Ketergantungan Hidup Yang Dilahirkan-Kembali

(Michelle Van Loon)

Iman seperti anak kecil bukan tentang kembali ke belakang; tetapi tentang memercayai Allah untuk memimpin kita ke depan

Ketika pertama kali saya mendengar perkataan “Kamu harus dilahirkan kembali” (Yohanes 3:7), sebagai seorang gadis Yahudi berusia 15 tahun, saya percaya bahwa Yesus sedang memberi saya awal yang baru lagi di hadapan Allah yang kudus. Kesucian moral anugerah-Nya akan memulai kembali setiap aspek kehidupan saya. Saya sungguh menjadi baru dan bersih.

Setelah berjalan bersama Yesus selama lebih dari 40 tahun, saya tetap percaya bahwa hal ini benar – sebagian. Namun saya menemukan bahwa ketika Yesus berkata kita harus dilahirkan kembali, Dia juga mengundang kita untuk menjalani setiap saat kehidupan kita dengan jenis relasi dengan-Nya yang sama seperti ketergantungan seorang bayi pada ibunya.

Di usia saya sekarang yang sudah 58 tahun, saya sudah mendengar banyak khotbah selama empat dasawarsa ini tentang pentingnya menjaga gairah “kasih yang mula-mula” orang percaya yang seringkali dialami ketika mereka baru percaya kepada Kristus. Kegairahan itu memang bisa menjadi hal yang indah. Tetapi kita sering mengkontraskan kegairahan ini dengan pikiran kita yang sebaliknya: keadaan yang melelahkan. Pembandingan ini menimbulkan dikotomi yang salah. Dilahirkan kembali bukan hanya berarti permulaan baru yang didasarkan pada satu keputusan; tetapi juga menunjuk pada kehidupan yang dijalani dengan kesediaan berserah terus-menerus kepada Tuhan.

Penyair Kristen, Wiman menulis, “Tidak ada jalan untuk ‘kembali ke iman kanak-kanak Anda,’ benar-benar tidak ada, kecuali jika Anda baru saja terbangun dari koma sesungguhnya selama puluhan tahun … Dengan kata lain, iman apa pun yang Anda tunjukkan di akhir hidup Anda tidak hanya dipengaruhi oleh kehidupan itu tetapi juga sangat tergantung pada kehidupan itu, karena iman kepada Tuhan, dalam arti sesungguhnya adalah, iman dalam kehidupan – yang berarti, tentu saja, iman dalam kehidupan yang penuh perubahan besar.”

Ilustrasi yang jelas tentang realitas ini bisa ditemukan di Gedung Kesenian Nasional di Washington, D.C. Di sana ada sebuah ruangan berisi empat lukisan, masing-masing berukuran 1,2 X 1,8 meter, yang dikenal sebagai seri Perjalanan Hidup (The Voyage of Life). Dilukis oleh Thomas Cole pada tahun 1842, gambar-gambar fantasi ini menunjukkan perjalanan seorang manusia melalui empat musim kehidupan. Dua gambar pertama, yang berjudul “Childhood”(Masa Kanak-kanak) dan “Youth” (Masa Muda) menunjukkan seorang anak muda yang dengan percaya diri berlayar di lautan yang tenang menuju istana-istana impian cemerlang dengan berbagai kemungkinan yang tak ada habisnya. Di dunia yang kompleks dan penuh tantangan ini pun banyak dari kita yang berlayar ke masa kanak-kanak dengan berbagai keinginan besar dan ambisi baik yang belum teruji. Seperti kebanyakan anak muda Kristen lainnya, saya menyalurkan ambisi-ambisi saya ke dalam iman saya, dan lebih menyukai drama petualangan rohani yang luar biasa daripada ketaatan yang biasa.

Lukisan Cole yang ketiga memberi gambaran yang jelas tentang tahap perjalanan selanjutnya. Sepintas, lukisan berjudul “Manhood” (Masa Dewasa) ini tampak seperti bukan bagian dari kelompok lukisan yang sama. Langit biru dan istana-istana yang indah sudah tidak ada lagi. Seorang pria yang kalut digambarkan sedang berada di tengah gelombang menakutkan, mengemudikan kapalnya melintasi batu-batu karang dan tebing-tebing curam. Tangannya terlipat dalam doa khusuk, dan tampak jelas ia merasa sedang benar-benar dibiarkan. Pada lukisan ini, tampak seberkas cahaya dari surga, dengan seorang malaikat yang mengawasinya dengan saksama. Tidak ada jalan untuk kembali ke iman kanak-kanaknya yang cerah dan cemerlang. Tetapi sikap doanya menyadarkan saya bahwa ia masih memelihara hubungan dengan Allah, sekalipun di tengah badai kehidupan.

Ketergantungan tampak berbeda ketika kita menjalani setiap tahap kehidupan. Menjelang ulangtahun yang ke 59, saya berefleksi ke masa laludan mendapati kemunduran dalam hal keuangan dan pekerjaan, tantangan kesehatan kronis yang serius, kematian orangtua dan beberapa teman, dan kehilangan beberapa relasi yang menyakitkan. Betapa pun saya berusaha mengingat yang saya rasakan tentang Allah, dunia dan diri sendiri ketika saya pertama kali beriman, saya tidak dapat membuatnya kembali.

Saya juga tidak perlu mengejarnya. Saya bukan lagi remaja naif yang berlayar menuju kedewasaan, tanpa pengalaman hidup tetapi penuh harapan dan ambisi. Sekarang ini, saya lebih seperti orang lanjut usia di kapal yang diombang-ambingkan gelombang itu: Dan hari-hari ini saya juga mendapati tangan saya lebih siap terlipat untuk berdoa. Menjalani kehidupan yang dilahirkan-kembali di sini dan saat ini berarti bersandar pada Juru Selamat ketika badai mengamuk di sekitar kita. Kedengarannya seperti berdoa, “Bapa, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu – bahkan di sini di tengah badai yang menjungkirbalikkan hidupku ini – seperti di surga.”

Lukisan terakhir Cole yang berjudul “Old Age” (Masa Tua) menunjukkan orang dalam kapal yang habis terhantam badai. Lautan tenang, dan meskipun langit masih dipenuhi awan gelap, figur renta itu sedang mencapai sikap ketergantungan seperti kanak-kanak menuju seberkas cahaya putih yang bersinar dalam gelap. Seperti orang itu, saya tidak dapat kembali ke awal perjalanan saya. Saya kini tahu bahwa dilahirkan kembali, ketika saya bergerak menuju usia senja saya sendiri, berarti saya tidak dapat bersandar pada keterampilan dan pengalaman saya untuk mengemudikan kapal yang rusak. Ini berarti dalam kegelapan saya harus memercayai Allah untuk menyelamatkan saya – untuk memurnikan saya dan terus menuntun saya pulang.