Pengharapan Dari Dalam

Fokus abadi Jacqueline Adalbert membawa kehidupan bagi kamp pengungsi yang menjadi rumahnya sejak 20 tahun yang lalu.

Oleh Stefani McDade

Setiap hari, Jacqueline Adalbert terbangun oleh suara pohon bergoyang di luar gubuknya yang beratapkan ilalang. Di dinding dekat tempat tidurnya tergantung peta dunia besar dengan satu titik merah di Kamp Pengungsi Nyarugusu di Tanzania. Disinilah Jacqueline telah menghabiskan 20 tahun terakhir sebagai seorang pengungsi.

Dimana banyak wanita telah menikah atau hamil di usia 16 tahun, Jacqueline telah berusia 24 tahun dan belum menikah. Sebagai salah satu dari sedikit penghuni yang dipekerjakan di dalam kamp, ia adalah seorang guru untuk anak-anak sekolah dasar, dan sebagai anak tertua, ia menghabiskan sebagian besar upah mingguannya untuk membeli daging dan sayuran bagi makan keluarganya yang hanya berupa kacang-kacangan, tepung, minyak dan garam. Tidak seperti orangtuanya, Jacqueline tidak memiliki kenangan akan kehidupan mereka sebelumnya di Kongo, kecuali di hari saat mereka melarikan diri – satu hari dimana ia berharap dapat dilupakannya.

Jacqueline yang saat itu berusia 4 tahun sedang berada di ruang keluarga bersama ibunya dan adik perempuannya ketika sekelompok pria berseragam mengambil segala sesuatu. Saat para tentara itu menyuruh keluarganya untuk keluar dan jangan pernah kembali, mereka meninggalkan peringatan yang mengerikan akan ancaman mereka: peluru di punggung ayahnya, luka parang di kaki ibunya, dan tubuh adik bayinya yang sudah tak bernyawa. Sejak saat itu, Jacqueline telah berusaha untuk menjadi sumber penghiburan bagi keluarganya, namun seringkali ia merasa tidak berdaya.

Jacqueline tidak memiliki kenangan akan kehidupan mereka sebelumnya di Kongo, kecuali di hari saat mereka melarikan diri.

Tahun ini, Komunitas Alkitab Tanzania mengundangJacqueline untuk menghadiri seminar tentang pemulihan trauma. Disana, ia memulai perjalanan pemulihannya sendiri dengan belajar bagaimana untuk meratap dan mempercayakan dukanya kepada Tuhan. Ia pun diperlengkapi dengan In Touch Messengers untuk memfasilitasi grup pemulihan di gerejanya dan kampungnya. Diperlengkapi dengan konten yang berhubungan dengan trauma, khotbah-khotbah utama Dr. Stanley, dan Firman Allah yang hidup, alat-alat ini sudah membuahkan hasil – dimulai dari keluarganya sendiri.

Jacqueline memberikan Messengers kepada ayah dan ibunya, yang cacat permanen karena luka yang dideritanya. Saat orangtuanya mendengarkan, mereka pun mulai pulih dengan membawa duka mereka di hadapan Tuhan. Sekarang, Jacqueline mengajar di gerejanya setiap akhir pekan, dengan menggunakan Messengers untuk memimpin suatu kelompok kecil dan membahas tentang trauma mereka. Ia pun meminjamkannya alatnya kepada para tetangganya yang membutuhkan – termasuk satu pasangan yang pernikahannya goyah setelah janin anak mereka meninggal.

Setiap hari, Jacqueline berdoa untuk suatu masa depan di luar kamp. Namun hingga hari itu tiba, ia memutuskan untuk berakar kuat di dalam Firman Allah dan menolong orang lain menemukan pengharapan yang terdapat di dalam Kristus.