Pelajaran Dari Sangkar Burung

pelajaran-sangkar-burungKetika saya masih duduk di kelas delapan Shop Class (semacam Sekolah Teknik tingkat Pertama), saya sudah menggunakan tiga potong kayu untuk membuat laci berukuran 25 cm. Saat itu saya baru berusia 14 tahun. Dibutuhkan waktu 41 tahun lagi untuk membuat sesuatu yang lain. Selama proses membesarkan empat orang anak, saya sudah bermandi keringat dan mengeluarkan darah ketika memasang barang-barang – sepeda, rumah boneka, rangkaian ayunan – tetapi saya belum pernah membuat sesuatu untuk keluarga saya.

Dalam bukunya yang berjudul Shop Class as Soulcraft, ahli filsafat Matthew B. Crawford menyesalkan dunia kita yang memberi “tidak banyak kesempatan kepada jenis ‘semangat’ untuk memperbaiki atau membuat benda-benda yang ada pada kita.” Ia benar. Saya sudah tidak lagi memiliki laci itu, tetapi laci itu kokoh, dan yang terpenting, sayalah yang membuatnya.

Di usia saya yang sudah lebih dari setengah abad, saya kadang masih memikirkannya dan ingin belajar membuat sesuatu lagi. Maka saya mengundang teman saya Brian, pensiunan Angkatan Laut yang menjadi supir truk dan memiliki berbagai peralatan serta mengetahui cara menggunakannya. Ia setuju membimbing saya mengerjakan proyek sederhana tetapi membanggakan – sepasang sangkar burung. Bukan sangkar burung biasa seperti yang Anda pikirkan, tetapi sangkar burung canggih yang luas, dari kayu aras asli.

Kami mulai dengan melakukan perjalanan ke Depot RumahTangga untuk mencari peralatan, dan setelah itu barulah kami bekerja. Sebenarnya Brian yang bekerja, sementara saya hanya memperhatikan dan mendengarkannya. Ketika ia menggunakan gergaji putar untuk memotong papan aras 8-kaki saya terus-menerus berpikir, Untungbukan saya yang mengerjakan hal itu.

Tetapi kemudian ia mengucapkan tiga kata yang menakutkan itu, “Baiklah, sekarang giliranmu.”

Selama beberapa hari berikutnya, kami pun melanjutkan pekerjaan memotong, mengebor, mengampelas, menjepit, melubangi, menyekrup, mengelem, memoles dan menyelesaikan pelitur terakhir, dan –tralala – 41 tahun setelah usaha pertama saya, saya berhasil membuat produk kayu lain yang berguna.

Secara teknis, tentu saja, Brian dan saya mengerjakannya bersama-sama sebagai seorang ahli dan seorang pemula. Dan ketika kami menekuni pelajaran-pelajaran itu, saya menyadari bahwa hidup adalah suatu masa magang yang panjang. Kita lahir, bertumbuh, menjadi dewasa, berusia lanjut, dan orangorang muda yang memerlukan mentor tak pernah berakhir.

Saya belajar hal ini dengan tidak mudah. Sekitar enam tahun yang lalu, saya adalah seorang pendeta yang tidak tahu cara memimpin diri sendiri – apalagi memimpin orang lain. Saya terhenyak, keluarga saya terluka, gereja saya kecewa dan saya tidak tahu bagaimana memperbaikinya. Dante memulai syair kepahlawanannya, Inferno, dengan kata-kata yang persis menggambarkan diri saya: “Di tengah perjalanan hidup kami, saya mendapati diri saya berada di hutan belantara yang gelap.”

Tetapi di tengah hutan belantara ini, saya menemukan mentor-mentor. Ketika saya menjadi pendeta rumah sakit, saya memperhatikan kakek-kakek yang renta mengunjungi istri-istri mereka yang cacat, hari demi hari duduk di samping wanita yang tidak dapat memberikan apa-apa pada mereka. Mereka mengajarkan pada saya seperti apa janji pernikahan itu.
Saya bergabung dalam kelompok pendukung pria yang dipimpin oleh Chris K., seorang petani dan peternak lebah dari Long Island yang suka bicara blak-blakan dan berkata, “Hai bung, hidup kalian berantakan karena kalian tak pernah mendapat peralatan yang tepat.” Chris lalu menambahkan kebijaksanaannya yang sulit dicapai ke dalam kotak peralatan pria saya. Ketika seorang pria dewasa yang bijaksana mengetahui tentang dosa tertentu dalam hidup saya, dengan otoritas yang lembut dan kasih yang mantap, ia berkata, “Matt, kamu tidak boleh melakukannya lagi.” Ia mengajar saya untuk bertumbuh dan berubah.

Membuat sarang burung, memelihara janji pernikahan, memperbaiki kehidupan yang hancur, hidup dalam kekudusan – kehidupan Anda di dunia ini adalah suatu masa magang. Ada alasannya mengapa orang Kristen disebut murid-murid Yesus. Tanpa memperhatikan Dia, kita tidak akan tahu bahwa kita akan memperoleh hidup dengan menyerahkannya, atau bahwa kita menjadi besar dengan melayani orang lain, atau kita bisa mati dan memiliki hidup yang kekal. Tanpa memandang Yesus, yang tergantung di salib, dengan bibir bengkak dan sobek yang berdoa, “Bapa, ampunilah mereka,” kita tidak akan pernah tahu betapa dalamnya cinta kasih sejati. Dialah Mentor ahli kita.

Itulah sebabnya kita harus selalu bersedia memperhatikan, mendengarkan, belajar, berubah, melakukan, bertumbuh dan – jika waktunya tiba – menjadi mentor bagi orang lain. Mungkin kita akan membuat sangkar burung yang besar. Tetapi yang lebih baik, dengan kasih karunia Allah, kita akan membangun kehidupan yang indah.