Pertumbuhan yang Tak Terduga Kemewahan Tak Terlihat dari Tinggal Diam

Pada tahun 2013, di saat guru-guru sekolah Minggu di gereja lain mengajarkan tentang pentingnya dibentuk semakin serupa dengan Kristus, guru di gereja saya berbicara panjang lebar tentang jamur. Dengan adanya spora yang memenuhi udara di seluruh bangunan kami pada tahun itu, Gereja Baptis Pertama di Lawrence, Kansas, menaruh “kesenangan” di dalam “jamur.”

“Tahukah kamu bahwa kitab Imamat mencakup instruksi untuk mengatasi jamur?” tanya guru kami, bermaksud bercanda. “Saya rasa pantas bagi kita untuk melakukan studi di seluruh gereja tentang pasal 14 secara khusus.”

Ia menyarankan ini tak lama setelah para spesialis jamur mulai membuat gereja kami mengadakan perbaikan besar-besar yang membuat sebagian besar gedung tidak memiliki plafon atau lantai selama hampir dua tahun. Memang itu yang diperlukan. Selama proses itu, gereja kami mungkin membuat pengunjung tidak nyaman. Di ruang ibadah, tak seorang pun dapat menghindari dasar lantai beton yang bolong-bolong seperti permukaan bulan. Di lorong, banyak kawat serabutan, penyekat-penyekat tertutup kertas timah, mirip lokasi syuting film fiksi.

Semakin lama bagian dalam gereja tetap terekspos, semakin istri saya Becki dan saya bertanya-tanya apakah gereja dapat mengatasi krisis semacam ini atau tidak. Dengan hanya beberapa ratus jemaat yang datang setiap hari Minggu, kami bukanlah gereja besar yang memiliki sumber finansial yang besar.

Dan bahkan bila jemaat dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi perbaikan, apa yang kami akan lakukan bila jamurnya kembali lagi? Lihatlah instruksi kitab Imamat bagi suatu bangunan yang telah menyelesaikan perawatan: “Tetapi jikalau tanda itu timbul lagi di dalam rumah itu, sesudah batu-batunya diungkit dan sesudah rumah itu dikikis, bahkan sesudah dilepa lagi, … Rumah itu haruslah dirombak” (Imamat 14:43, Imamat 14:45). Apakah hal itu nantinya akan menimpa kami?

Saat kami melihatnya, gereja kami sedang sakit, dan kami bertanya-tanya apakah penyakit ini bisa menjadi serius. Apakah masalah jamur dan uang akan menyebabkan anggota jemaat untuk pindah ke gereja lain? Apakah keluarnya keluarga-keluarga secara perlahan namun pasti akan membuat gedung ini kosong dan bisnis lain akan mengambil alihnya? Saya memikirkan dokter hewan lokal yang beroperasi di bekas gereja di jalan Massachusetts dan bertanya-tanya apakah gedung kami juga akan diserahkan dan dipakai untuk tempat perawatan anjing-anjing.

Bila orang melarikan diri saat situasi menjadi sulit, mereka meninggalkan bukan hanya orang terkasih, melainkan juga kesempatan-kesempatan. Kesempatan untuk berkontribusi, untuk bertumbuh, dan untuk hidup dengan berani.

Saat Becki dan saya membicarakan hal ini, kami sepakat bahwa meninggalkan gereja ini dalam keadaan susah sama saja dengan meninggalkan pernikahan saat hubungan menjadi sukar. Bila orang melarikan diri saat situasi menjadi sulit, kita beralasan, mereka meninggalkan bukan hanya orang terkasih, melainkan juga kesempatan-kesempatan. Kesempatan untuk berkontribusi, untuk bertumbuh, dan untuk hidup dengan berani. Mereka juga melewatkan kesempatan untuk bekerja bersama Tuhan, yang bersemayam bahkan di tempat ibadah yang paling bobrok sekalipun.

Dengan kerangka gedung yang terlihat, saya dapat melihat bagaimana seorang pengunjung di gereja kami mungkin menyimpulkan bahwa Tuhan telah meninggalkan gedung ini sejak lama. Lagipula, mengapa sang Pencipta alam semesta mau bersemayam di dalam kondisi seperti ini? Bila Yahwe datang ke bumi dalam rupa manusia, pastinya Ia ingin meletakkan kepala-Nya di tempat mewah daripada di.. kandang?

Disinilah kita berjalan terpisah dari Tuhan sekalipun kita mengklaim berjalan bersama Dia. Di saat Allah rela masuk ke dalam kekacauan manusia, mengambil tubuh untuk berjalan di tengah-tengah kita, kita malah cenderung menarik diri saat kita menghadapi sedikit kemunduran ataupun kondisi yang tidak menyenangkan.  Kita mundur di saat Tuhan maju.

Sekalipun banyak alasan sah yang sempurna untuk meninggalkan satu gereja, banyak orang pergi terlalu cepat saat tempat ibadahnya kehilangan keharumannya. Seringkali kita tidak dapat menerapkan panggilan Yakobus untuk “menganggap sebagai suatu kebahagiaan, apabila kita jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan” di saat kita kita menjumpai tantangan-tantangan yang dihadapi gereja kita (Yakobus 1:2). Namun apa yang terjadi bila kita menolak sirene untuk pindah ke tempat baru? Bila kita berpikir bahwa Tuhan mungkin menginginkan kita untuk tetap berada di posisi kita, bahkan saat tempat itu tidak lagi indah? Itulah mengapa Becki dan saya sepakat bahwa apapun tantangan yang dihadapi gereja kami, kami ingin tinggal. Tempat ini telah menjadi rumah kami, jemaatnya telah menjadi keluarga kami. Bila kami menyembah di tempat lain, hanya tubuh kami saja yang pergi, hati kami tetap tertinggal di sana.

Kita cenderung menarik diri saat kita menghadapi sedikit kemunduran ataupun kondisi yang tidak menyenangkan.  Kita mundur di saat Tuhan maju.

Ayah saya, seorang pendeta Baptis, menikahkan kami di gereja Baptis Pertama di tahun 2009. Dalam khotbahnya, ia membandingkan suatu pernikahan dengan suatu taman yang perlu dirawat dengan kasih. Bahkan dengan masalah jamur di gereja kami, dengan mudah saya memikirkan gereja Baptis ini sebagai taman juga. Kami berharap bahwa dengan tinggal disini, kami dapat membantu merawat taman gereja ini.

Namun ada hal yang lucu mengenai taman: Taman selalu nampak gersang awalnya – deretan kotoran yang tidak menunjukkan sedikit pun tanda-tanda pertumbuhan. Karena itu, saya pikir bahwa ketika kita salah menilai keadaan gereja saat ini dalam keadaan mekar sepenuhnya, sesungguhnya kita sedang mengalami rabun rohani. Bukankah seharusnya kita bertanya apa yang mungkin muncul dari tanah garapan gereja kita, mendoakan hal itu, dan kemudian mengambil sekop?

Saat saya menulis artikel ini, gereja Baptis Pertama sudah bebas jamur, memiliki plafon, lantai dan yang terbaik dari semuanya – memiliki jemaat. Selagi saya menyaksikan gedung ini mendapatkan kembali keindahannya, saya jadi menghargai pepatah yang dikatakan nenek saya Ruthie: “Mekarlah dimana kamu ditanam.”

Terkadang tidak ada sesuatu pun yang mengalahkan ‘kemewahan yang tak terlihat’ saat kita ‘tinggal’ — membangun akar yang lebih dalam, berkembang menjadi bunga di taman yang indah — sembari mempercayai, bahwa sang Pemilik Taman sedang mengerjakan tanahnya.