Karunia yang Tidak Dikehendaki

(Sandy Feit)

“Aku harap aku tidak mendapatkan karunia itu.” Gadis-gadis mahasiswi di gereja kami akan bergurau (atau setengah bergurau) seperti itu mengenai perkataan rasul Paulus tentang karunia hidup melajang (1 Korintus 7:7). Dulu saya menganggap hal itu menggelikan.

Tetapi tahun lalu, tak lama sesudah saya dan suami merayakan ulangtahun pernikahan ke-42, “karunia” itu diantar ke hadapan saya – tanpa diduga, tanpa diharapkan, dan tanpa alamat pengirim. Kanker dengan cepat dan kejam melanda kehidupan kami seperti badai tornado dan meninggalkan saya termangu di depan pintu kejandaan, memandang kehancuran. Saya bertanya-tanya, apakah saya dapat melaluinya?

Elliot dan saya sudah bersahabat sejak dari SMP, sehingga kehilangan dirinya memengaruhi setiap inci kehidupan saya, mulai dari kenangan masa kecil sampai kepada impian-impian di masa pensiun. Bagai diamputasi mulai dari seluruh implikasi “keduanya menjadi satu daging,” sampai kepada hal-hal kecil dalam kehidupan rutin sehari-hari. Sebagai contoh, dari tahun ke tahun kami sudah melakukan pembagian tugas dengan baik sesuai jadwal, pengetahuan, dan cara kami terhubung: mobil, sampah, pajak, alat-alat elektronik adalah bagiannya; sementara menambal, mencuci, berkebun, belanja adalah bagian saya. Lalu, bagaimana sekarang? Bagaimana mungkin satu orang – apalagi sedang dirundung duka mendalam – dapat memikul tanggung jawab dua orang sekaligus? Sungguh menakutkan; bukan saja karena waktu dan tenaga yang dibutuhkan; tetapi juga karena dalam banyak hal, saya benar-benar tidak tahu harus bagaimana.

Tetapi, setelah satu tahun mencoba bangkit kembali, saya harus katakan bahwa saya heran dengan semua yang bisa saya tangani. Dan di sepanjang perjalanan itu, saya menemukan hal-hal yang berharga dari reruntuhan – hal-hal yang tak pernah saya inginkan tetapi ternyata sangat berharga. Hal-hal yang saya sebut sebagai “kompensasi” (istilah yang muncul saat putri saya pertama kali pulang liburan dari kuliahnya dan tanpa diduga-duga ia bertanya, apakah kami merasa sedih dengan ketidak-adaannya. Maksud baik Elliot untuk menghiburnya ternyata terbalik ketika ia berkata, “Sebetulnya, Ayah dan Ibu punya lebih banyak privasi sekarang” – sehingga ia pun langsung pergi mengunci diri di kamar dan menangis. Ketika saya meyakinkannya, lewat pintu tertutup, bahwa ia sangat dirindukan, “kompensasi” tampaknya menjadi istilah yang tepat untuk situasi yang terbalik itu).

Sekarang, sekali lagi, saya mendapati diri saya berada dalam situasi kompensasi. Saya kira saya dapat menggolongkan beberapa kompensasi itu sebagai “kemudahan,” sama seperti seorang rekan kerja yang menikah (dan bahagia) menggambarkan hidup sendiri itu sebagai “kesederhanaan hidup melajang.” Ya, tentu saja saya lebih suka hidup saling tergantung dalam pernikahan, tetapi saya kini menemukan kebebasan tertentu dalam pengambilan keputusan-keputusan yang mendadak, seperti menjelajahi pertokoan sepulang kerja atau memutar haluan untuk menengok cucu. Kemudian ada kamar yang sangat luas untuk satu orang, plus garasi yang dulunya sesak kini terasa lega sekali. Dan ketika sedang bingung belanja makanan untuk diri sendiri saja, saya benar-benar terpaku sejenak di lorong pasar ketika menyadari: sekarang tidak masalah lagi membeli cilantro (semacam daun peterseli). Elliot tidak suka cilantro. Membuka lemari es tidak lagi akan terbersit rasa bersalah; tetapi kemudian saya ingat, Kompensasi! dan mengambilnya untuk hidangan.

Kategori lainnya meliputi semua tugas yang tak pernah saya selesaikan, merasa mampu lakukan, atau ingin atasi – hal-hal yang diperhatikan Elliot dengan caranya yang santai namun teratur. Saya selalu agak tidak sabar dalam menyelesaikan suatu proyek dan ingin cepat beralih, tetapi kini saya menemukan hikmat dengan melakukan “satu langkah setiap waktu.” Refleks panik saya yang berkata “Ini tidak akan pernah selesai, atau ini akan melebihi biasanya” lambat laun berganti dengan “Entah bagaimana, ini akan beres.” Saya kini menyukai langkah yang lebih lambat dan merasa tenang.

Lalu, saya banyak sekali menelepon, yang dulu biasanya dilakukan oleh suami saya, dan menahan kecenderungan saya untuk segera menutupnya karena takut menjengkelkan orang yang di ujung sana. Jika perlu, saya akan belajar, seperti Elliot, untuk bertanya enam kali sampai saya benar-benar mengerti. Hasilnya? Pintu garasi saya diganti, alat pemanas makanan diperbaiki, dan pajak-pajak diselesaikan (waktu mengelim amplop, saya benar-benar sedikit menari di dalam kantor pos). Tetapi yang mengherankan, alih-alih merasa jengkel dengan kelambanan saya dalam menangkap informasi, banyak orang justru menunjukkan kesediaan untuk menolong.

