Lihatlah Ke sini

Inti dari kehidupan kita tidaklah terletak pada momen-momen yang  luar biasa melainkan dalam keajaiban yang biasa sehari-hari.

Oleh: Kayla Yerden

Beberapa minggu lalu saya membaca satu kata yang tidak umum dalam suatu artikel: Hakekat. Kata ini secara samar diartikan sebagai kualitas yang menjadikan sesuatu itu apa adanya; esensi dari suatu benda. Saya memahami hakekat sebagai kombinasi sempurna rempah-rempah dalam bumbu yang dibuat oleh ibu saya dan membuat masakan ayam fajitanya lebih enak dari masakan siapapun. Atau gerakan tangan yang mengganggu yang diperagakan teman saya saat ia mengoceh tentang sesuatu – itu menjadi ciri khas dirinya. Atau tetangga yang saya lihat membawa anjingnya berjalan setiap pagi saat saya hendak pergi ke kantor, yang membuat saya merasa tinggal di apartemen serasa tinggal di rumah tapak.

Pertama kali hakekat memunculkan rasa keingintahuan saya – sekalipun saya tidak dapat menyebutkannya – adalah di kota kecil di luar Taman Nasional Big Bend, di Terlingua, Texas. Saya masuk ke suatu restoran yang sederhana – satu restoran dengan 4 sisi dinding yang berwarna putih pucat dan suatu tenda kayu yang menahan panasnya matahari.

Keheningan memenuhi ruang makan. Tidak ada pelayan yang terlihat, tidak ada suara dentingan piring di dapur. Bahkan pasangan tua yang duduk di pojok tidak berbincang, dan hanya berfokus pada piring mereka. Hanya sesekali suara statis elektronik terdengar dari TV berukuran 10 inci yang tergantung di dinding, menantang kesunyian.

Makanan tostada saya datang setelah suara dengung microwave terdengar. Saya mengenali lapisannya – saya membelinya di toko bila saya sedang tergesa-gesa: cangkang jagung yang sudah dikemas, kacang kaleng yang digoreng kembali dan tomat yang dipotong dadu, serta selada yang diiris. Tidak ada bumbu tambahan atau hiasan kreatif di atasnya.

Namun entah mengapa, suasana malam itu memuaskan diri saya. Ketika saya meninggalkan restoran itu, saya tidak mengetahui bahwa sesuatu hal yang seharusnya dilupakan dan diremehkan dapat menjadi kenangan yang indah.

Dalam waktu 6 bulan, saya berganti-ganti gereja, mendapatkan teman baru, pindah ke alamat lain dan memulai pekerjaan baru.

Hakekat membutuhkan studi yang cermat serta ketajaman. Sifat apa yang membedakannya? Bagaimana bisa detil-detil yang nampaknya tidak penting ini menyatu dan membuat keseluruhannya tidak sama dengan hal lainnya? Apa yang membuat tempat ini, pengalaman ini, orang ini menjadi tidak terlupakan? Secara alami, hakekat itu mendorong rasa ingin tahu dan memohon untuk ditemukan.

Hampir sebulan setelah saya kembali dari Big Ben, dunia saya mulai berubah dengan kecepatan yang saya tidak dapat ikuti, seperti domino yang jatuh ke domino lainnya – sekalipun perubahan ini kurang teratur dan tidak disengaja. Dalam waktu 6 bulan, saya berganti-ganti gereja, mendapatkan teman baru, pindah ke alamat lain dan memulai pekerjaan baru.

Saya menelan perubahan pertama ini dengan kerendahan hati dan memasukkannya ke dalam rencana hidup saya dengan sedikit perubahan dan penyesuaian. Namun kemudian pergolakan ini berlanjut. Dan saya menyadari bahwa pada saat saya menerima satu perubahan, sesuatu yang lain akan berganti dan mengungkapkan visi baru saya untuk masa depan. Tanah yang di atasnya saya berdiri cukup tidak stabil untuk membuat saya mengetahui bahwa datang kepada Tuhan dengan suatu ekspektasi adalah hal yang tidak ada gunanya – satu-satunya pertanyaan aman yang saya dapat tanyakan adalah, Tuhan, apa yang Engkau mau berikan padaku?

Saya mencari dan menemukan satu komunitas Kristiani yang menuntut saya untuk menghadapi ketidakmampuan saya sebagai seorang pemimpin serta teman-teman yang menyebut dosa saya sama mudahnya seperti ketika mereka membuat saya tertawa. Tuhan menyediakan suatu rumah dimana saya sedang belajar untuk berbagi dengan orang lain. Dan Ia memberikan saya suatu pekerjaan yang menantang sekaligus memberi kepuasan.

Seorang teman saya mengatakan demikian: “Ketika ibu saya meninggal, saya tidak ingat uang yang ia berikan kepada saya, saat dimana ia membuat saya marah, ketika ia tidak memenuhi ekspektasi saya yang tinggi – saya hanya merindukan dirinya saja. Saya merindukan kehadirannya. Merindukan dirinya apa adanya.” Ibunya adalah orang yang sangat menjunjung kejujuran, menyesali dirinya yang tidak memiliki gelar, memiliki kebiasaan meninggalkan pintu kabinet terbuka saat ia masak, memiliki cita-cita yang tidak terpenuhi untuk menjadi seorang guru, dan masih banyak lagi. Teman saya menggambarkan ibunya sebagaimana adanya dirinya tanpa embel-embel tentang siapa dia seharusnya.

Tindakan untuk memperhatikan dan menyebutkan hal yang ada di hadapan kita, dan bukan apa yang kita harapkan, menyingkapkan betapa kayanya Tuhan menyediakan bagi kita – entah kita memintanya atau tidak. Saya pikir inilah yang pemazmur maksudkan saat ia menulis, “Aku memikirkan perbuatan tangan-Mu” (Mazmur 143:5). Saya menduga bahwa sang pemazmur memiliki satu kekuatan supernatural – kekuatan yang tidak saya miliki – yang membuatnya dapat melihat kebaikan Tuhan dalam setiap keadaan, memberinya alasan untuk memuji Tuhan di masa-masa yang gelap dan tidak menentu. Namun akhirnya saya berpikir bahwa kemungkinan besar ia merenungkan hakekat dari apa yang ada di hadapannya, dan disana ia melihat betapa luar biasanya Tuhan dan bagaimana Ia mengisi kehidupan sang pemazmur. Itu adalah kekaguman yang sama yang memampukan saya untuk mengalami kepuasaan yang sejati bahkan saat saya tidak dapat melihat kebaikan: bahwa hari-hari saya dipenuhi oleh Tuhan.