Reuni Terbesar Keluarga

Suatu hari kelak kita akan merayakannya di meja Allah bersama dengan saudara seiman yang dekat dan yang jauh.

Oleh Stefani McDade

Selagi kebanyakan keluarga Amerika Utara sibuk menjejalkan isi ke dalam kalkun atau membumbui daging ham selama masa liburan, keluarga kami justru menyajikan potongan daging babi basah dan kacang gurih di atas nasi putih yang empuk, dan disiram dengan mojo – saus encer dan tajam rasanya dengan bawang putih, jeruk nipis dan bawang. Setiap 3 hingga 5 tahun sekali, keluarga besar kami akan bepergian ratusan kilometer atau menyeberangi lautan untuk berkumpul kembali di apartemen kecil milik kakek dan nenek saya.

Selagi ibu dan tante saya menyiapkan makan malam, saya akan menyaksikan mereka berganti-ganti tempat di dapur. Saya dapat mendengar pisang raja yang digoreng di dalam wajan, dan buncis yang menggelegak saat direbus. Panas dari kompor memenuhi ruangan, dan aroma yang menggoda membuat perut saya menginginkannya. Saat makanannya hampir siap, anak-anak akan mengambil tempat di meja lipat yang panjang dan kita semua akan duduk bersama-sama.

Keluarga kami mulai merayakan hari libur dan reuni dengan makanan tradisional Kuba Noche Buena sejak bertahun-tahun yang lalu; sampai revolusi di tahun 1959 memaksa mereka pindah ke Miami – nenek dan kakek saya adalah misionaris di Kuba. Disana, mereka mendirikan gereja berbahasa Spanyol dan meneruskan pelayanan mereka. Sekarang, dua generasi kemudian, warisan misionaris mereka masih berlanjut. Keluarga besar kami tersebar di enam negara berbeda – mulai dari sepupu di Timur Tengah hingga seorang tante yang pindah kembali ke Kuba.

Duduk di sekeliling meja, kami semua akan saling bergenggaman tangan satu sama lain, dan begitu mata kami tertutup – bahkan sebelumnya – bukannya berdoa, kakek akan mulai bernyanyi. Lalu kami semua akan mengikutinya dengan melodi yang sama, “Terpujilah Tuhan yang dari-Nya segala berkat mengalir,” sebelum akhirnya menyanyikan dalam harmoni yang berbeda, “Pujilah Dia semua ciptaan-Nya di bumi.” Setiap kali kami mengangkat suara dan menyanyikan Doksologi ini, bulu kuduk saya merinding. Dan setelah penutup A(-a-a-a-a)-min! yang panjang, ada keheningan manis yang menggantung di udara hingga seseorang mengakhirinya dengan desahan kepuasan.

Duduk di sekeliling meja, kami semua akan saling bergenggaman tangan satu sama lain, dan begitu mata kami tertutup, bukannya berdoa, kakek akan mulai bernyanyi.

Di meja makan, percakapan sebagian besar terpusat pada bagaimana Tuhan bekerja dalam kehidupan kami dan pelayanan kami. Oleh karena setengah dari kami tinggal di luar negeri dan sisanya tinggal di Kanada atau Amerika Serikat, ketegangan yang dialami beberapa keluarga atas perbedaan pendapat mengenai politik nasional atau isu-isu sosial jelas tidak ada pada keluarga kami. Yang menjadi pengikat utama hubungan kami adalah rasa sama-sama memiliki sebagai anggota keluarga, baik oleh darah maupun oleh Roh.

Ketika saya masih kecil, bumi selalu terasa lebih kecil sebab keluarga saya seperti terlihat menempati begitu banyak wilayahnya. Pada suatu reuni, saya ingat tante saya Judy memberikan saya kartu pos dari Ekuador dengan gambar seorang gadis kecil Quechuan bermata lebar yang menatap saya melalui foto itu. “Ia seumuran denganmu,” kata tante saya. Saya terus melihat wajah bulat gadis itu, bertanya-tanya dimanakah dia berada dan apa yang ia sedang lakukan sekarang. Sampai hari ini, kapanpun saya menonton laporan berita internasional, anehnya orang-orang nampak begitu tidak asing. Sama seperti anak perempuan berpipi merah dalam kartu pos saya, mereka terasa lebih seperti calon teman saya dibandingkan orang asing yang tinggal jauh dari saya.

Tumbuh dalam keluarga misionaris telah menunjukkan kepada saya bahwa kesetiaan kepada suatu negara tertentu tidak sama pentingnya dengan menjadi milik Tuhan. Sama seperti kebanyakan kita, Yesus tumbuh dalam suatu keluarga yang terikat oleh darah dan lokasi. Namun ketika Ia memulai pelayanan-Nya, Yesus membentuk suatu keluarga yang baru – keluarga yang akan melakukan misi bersama-Nya hingga ke ujung dunia. Dan kemudian Ia mengamanatkan saudara-saudara laki-laki dan perempuan barunya itu untuk mempertaruhkan segalanya, termasuk persetujuan dari keluarga kandung mereka, untuk mengundang sesama dan bangsa-bangsa ke dalam persaudaraan rohani dengan-Nya. “Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku” (Matius 12:50).

Saya selalu membayangkan bahwa surga itu akan seperti reuni keluarga kami: Ketika orang pertama kali masuk, mereka mungkin tidak dapat menebak mereka sedang berada dimana – kecuali bahwa mereka merasakan seperti di rumah sendiri dan lautan wajah itu adalah anggota keluarga mereka. Namun bukan hanya sedikit negara yang terwakilkan, melainkan akan ada begitu banyak budaya dan warna. Surga akan menjadi reuni keluarga dengan skala yang tidak terbayangkan selagi kita bertemu dengan saudara-saudara seiman dari seluruh dunia untuk pertama kalinya. Bersama kita akan duduk di meja makan Tuhan dan berpesta dalam perayaan sukacita, bersama dengan setiap suku dan bahasa. Dan saya tidak tahu dengan Anda, tapi saya tidak sabar untuk mencicipi makanannya.