Menerima Keadaan Tidak Dikenal

Oleh : Liuan Huska

Bagaimana kita menghargai pentingnya kehidupan kita yang biasa di tengah pentingnya visibilitas.

Menerima Keadaan tidak dikenalSepuluh tahun lalu, saya adalah seorang mahasiswa baru yang memiliki cita-cita setinggi langit untuk masa depan saya. Saya membayangkan, di usia saya sekarang ini, 30 tahun, saya sudah menjadi seorang pakar hebat di masyarakat China modern, yang menyandang gelar PhD antropologi, dengan pikiran bertabur ide-ide cemerlang dari semua penggagas teori sosial terkenal –  Marx, Durkheim, Saussure, dan lain-lainnya. Dan tentu saja, saya juga akan sudah menjadi orang yang dewasa rohani, yang sudah melalui berbagai-bagai pencobaan sehingga saya dapat memengaruhi banyak orang dengan contoh-contoh nyata.

Dengan kata lain, saya akan menjalani kehidupan dengan huruf H besar, “Hidup” yang memberi dampak pada dunia, “Hidup” yang mengubahkan dan menggoncangkan, yang di dalamnya saya menulis banyak artikel dan buku-buku yang inovatif, menyampaikan ceramah kepada orang-orang penting, membawa ratusan jiwa kepada Kristus, dan pergi tidur setiap malam dengan mengetahui bahwa saya sudah melakukan sesuatu.

Pada kenyataannya, saya hanya menjalani kehidupan dengan huruf h kecil, “hidup” yang biasa-biasa saja. Saya bangun ketika anak saya yang berumur 2 tahun memanggil-manggil atau masuk ke kamar, menarik saya dari tempat tidur, dan memutuskan apakah kami akan makan sereal lagi untuk sarapan. Saya berusaha “mencuri-curi” waktu untuk bisa menulis atau membaca sesuatu (hal yang penting) di sela-sela membacakan buku untuk anak-anak, pergi ke taman dan bersosialisasi dengan ibu-ibu lain. Saya berbelanja kebutuhan sehari-hari. Saya menyiapkan makan malam. Saya pergi bersama keluarga pada malam hari dan membuat lelucon-lelucon bodoh. Waktu tidur tiba terlalu cepat. Saya lalu tidur dan bangun untuk melakukan hal yang sama lagi keesokan harinya. Hidup saya tidak terkenal, begitu-begitu saja setiap hari, yang sebagian bisa dikatakan tidak penting.

Namun, ketika saya menghadapi bedanya “hidup” saya yang sebenarnya dengan “Hidup” yang saya pikir akan saya jalani, saya menyadari bahwa saya kemungkinan sudah salah besar dalam yang dimaksud dengan kehidupan yang berarti dan berdampak. Seperti banyak orang lainnya di masyarakat, dan bahkan di gereja, saya sudah menyamakan hidup yang berpengaruh dengan status dan visibilitas. Jika orang lain melihat Anda sebagai orang berpendidikan, sukses, terhubung, relevan, dan “lebih” dari mereka, maka mereka akan mendengarkan Anda. Semakin Anda menjadi orang penting dan terkenal, semakin Anda dapat mempengaruhi orang lain dan memenangkan mereka.

Maka, kita pun berusaha untuk “terlihat”, menjadi pusat perhatian dan mengumpulkan sebanyak mungkin tanda “Suka” dan “Bagikan” di media sosial kita. Sebagai seorang penulis yang berambisi, saya merisaukan tentang berapa banyak orang yang mengikuti saya di Internet, seberapa jauh jangkauan podium saya, dan apakah saya dapat berbicara di gereja-gereja dan konferensi-konferensi untuk meningkatkan visibilitas saya. Tidak dikenal – tidak terlihat atau terdengar – dalam “industri” ini dan banyak hal lainnya adalah semacam kegagalan terburuk.

Namun, saya juga bertanya-tanya, apakah kami sudah mengabaikan pentingnya menjadi orang yang bukan siapa-siapa. Saya dan suami mendapat tempat di sebuah gereja berbahasa Spanyol, di mana banyak jemaatnya hidup sebagai masyarakat terpinggirkan, yang harus berjuang keras untuk membayar rekening-rekening dan dicemaskan dengan masalah-masalah imigrasi. Kami mendapat hak istimewa untuk mendengarkan cerita-cerita mereka, yang biasa maupun yang luar biasa, dari dibesarkan dalam kemiskinan di Peru sampai menyusuri padang gurun di barat daya Amerika dengan berjalan kaki. Dan kami hanya mendengarkan mereka sebagai orang yang bukan siapa-siapa, tanpa agenda tertentu dan dengan menyediakan cukup waktu untuk berbicara tentang apa saja pada saat-saat makan malam yang dilakukan pada waktu Latino (yang dimulai satu jam lebih lambat dan berakhir empat jam kemudian).

Jika kami masuk ke gereja itu sebagai “orang penting,” orang yang pendapatnya sangat dihargai, apakah teman-teman kami itu berani menceritakan beban-beban mereka yang biasa kepada kami? Kemungkinan besar mereka akan seperti saya ketika berhadapan dengan orang yang mengesankan saya – diam seribu bahasa, atau mencari-cari hal yang cerdas untuk dikatakan, atau berusaha tidak terlalu menuntut waktu mereka karena mereka mungkin memiliki hal-hal yang lebih baik untuk dilakukan daripada hanya mendengarkan orang bodoh kuno seperti saya.

Adakah model yang lebih baik untuk pemimpin Kristen yang tidak harus mengejar status atau visibilitas, yang dalam prosesnya justru bisa menjauhkan orang-orang yang tidak berpendidikan, miskin dan terpinggirkan – orang-orang yang dicari Yesus dan yang Yesus mau kita kasihi? Mungkinkah banyak orang yang “bukan siapa-siapa” itu, orang yang melakukan hal-hal yang biasa, yang “hidup” dengan huruf h kecil, memiliki peran yang sangat penting dalam menyatakan kerajaan Allah?

Henri J. M. Nouwen, dalam The Wounded Healer, menggambarkan para pemimpin Kristen sebagai sesama pengembara yang sangat tidak asing dengan kebingungan, kesepian dan penderitaan yang menegaskan kemanusiaan yang sama. Menjadi pemimpin, menurut Nouwen, tidak berarti kita harus menjadi lebih tinggi, menyampaikan hikmat yang dari atas. Melainkan, menjadi pemimpin itu berarti bersedia memasuki kedalaman diri kita sendiri, seperti Yesus yang masuk ke dalam kubur dan keluar dari sisi yang lain. Dengan kata lain, kita harus “menaruh iman dan keraguan kita sendiri, pengharapan dan keputusasaan kita sendiri, terang dan kegelapan kita sendiri di tempat yang dapat membantu orang lain menemukan jalan dalam kebingungan mereka, dan menyentuh dasar kehidupan yang teguh.” Saya kira tidak ada jalan yang lebih baik untuk melayani semua orang yang bukan siapa-siapa di dunia ini, selain menerima keadaan diri sendiri yang tidak penting dan tidak dikenal – dan menjadi orang yang “bukan siapa-siapa” itu sendiri.