Meneruskan Jalinan

(Daniel Darling)

Kesetiaan pada tubuh Kristus berarti memandang melampaui saat ini dan di sini.

“Bukankah Anda senang Allah hadir saat ini?” sapa pemimpin pujian setelah menyelesaikan rangkaian puji-pujiannya. Saya bertanya-tanya. Bagaimana bisa ada pertanyaan seperti itu? Apakah Allah itu harus dihadirkan berulang-ulang?

Sebenarnya pertanyaan pada hari Minggu itu bukanlah apakah Allah yang mahahadir dan mahakuasa itu akan “hadir” seakan-akan Dia adalah seorang remaja 13 tahun yang tak dapat dipercaya. Pertanyaan itu adalah, seperti yang selalu ditanyakan pada hari Minggu, “Apakah umat Allah akan hadir?” Atmosfir ini, yang sering diulang-ulang dalam ibadah injili, tampaknya menyampaikan gagasan bahwa Kekristenan baru saja ditemukan, dan dapat tiba-tiba hilang akibat kurang berdoa atau menyanyi dengan setengah hati. Seolah-olah pekerjaan Allah di dunia ini adalah sebuah perusahaan baru yang diselenggarakan bersama oleh kepintaran dan ketekunan.

Padahal pandangan sekilas tentang sejarah pun menunjukkan pada kita bahwa Allah sudah dan selalu hadir di tengah umat-Nya di sepanjang sejarah manusia. Dia hadir di kitab Kejadian sebagai Pencipta segala sesuatu. Dia hadir dan menyatakan diri kepada Abraham, Musa, bangsa Israel, dan para nabi. Dia hadir dan menyatakan diri, setelah 400 tahun diam, dengan memakai sebuah kandang kecil di perkampungan Palestina yang terpencil. Dia menyatakan diri kepada 500 orang saksi setelah kebangkitan-Nya dan dengan kuasa Roh Kudus pada hari Pentakosta. Dan Dia menyatakan diri, melalui Roh Kudus, di dalam tubuh Kristus selama 2000 tahun.

Tabungan Iman

Gerakan Injili modern, yang muncul sebagai perlawanan terhadap tradisi konvensional yang dianggap “kaku” dan “tidak bersemangat” serta didukung oleh pengajaran tentang keselamatan pribadi, seringkali tampaknya terlepas dari tradisi besar sejarah gereja. Padahal pada saat ketika komunitas dan relasi-relasi paling tercerai-berai, ketika budaya begitu menekan gereja, terhubung kembali dengan kisah ortodoksi mungkin adalah hal yang sungguh kita perlukan.

Gagasan ini—bahwa iman yang Anda nyatakan pada hari Minggu adalah tabungan yang terus berlangsung dari generasi ke generasi – merupakan konsep yang ditemukan di sepanjang Alkitab. Orang Israel sering dinasihati untuk menceritakan kembali kisah penyelamatan mereka kepada anak-anak dan cucu-cucu mereka. Dan teguran nabi-nabi kepada umat Allah seringkali didasarkan pada kegagalan untuk mengingat kisah mereka sendiri. Di dalam Perjanjian Baru, kita menemukan Paulus yang menasihati anak didiknya, Timotius, untuk berpegang teguh pada hal-hal yang sudah ia ajarkan dan mengajarkannya kepada orang lain lagi (2 Timotius 2:2). Demikian pula, Yudas menggambarkan Kekristenan sebagai “iman yang telah disampaikan (turun-temurun) kepada orang-orang kudus” (Yudas 1:3). Dengan kata lain, Kekristenan itu bukan sekadar suatu perasaan, atau sesuatu yang dihasilkan pada hari Minggu, tetapi suatu realitas; baik yang berupa kumpulan kebenaran yang dikaruniakan pada kita oleh rasul-rasul dan disampaikan turun-temurun melalui sejarah gereja, maupun yang berupa sebuah kisah.

