Resiko Kasih

Saat mempertimbangkan tentang penyaliban, adalah penting untuk mendapatkan keseluruhan gambarnya.

Oleh: Amy Hayes

Apakah kamu bersedia mengajak para murid untuk membeli es krim? Teman saya Brian bertanya pada saya.

Um, ya boleh saja. Saya ingin membeli es krim. Terima kasih banyak. Susu dan gula terdengar seperti kehendak Tuhan bagi saya.

Saya sedang memimpin suatu kelompok yang terdiri dari anak-anak SMP beserta orangtua mereka dalam suatu perjalanan misi ke Puerto Rico. Kami melewatkan minggu itu melayani di suatu gereja kecil di Ponce, mempelajari bahwa berjalan dengan iman itu seringkali mencakup tindakan mengambil resiko – suatu pelajaran yang kebanyakan orang mengalaminya dan itu membuat waktu kami di sana kaya dengan banyak kesaksian.

Setelah satu hari penuh mengganti plafon, mengecat tembok bata, dan mengajar di Sekolah Injil Liburan, setiap orang siap untuk ditraktir. 21 murid yang hiperaktif serta 21 orangtua yang kelelahan naik ke bis sekolah dan kami menuju ke pusat kota. Toko es krimnya begitu kecil, sehingga supaya sang penjual tidak kewalahan, kami membagi kelompok kami menjadi dua grup: Grup pertama akan mengantri di luar toko; sedangkan grup kedua akan mengikuti saya ke tengah alun-alun di seberang jalan dan mendengarkan tentang agenda besok.

Dengan es krim di pikiran setiap orang, saya mempercepat pembahasan agenda dan kemudian mengirim grup saya untuk membeli es krim. Para murid berlomba mencapai toko itu. Saya tinggal di belakang, menjawab pertanyaan dari beberapa orangtua. Ketika akhirnya saya berjalan menuju ke toko itu, saya memperhatikan gerombolan orang yang berkumpul disana – setiap orang dari grup saya yang berkerumun di luar, dan mereka membelakangi saya.

Saya menaiki trotoar untuk bergabung dengan mereka dan merasakan perubahan yang nyata di atmosfer. Hadirat Allah begitu berat terasa di udara, terukur dan nyata sama seperti kelembapan. Beberapa orang bergumam dengan nada yang hampir takjub sementara yang lain tetap diam, saling melirik dengan malu-malu dan mata yang berair.

Hadirat Allah begitu berat terasa di udara, terukur dan nyata sama seperti kelembapan.

Saya masuk satu langkah lagi ke dalam kerumunan itu, mencari tahu di sana apapun yang menangkap perhatian semua orang. Saat itulah saya melihat Briley, seorang anak kelas enam, berambut kuning dengan bola mata biru, sedang duduk di tanah, dipeluk oleh seorang pria tunawisma yang lebih tua darinya dengan bola bisbol usang di tangannya. Pria itu menangis.

Beberapa orangtua dan murid menyatukan cerita mereka bagi saya: Melihat pria kesepian ini benar-benar diabaikan oleh grup kami, Briley memberikan kepadanya bola bisbol milik para murid. Cuma sikap persahabatan yang sederhana itulah yang Tuhan perlukan untuk mendapatkan hati pria ini. Saya tidak yakin apa yang Briley lakukan atau katakan pada saat itu, namun mengingat tak satupun dari mereka berdua saling mengerti bahasa mereka satu sama lain, pelayanan itu sudah pasti pekerjaan Roh Kudus.

Briley menengadah, melihat kepada kami. “Maukah kalian semua berdoa untuk José bersama-sama denganku?” Dan kami semua melakukannya. Saat kami mengucapkan amin yang menyentuh perasaan kami, saya melihat ke mata ibu Briley, Sherri.

Dengan berjuang untuk menahan suaranya, ia berkata, “Ini adalah resiko saya.” Saya menganggukkan kepala, mengerti bahwa ia sedang mengacu pada tema perjalanan kami. Dengan melingkarkan lengannya di dirinya sendiri, ia terus berkata, “… untuk tetap berada disini, bahkan hanya 1,5 meter jauhnya, sedangkan anak saya” – suaranya pecah pada kata itu – “duduk dengan orang asing, sedangkan yang saya ingin lakukan adalah berlari cepat ke arahnya, memeluknya dan memastikan ia tetap terlindungi dari bahaya.”

Cuma sikap persahabatan yang sederhana itulah yang Tuhan perlukan untuk mendapatkan hati pria ini.

Sebelum apa yang terjadi malam itu di toko es krim, saya selalu menghubungkan Yesus, dan bukan Allah Bapa, dengan kerentanan. Dengan mengesampingkan misteri intrinsik Trinitas (sesuatu yang saya akui tidak memahami sepenuhnya), saya mau katakan bahwa Yesus adalah yang paling saya sukai diantara ketiganya. Dimana seluruh hidupnya penuh dengan resiko, Yesus adalah kerentanan Allah yang menjelma.Yesus tidak dapat menempatkan diri-Nya lebih rendah lagi pada belas kasihan orang lain daripada ketika Dia menyerahkan nyawa-Nya di kayu salib. Dan di sini saya melihat Briley – seorang anak kecil yang masuk ke dalam situasi yang berantakan dan kotor untuk mengasihi seseorang yang secara harafiah dipandang rendah oleh kaum religius – sedang menunjukkan kerentanan yang sama.

Di sisi lain, saya merasa benar dengan menahan Allah Bapa di kejauhan. Maksud saya, Ia pun menjaga jarak dengan saya, bukan? Bukan Bapa yang turun ke bumi. Ia malah mengutus Seseorang untuk mewakili-Nya.

Semua logika saya hancur saat saya melihat raut wajah Sherri. Pada momen itu, saya menangkap sedikit dari apa yang Allah Bapa rasakan saat melihat Anak-Nya yang tunggal berjalan di bumi, dipukuli dan disalibkan. Saya menyadari betapa besar pengorbanan-Nya untuk memberikan kepada Anak-Nya ruang untuk sepenuhnya mengasihi dunia yang telah rusak. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan

Selama bertahun-tahun, penyaliban digambarkan bagi saya dalam ribuan lagu dan lukisan. Namun apa yang saya tidak sadari hingga malam itu di Puerto Rico adalah bahwa gambar itu tidak lengkap tanpa Allah Bapa. Sekarang saat saya melihat salib, saya pun dapat melihat sang Bapa, menghadap ke arah Anak-Nya, ingin memeluk sang Anak. Dan ketika saya melihat Allah seperti itu, kepercayaan saya kepada-Nya semakin bertambah, mengetahui bahwa Ia pun telah merelakan segalanya untuk dapat bersama saya.