkan oleh salah seorang anak saya dalam suatu pertengkaran saudara kandung yang hebat. Tetapi tidak. Saya juga ingin sekali berkata bahwa perkataan itu terucap untuk suatu kepentingan kultural atau spiritual yang besar. Tetapi tidak juga. Perkataan itu ternyata terlontar dari bibir seorang wanita dewasa yang duduk di atas tempat tidur pada pukul setengah sebelas malam sambil mengetik 140 huruf jawaban dengan geram di ponselnya.

Suami saya, yang lebih bijak dari saya, sudah mendekap guling dengan nyaman dan terlelap. Meskipun saya sudah ingin segera menyusulnya, saya menyempatkan untuk mengecek ponsel dulu, dan ternyata seseorang telah mengomentari tulisan saya. Dan ia salah.

Lima belas menit kemudian, suami saya berbalik, dan melirik ke arah saya.

“Sayang,” gumamnya, “Ada apa?”

“Aku hampir selesai,” saya memotong kata-katanya, “Aku cuma harus menjawab ini.” Saya menunggu sampai ponsel berkedip, sebagai tanda bahwa “lawan main” saya sudah “memukul balik.”

“Tidak bisakah menunggu sampai besok pagi?”

“Tidak. Aku harus menyelesaikannya sekarang juga.” Lampu berkedip.

“Tidak perlu sepenting itu. Ayo tidur.”

“Tetapi ia salah! Ia – wanita ini,” saya mengomel, jari-jari saya terangkat, “Ia salah!”

“Siapa? Siapa yang kamu bicarakan?”

Pertanyaan yang sederhana; tetapi begitu ia menanyakannya, saya sadar betapa bodohnya saya. Saya tidak bisa menjawab karena saya memang tidak tahu. Saya bahkan tidak mengenal orang yang berdebat dengan saya ini. Saya sudah kehilangan waktu tidur untuk memenangkan perdebatan dengan seorang avatar.

Perdebatan yang tidak sehat

Saya dibesarkan dalam keluarga yang menganggap perdebatan itu menyenangkan dan perlu. Dengan “santapan harian” kami, makan malam menjadi bagian dari analisis rohani, ulasan sosial ekonomi, dan perspektif sejarah yang sehat. Di SMA, saya menonjol dalam berbicara di depan umum, diskusi-diskusi dan organisasi siswa. Tetapi saya tidak mendapati seperti itu lagi setelah menjadi orang dewasa. Anehnya, orang tidak memberi penghargaan ketika Anda mematahkan argumen mereka. Yang lebih buruk, ketika seseorang mematahkan argumen saya, dan saya harus mengakui bahwa saya salah, saya merasa tidak berharga dan malu.

Tetapi saya tampaknya tidak dapat menahan diri saya. Tarikan untuk berdebat bagaikan obat bius yang tampaknya tak dapat saya hindari. Lebih dari ingin membuktikan bahwa orang lain salah, saya ingin tahu bahwa saya “benar.” Dengan satu kata, saya sombong, dan akhirnya yang menghancurkan siklus itu adalah dosis kerendahan hati yang besar.

Dalam memikirkan kerendahan hati, kita seringkali membayangkan seseorang yang mencela-dirinya sendiri, pendiam, atau menyadari kesalahannya sendiri dengan tenang. Jadi untuk berusaha dan menjadi rendah hati, kita mungkin mengadopsi kata-kata atau sikap yang “merendah.” Kita tahu bahwa kita harus rendah hati, bahwa kesombongan itu salah; tetapi kita tidak tahu pasti bagaimana mengatasinya.

Menjadi orang yang rendah hati bukanlah tentang cara bertindak atau melihat segala kekurangan kita. Menjadi orang yang rendah hati berarti mengenali keterbatasan-keterbatasan kita – mengenali siapa diri kita dan Siapa yang bukan diri kita. Dan dengan demikian, kerendahan hati berarti mengerti bahwa kita tidak mahatahu. Dan juga mengerti bahwa kita tidak perlu menjadi mahatahu.

Hendaklah Pikiran Ini Ada Padamu

Bagi banyak dari kita, kebutuhan untuk memenangkan perdebatan lebih penting daripada hal yang kita perdebatkan. Dalam situasi panas itu, kita mungkin meyakinkan diri kita bahwa kita sedang “membela kebenaran,” padahal seringkali kebutuhan kita untuk menang (dan kesediaan untuk berperang) sedikit lebih besar dari pembenaran diri.

Di dalam Filipi 2, Paulus memanggil kita untuk “tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia” (Filipi 2:3). Sebaliknya, kita harus memiliki “pikiran yang sama seperti yang ada pada Yesus Kristus,”  yang merendahkan Diri-Nya, menaati Bapa dan mengambil rupa seorang manusia yang memiliki keterbatasan (Filipi 2:5). Bagi kita, merendahkan diri berarti menyadari keterbatasan-keterbatasan alami pikiran kita. Kita tidak memiliki seluruh kebenaran. Kita tidak dapat memahami dengan tepat kebenaran-kebenaran yang kita miliki. Atau kita tidak tahu bagaimana Allah bekerja di balik layar. Kerendahan hati tidak menyangkali kebenaran objektif; kerendahan hati hanya mengakui bahwa kita tidak mengetahui segalanya. Dan kerendahan hati juga mengajar kita bahwa kita tidak pernah perlu mengetahui segalanya.

Salah satu bahaya dari kesombongan adalah kita bisa mulai percaya bahwa Allah menerima kita berdasarkan keadaan kita yang “benar” – bahwa Dia menerima kita karena kita memiliki pendapat yang benar, jawaban yang benar, doktrin yang benar. Padahal jika Allah menerima kita karena kita benar, maka kita harus terus-menerus berjuang untuk mempertahankan kebenaran kita. Kita tidak pernah bisa menerima risiko untuk salah.

Kerendahan hati mengajar kita bahwa kita tidak pernah bisa menjadi cukup benar. Dibandingkan dengan Allah, kebenaran kita tidak lebih dari seperti kain kotor yang tidak ada artinya. Hanya oleh kasih karunia-Nya, Dia menerima kita – bukan karena kita mengetahui kebenaran, tetapi karena Yesus adalah Kebenaran dan kita mengenal Dia.

Dan tiba-tiba saja kita bisa mengalami damai sejahtera. Kita tidak perlu lagi berperang untuk membuktikan keberhargaan kita. Kita tidak perlu lagi menjadi benar. Kita dapat pergi tidur pada malam hari, meletakkan kepala kita di bantal dan beristirahat.