Kita sering berkata kepada satu sama lain bahwa kita tidak sendirian, karena kita memiliki saudara-saudari di samping bangku gereja kita, di kota lain, atau di negara lain yang memiliki iman berharga yang sama. Kita juga “mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita” (Ibrani 12:1) yang sudah lebih dulu menekuni imannya sebelum kita. Kehidupan mereka, kisah-kisah mereka, tulisan-tulisan mereka, menjadi pengingat  bahwa Allah yang sama, yang setia di abad pertama, abad kelima,dan abad ke-16, adalah juga Allah yang setia di abad 21. Selain itu, testimoni-testimoni mereka merupakan “urat-urat” yang menghubungkan orang-orang Kristen masa kini dengan para rasul, dan menghubungkan para rasul dengan orang-orang kudus dalam perjanjian yang lama.

Saya bertanya-tanya, apakah perasaan mendalam yang kita rasakan, sebagai orang percaya Amerika, terhadap realitas-realitas budaya yang berubah, disebabkan juga oleh ketidaktahuan kita tentang hubungan-hubungan ini, dan tentang berabad-abad sejarah gereja yang sudah berlangsung sebelum zaman kita. Kita sebenarnya tentu merasakan, saya kira, bahwa seluruh proyek Kekristenan ikut jatuh bangun bersama kompetensi kita sendiri. Karena kita tidak mengenal kisah kita sepenuhnya, kisah keluarga kita mengenai kesetiaan Allah, kita gemetar terhadap ilah-ilah yang lebih rendah, dan mengeluh ketika harus beribadah. Tetapi, bayangkan, jika kita sudah menemukan kembali kasih yang diperbarui terhadap orang-orang yang sudah mendahului kita, dan terhadap peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah yang sudah membentuk gereja.

Pada hari Minggu

Seperti apa ibadah kita jika kita mau menimba lebih dalam dari sumur sejarah gereja? Kita bisa mulai dalam hal-hal kecil dengan menambahkan pembacaan pengakuan iman dasar kita dalam pelayanan ibadah. Ditempa dalam berbagai perdebatan teologi yang penting pada masa lalu, pernyataan-pernyataan ini tidak saja diilhami oleh Roh Kudus, tetapi telah membentuk kerangka ortodoksi Kristen yang kuat. Pernyataan-pernyataan ini menunjukkan apa yang kita percayai dan mengapa kita memercayainya.

Kita juga bisa memperkenalkan, dalam pengajaran kita, kisah-kisah para martir, para pahlawan  Kristen terkenal, dan gerakan-gerakan penting di masa lalu. Kita perlu selalu bersyukur, dalam doa-doa kita, kalau kita boleh berdiri di atas bahu orang-orang yang sudah hidup sebelum kita. Kita bisa mengingatkan diri kita sendiri bahwa kisah pertobatan kita tak ubahnya hanya seutas benang dalam rajutan kisah penebusan Allah yang besar dan mulia. Dan ketika kita membaptis orang percaya baru, kita harus mengajarkan kepadanya bahwa ia bukan saja baru ditanamkan di dalam Tubuh orang percaya, yang hadir dan hidup pada saat ini di seluruh dunia, tetapi juga dalam jalinan umat Allah di sepanjang sejarah.

Tentu saja kita tidak boleh membiarkan gereja-gereja kita berubah menjadi musium, di mana kita tanpa pikir panjang mengagungkan orang mati dan mengulang kembali kebiasaan lama yang tak bermakna. Namun, kita juga tidak boleh membuat pengalaman ibadah kita sedemikian modern dan relevan, sampai tidak ada kemiripannya dengan yang dialami orang-orang percaya yang tinggal di gua-gua pada abad ketiga, dan gereja-gereja rumah pada abad 16. Ketika mengambil bagian dalam roti dan anggur Perjamuan Kudus, kita harus mengingatkan diri kita bahwa kita sedang mengambil bagian dalam perjamuan yang diperingati oleh keluarga kita di abad pertama, yang dihubungkan dengan kita oleh darah – darah Yesus.

Kita boleh saja mencari cara-cara baru dan kreatif untuk menyembah Mesias kita, tetapi iman yang kita ungkapkan pada hari Minggu bukanlah hal yang baru, sesuatu yang dari Amerika, atau dari zaman modern. Syukurlah, Kekristenan tidak didasarkan pada talenta dan ketaatan penganutnya, tetapi pada kuasa Kristus yang bangkit. Gereja yang bersekutu bukanlah sesuatu yang dihasilkan dari laboratorium atau konferensi, tetapi karya Yesus Kristus, yang akan terus ditopang oleh kuasa-Nya melalui setiap generasi, sampai Dia datang kembali dalam kemuliaan.