Mengakhiri Dengan Buruk

Mengapa Kepemimpinan Kristiani Semakin Memburuk dan Kurang Bersinar

Oleh John Greco

Mengakhir-dg-tidak-baikPada suatu siang, saat kami sedang berbulan madu di Roma, istri saya Laurin dan saya memutuskan untuk mencari Penjara Mamertine – tempat yang menurut sejarah menjadi tempat Paulus dan Petrus ditahan sebelum mereka dieksekusi. Tidak ada yang spektakular tentang bangunan ini – suatu tempat yang terlihat serupa dengan ribuan bangunan lainnya di Roma, namun tempat ini telah lama menjadi tempat sakral bagi kedua rasul ini, yang menyelesaikan pertandingan duniawi mereka disana.

Sulit membayangkan orang lainnya di masa jemaat mula-mula yang dipakai dengan begitu luar biasa melebihi kedua orang ini untuk menyebarkan Injil kepada dunia. Petrus, yang merupakan sahabat dekat Yesus, adalah yang pertama kali menghancurkan penghalang bangsa non-Yahudi, memberitakan kabar baik keselamatan kepada Kornelius dan seluruh isi rumahnya. Kemudian ia membaptis mereka, dan selamanya menjadikan gereja sebagai suatu pergerakan yang akan mempersatukan orang dari setiap latar belakang. Dan Paulus, sang rasul bagi orang-orang non-Yahudi, membawa Injil kepada kota-kota perdagangan dan pusat budaya, berkhotbah kepada para budak dan para raja dengan cara yang sama, serta menyalakan api di peradaban kuno yang akhirnya menumbangkan Kekaisaran Romawi. Pesan yang dibawa adalah pesan Kerajaan Allah yang menjungkir-balikan dunia, namun disampaikan melalui pribadi-pribadi yang tidak sempurna seperti Petrus dan Paulus, yang melaluinya Allah melakukan karya-Nya.

Saat ini kita sering mendengar tentang kepemimpinan Kristiani dan betapa kita membutuhkan pengaruh Kekristenan di lingkungan pemerintahan, budaya dan akademis. Dan ada kesan dimana kita tidak memiliki pilihan selain tidak melakukan apa-apa di sektor-sektor tersebut. Abraham Kuyper pernah berkata, “Tidak ada satu inci pun di seluruh area keberadaan manusia kita dimana Kristus, yang berdaulat atas segalanya, tidak berseru, ‘Ini milik-Ku!’” Jadi adalah tepat bahwa sebagai duta-duta-Nya, kita terus berusaha untuk mengarahkan setiap pusat kehidupan manusia kepada jalan-jalan kerajaan-Nya.

Namun pernahkah Anda memikirkan bahwa kepemimpinan Kristiani, yang dijalankan oleh para murid terhebat pada masa jemaat mula-mula, berakhir dengan kerendahan hati, penyiksaan, dan kematian? Dan itu bukanlah suatu kebetulan. Itu adalah bagian dari rancangan Allah.

Setelah kebangkitan-Nya, ketika Yesus memulihkan Petrus kembali, Ia meminta kepada sang murid sebanyak tiga kali untuk menggembalakan domba-domba-Nya (Yohanes 21:15-17). Seorang gembala memimpin gembalaannya tidak hanya dengan cara berjalan di depan mereka. Ia harus mengawasi mereka, mengarahkan mereka, mencegah mereka dari jalan yang membahayakan mereka, dan mencari mereka saat mereka tersesat. Sangat sulit dikatakan glamor. Pendek kata, seorang gembala memimpin gembalaannya dengan cara melayani mereka. Di penghujung harinya, ia kelelahan demi gembalaannya.

Dalam percakapan yang sama, Yesus pun mengatakan kepada Petrus, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki” (Yohanes 21:18). Agar kita tidak kehilangan subteksnya, Yohanes menjelaskan: “Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah” (Yohanes 21:19). Karena itu panggilan Petrus untuk memimpin adalah panggilan untuk melayani dengan rendah hati dan panggilan untuk mati.

Panggilan Paulus kepada kepemimpinan Kristiani juga tidak lebih bergengsi. Setelah dibutakan oleh terang Kristus dalam perjalanan menuju Damaskus, Paulus dituntun masuk ke kota oleh orang lain dan ia harus menantikan pertolongan dari Tuhan. Tak jauh dari tempatnya berada, Yesus berfirman kepada Ananias dalam suatu penglihatan dan mengatakan kepadanya hal ini tentang sang calon rasul: “Orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku untuk memberitakan nama-Ku kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel. Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya, betapa banyak penderitaan yang harus ia tanggung oleh karena nama-Ku” (Kisah Para Rasul 9:15-16).

Tampaknya kedua orang ini – Petrus dan Paulus – lebih besar daripada kehidupan mereka sendiri; tipe orang yang rela mati demi Injil, tipe orang yang sangat berkomitmen namun aneh, tidak seperti Anda dan saya. Namun saya rasa tidak adil untuk menempatkan mereka dalam kategori yang spesial. Anda dan saya mungkin tidak mati dengan kepala di bawah di atas salib Romawi atau dengan cara dipenggal, sebagaimana sejarah mengatakan kepada kita bagaimana Petrus dan Paulus menemui ajal mereka, namun kita mengikuti Tuan yang sama. Jadi, sekalipun cara kita meninggal mungkin tampak berbeda, namun dalam konteks kita, panggilan kita sama nyatanya. Yesus sendiri bukanlah orang yang asing dengan kepemimpinan semacam ini. Ia memimpin dengan cara melayani dan mati demi mereka, yang bagi-Nya Ia datang untuk menyelamatkan.

Kita dapat berbicara tentang kepemimpinan dengan cara melayani sebagai suatu strategi untuk mempengaruhi orang banyak, namun saat kita melakukannya, marilah kita mengingat asal mula kepemimpinan ini. Bukannya membayangkan tentang gereja besar atau presentasi yang  apik saat kita memikirkan tentang kepemimpinan gerejawi, namun marilah kita merenungkan tentang Mamertine – dan mengingat harga yang harus dibayar untuk memimpin seperti Yesus.