Belajar Menerima

Berbicara tentang pertolongan, saya dulu selalu lebih suka memberi daripada menerima. Lalu tiba-tiba saja banyak orang menawarkan keahlian, waktu, jasa, makanan, doa … dan saya memiliki lebih banyak kebutuhan dari yang saya sadari. Memenuhi segala kebutuhan sendiri ternyata sangat tidak mudah. Seusai acara pemakaman, teman saya Tricia bertanya, kapan kami berdua akan menggunakan hadiah yang ia berikan: kupon pijat untuk dua orang. Secara naluri saya mulai menolak tetapi kemudian, syukurlah, saya merasa terdorong untuk menerimanya. Sekarang, kenangan akan malam itu masih sehangat batu-batu alat pijat itu.

Dan ada banyak dan lebih banyak lagi hal lainnya. Seorang teman Elliot mendesak untuk mencermati rekening-rekening kesehatan dan pernyataan-pernyataan dalam surat asuransi. Seorang rekan kerja mengatasi masalah listrik di garasi saya. Dan ketika saya membutuhkan bantuan untuk mencari hadiah Natal untuk cucu-cucu saya – selimut dari kain perca – Janice, teman yang sebetulnya tak punya banyak waktu untuk berkata ya – bersedia membuatkannya. Bukan cuma pemberian-pemberian mengejutkan ini yang menambah para pahlawan dalam cerita saya, tetapi penyaluran kasih Allah itu sendiri jelas memberkati para pemberinya. Tak ada “menang-menang” yang lebih indah dari ini.

Perspektif yang Berubah

Ketika ayah saya meninggal tahun 1969, saya masih remaja dan sangat terpukul dengan kehilangan itu. Dan tentu saja, di bulan-bulan awal saya menjadi janda, saya lagi-lagi terpuruk dalam kehilangan saya. Tetapi akhir-akhir ini saya melihat ada perubahan dalam kesadaran saya. Meski sudah terlambat untuk mengatakannya pada Ibu, saya kini dapat memahami yang dulu dialami Ibu, plus menghargai caranya menjalankan rumahtangga sepeninggal Ayah. Dan, alih-alih meratapi yang sudah tiada, saya kini makin menyadari betapa saya diberkati dengan sudah dikasihi dengan baik selama 42 tahun. Banyak pernikahan berakhir lebih buruk selain karena kematian.

Ya, perspektif saya berubah, dan dua frasa yang sering saya ucapkan hari-hari ini menunjukkan bahwa semua itu adalah bagian dari cara Allah menyatukan lampiran-lampiran hidup saya di bumi ini: “Apa pun yang terjadi” (seperti dalam perkataan “Tuhan, meski aku tidak mengerti, aku tetap percaya pada-Mu”) dan “Hidup terlalu singkat.” Waktu benar-benar terlalu berharga untuk dipakai mencemaskan tentang menyenangkan-orang atau membiarkan berbagai rintangan mengalihkan prioritas-prioritas. Kehilangan orang terkasih adalah suatu kesempatan, yang tidak sama dengan yang lainnya, untuk bercerita tentang Dia. (Siapa pula yang akan membungkam seorang janda?) Bagi orang Kristen, ini adalah pintu yang terbuka untuk percakapan rohani.

Karunia Tertinggi

Dari semua kompensasi hidup sendiri, penyertaan Tuhan adalah yang paling melampaui semua pemberian lainnya. Yesaya 54:4-5 – yang berkata bahwa Tuhanlah yang menjadi suami dari janda itu –  tidak lagi menjadi sekadar teori, ketika Dia selalu hadir seperti-suami dengan cara yang konkret. Sebagai contoh, minggu lalu, saya baru saja parkir di kantor ketika merasa ada suatu label yang melukai leher belakang saya. Ketika saya menariknya, saya mendapati ternyata itu bukan label, tetapi rol rambut! Reaksi pertama saya adalah tertawa sendiri; dan kedua, menangis – Elliot tidak akan pernah membiarkan saya pergi bekerja dengan benda seperti itu. Dan saya sadar: Allah juga tidak.

Dan seperti seorang suami, Tuhan tahu “bahasa cinta” saya (pelangi, misalnya, atau deretan angka-angka). Dia juga Pendengar dan Pemelihara yang baik. Karena tahu saya akan memerlukan pertolongan, Dia memindahkan kami pada tahun 2003 ke tempat yang ada enam rumah berdekatan, yang sekarang dihuni para janda. Dan hal-hal yang saya butuhkan terpenuhi pada waktu yang tepat (seperti kartu garansi alat pemanas makanan- yang tidak saya perhatikan ketika membeli, yang terjatuh ke lantai dari tumpukan kertas macam-macam).

Lalu, bagaimana ini menjadi ironi? Proses menulis tentang “kompensasi sebagai janda” telah melebur sendiri ketika saya mengalami kesadaran lain – bahwa mengalami dan mengenal Allah lebih dalam lagi sama sekali bukanlah kompensasi, tetapi tujuan kita yang sesungguhnya.