Makanan Untuk Yang Rendah Hati

makanan-untuk-yang-rendah-hatiSaya tidak melihat gerakannya, sebagian karena gelap, tetapi kemungkinan besar karena saya tertidur. Tangan boneka itu melayang dan menghunjam leher saya. Saya langsung terbangun, dan boneka itu jatuh ke lantai.

“Ayah, sudah pagi.”
“Masih terlalu pagi,” kata saya sambil membalikkan badan ke arah lain,.“Kamu mestinya masih tidur.” Saya merasakan kasur terdesak ke dalam ketika ia naik ke ranjang dan kemudian salah satu lututnya menohok rusuk saya sementara ia berguling. Saya menarik sebagian selimut dan menutupinya, berharap ia akan tidur lagi. Namun tepat ketika saya akhirnya merasa bebas, saya merasakan jari-jari kecil di lubang hidung saya. Boneka itu lagi. Saya menghembuskan dan mengibaskannya seakan kemasukan seekor lalat. “Baiklah. Ayah bangun.”
Menit-menit berikutnya kami sudah berada di dapur dan, seperti biasa, mengeluarkan barang-barang dari mesin pencuci piring. Pada saat itulah saya lalu mendengar ia mengucapkan perkataan dengan nada yang tak sepatutnya diucapkan oleh anak berusia 3 tahun terhadap ayahnya.

“Ayah, Aku mau sarapanku!”
Para ahli mengatakan bahwa orangtua yang efektif akan memberikan contoh perilaku yang mereka ingin dilakukan oleh anak-anak mereka. Karena itu, saya dan istri sudah menetapkan untuk selalu bersikap sopan, mengucapkan kata “tolong”, dan “terimakasih” dengan tulus. Bagaimana mungkin sekarang saya mendapati anak saya baru saja berkata-kata kepada saya seperti seorang anak remaja yang berkuasa?


“Apa?” Saya berkata. “Bisakah kamu mengatakan, ‘Ayah, tolong, aku ingin mendapatkan sarapanku?’”
Ia terdiam untuk berpikir sejenak dan kemudian menjawab datar “Tidak.” “Aku mau Ibu menyiapkan serealku.” Dan dengan perkataan itu, ia berlari ke kamar lain untuk meminta kepada istri saya – yang sudah mendengar semua yang terjadi – dan mendapat jawaban yang tak diinginkan. “Jika kamu menginginkan sarapan, kamu harus memintanya kepada Ayah dengan sopan.”
Ia menatap, tanpa berkata apa-apa, lalu pergi bermain.

Yang Anda perlu tahu tentang putri saya adalah, baginya sarapan itu salah satu kesukaan utamanya dalam hidup. Setiap malam, setelah membaca, menyanyi, dan berdoa bersama, ia akan mencegat saya saat hendak meninggalkan kamarnya dengan bisikan, “Ayah…”
“Ya?”

“Besok pagi aku ingin sarapan sereal dengan yogurt dan stroberi.”
Dari malam ke malam, hal yang sama terjadi. Menunya bisa berubah-ubah, tetapi sarapan selalu ada di pikirannya, sekalipun ia sambil menguap, memeluk bonekanya erat-erat, dan jatuh tertidur. Mungkin kami tidak memberinya cukup makan malam, pikir saya mula-mula. Tetapi akhirnya saya sadar bahwa yang sesungguhnya ia sukai tentang sarapan adalah saat kami bisa bersama, hanya berduaan, sementara ibu dan adik bayinya masih tidur. Ia menyukai perhatian dan kasih sayang ayahnya. Jadi ketika ia pergi tanpa sarapan pada hari itu, ia tidak cuma sedang kehilangan makanan – ia juga sedang berkata tidak untuk berelasi. Saya bisa melihat ia mengalami konflik. Namun ketika hal itu terjadi lagi keesokan harinya, dan hari berikutnya, saya heran dengan keangkuhan hati seorang anak berusia 3 tahun.

Saya dalam hal ini hanyalah seorang ayah yang ingin memberikan hal yang baik dan sehat kepada anaknya. Fakta bahwa saya mau ia mengucapkan kata “tolong” untuk meminta sesuatu yang patut ia harapkan dari saya, bukanlah sekadar soal menekan harga diri atau memuaskan ego. Ini adalah suatu pelatihan demi masa depan, suatu upaya membentuk hatinya agar bersyukur dan rendah hati.

Orang sering mengatakan bahwa menjadi orangtua akan mengajarkan kita banyak hal tentang Tuhan, tetapi yang mereka maksudkan adalah Anda akan belajar banyak hal tentang diri Anda dari perspektif Tuhan. Tentu saja, siapa yang dapat mengetahui pikiran Tuhan? Namun, ketika saya merenungkan hal ini, saya mau tidak mau jadi memeriksa hati saya sendiri. Betapa sering saya membiarkan kesombongan menghambat pertumbuhan saya sendiri, tidak bisa menerima disiplin yang diberikan sebagai tindakan untuk mengatasi penyakit fatal yang kita sebut dosa? Betapa sering saya tidak menggunakan kesempatan untuk membenahi hati saya sendiri, terlalu penuh dengan diri sendiri untuk memahami dan menerima berkat atau pemulihan Tuhan?
Pada pagi keempat putri saya mogok sarapan, ia masih tidur ketika saya meninggalkannya untuk suatu perjalanan bisnis. Namun ketika saya kembali beberapa hari kemudian, sesuatu sudah berubah. Malam itu saya sedang mengupas semangka ketika saya menyadari ia memperhatikannya.
“Kamu mau?” tanya saya.

Ia menatap saya dan tersenyum lebar. “Ya, Ayah, tolong….”
Saya pun langsung mengisi semangkuk penuh dengan daging semangka merah dan manis itu. “Khusus untukmu,” kata saya – terpana dengan sukacita sederhana karena telah memberikan sesuatu yang baik bagi hati yang bersyukur dan mau merendah.

Cameron Lawrence