Ketika Allah Memakai Kejahatan Untuk Kebaikan

(Chad Thomas Johnston)

Cerita-cerita Alkitab tidak sehitam-putih yang kita bayangkan.

Ayat Alkitab tampaknya juga berkata, “Allah memakai orang jahat itu untuk menyelamatkan umat-Nya.”

Saya berkedip beberapa kali, menggelengkan kepala, dan membacanya lagi, dan ayat itu kembali meyakinkan saya bahwa saya tidak salah mengerti. “Sebab TUHAN telah melihat betapa pahitnya kesengsaraan orang Israel itu: sudah habis lenyap baik yang tinggi maupun yang rendah kedudukannya, dan tidak ada penolong bagi orang Israel. Tetapi TUHAN tidak mengatakan bahwa Ia akan menghapuskan nama Israel dari kolong langit; jadi Ia menolong mereka dengan perantaraan Yerobeam bin Yoas.” (2 Raja-raja 14:26-27).

Ayat ini mengungkapkan yang saya pikirkan tadi, dan melintas di hadapan semua yang saya pikir saya tahu tentang Allah. Sampai saat itu, bagaimana pun, Alkitab tidak pernah mengatakan hal yang baik tentang orang yang bernama Yerobeam.

Di dalam kitab 1 dan 2 Raja-raja, nama Yerobeam bin Nebat muncul berkali-kali, seperti nada-nada refrain yang terus diulangi dalam sebuah opera besar. Setiap kali namanya disebut, saya mulai membayangkan yang seperti nada-nada aransemen Bernard Herrmann yang tajam dan menusuk-nusuk pada adegan di kamar mandi dalam film misteri Psycho Alfred Hitchcock.

Orang hanya perlu melihat ayat seperti 2 Raja-raja 13:11 ini sebagai contoh tentang bagaimana Alkitab menghubungkan nama Yerobeam dengan kejahatan: “Ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN. Ia tidak menjauh dari segala dosa yang disuruh Yerobeam bin Nebat dilakukan orang Israel, tetapi terus hidup dalam dosa itu.” Dalam kitab-kitab ini, raja yang jahat bukan hanya jahat – tetapi ia jahat seperti Yerobeam bin Nebat.

Ayat di atas menggambarkan tentang raja Yoas, yang memutuskan memberi nama penggantinya dengan nama raja yang sudah menetapkan standar emas untuk keberdosaan di Israel. Tak heran jika Yerobeam II ini mengikuti jejak orang yang namanya sama itu. Meskipun demikian, Allah memakai Yerobeam II yang bengkok ini untuk meluruskan permasalahan-permasalahan umat-Nya.

Mengapa Allah memakai orang semacam itu untuk mencapai tujuan-tujuan-Nya? Saya akan bisa mengerti jika Sang Pencipta memakai orang seperti Daud – seorang yang tidak sempurna, memang, tetapi satu ayat Alkitab menggambarkannya sebagai orang yang “berkenan di hati Tuhan” (1 Samuel 13:14). Saya juga bisa menghargai jika Allah memakai orang yang sangat kasar seperti Simson. Terlepas dari segala kesalahannya, ia adalah seorang yang baik – setidaknya begitulah yang pernah dikatakan guru-guru Sekolah Minggu saya. Tetapi Yerobeam? Alkitab dengan jelas menggambarkan Yerobeam II sebagai orang yang jahat. Mungkinkah Allah benar-benar  memakai orang jahat untuk kebaikan?

Ketika saya terus memikirkan bagian Alkitab yang membingungkan ini, saya teringat pada kata-kata Yusuf di dalam kitab Kejadian. Meskipun ia dijual sebagai budak oleh saudara-saudaranya, di Mesir Yusuf akhirnya memiliki jabatan tinggi yang membuatnya dapat menyelamatkan bangsanya. “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan,” kata Yusuf kepada saudara-saudaranya, “dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar” (Kejadian 50:20).

Bahwa Allah itu sangat baik – bahkan sempurna – tetapi memakai kejahatan yang ada di dunia ini untuk mencapai tujuan-tujuan-Nya tanpa terkontaminasi oleh kejahatan itu, merupakan hal yang agak mengejutkan bagi saya.

Ketika saya mendengar nama “Yerobeam bin Nebat” disebut lagi dan lagi di kitab 1 dan 2 Raja-raja, saya kira saya harus menganggap nada sumbangnya sebagai kekuatan yang dominan dalam aransemen Alkitab. Saya lupa bahwa Sang Komposer Agung, Yahweh, mampu mengubah nada-nada yang paling tidak harmonis pun menjadi melodi yang selaras dengan tujuan-Nya. Di dalam Alkitab, semua lagu tampaknya tertelan oleh lagu Allah, yang sudah dimulai jauh sebelum Yerobeam datang ke dunia, dan berlangsung terus sampai jauh sesudah mereka meninggal dunia.

Orang-orang seperti kita yang menyebut diri orang Kristen percaya, bahwa lagu itu terus-menerus mengalun – dan bahwa kita bisa mendengarnya jika saja kita mau menyadari keberadaannya dalam hidup kita. Dengan demikian, kita bisa meyakini bahwa Dia, yang memakai orang sejahat Yerobeam II untuk kebaikan, memiliki kuasa untuk melakukan hal yang sama juga sekarang ini. Ini berarti kita tak boleh keliru menganggap kejahatan yang kita temukan pada diri kita dan orang lain sebagai hal yang kebal terhadap kuasa Allah. Kita justru lebih baik menganggap sudut-sudut tergelap dalam hati kita sebagai tempat-tempat potensial untuk terjadinya transformasi, tempat Allah bekerja membalikkan maksud kejatuhan-kejatuhan kita bagi kemuliaan-Nya.

Jika Allah dapat memakai orang jahat untuk menyelamatkan umat-Nya, betapa jauh lebih lagi Dia akan memakai pengikut-pengikut Kristus yang bercacat – orang-orang yang mengasihi Dia dan rindu menyenangkan-Nya – untuk mencapai tujuan-tujuan-Nya?