Sekali Lagi ke Taman

sekali-lagi-ketamanSaat saya dan suami menantikan kehadiran anak kami yang kedua, kami sedang tinggal di Skotlandia, dimana musim dingin adalah masa yang suram. Rumah kami berada cukup jauh di utara dan yang cukup mengejutkan, siang hari hanya terjadi sesekali. Dan oleh karena rumah kami dekat laut, kabut tebal sering menutupi segala sesuatu – udara berisi hawa yang sangat dingin. Berhari-hari, bahkan minggu, tanpa matahari adalah hal yang biasa.    

Sepanjang masa yang panjang itu, kami menanti. Siang hari makin pendek dan redup, dan saya mulai merasakan gerakan bayi saya untuk yang pertama kali. Hari Natal datang, dan dengan keadaan iklim seperti itu, terjadi komplikasi kesehatan. Saya menghabiskan waktu di rumah sakit, lemah dan dehidrasi, kuatir tentang bayi saya. Saya bergerak dengan pelan. Beberapa minggu kemudian setelahnya, saya mencuci baju-baju bayi dan melipat popok kain. Suami saya mulai berlatih untuk berkendara ke rumah sakit.    

Seiring waktu, siang hari semakin panjang dan terang. Pada masa-masa itu, saya berbicara dengan bayi saya dan berdoa.    

Musim semi tiba. Saya duduk di gereja, dalam keadaan hamil dan gelisah, melewati tanggal jatuh tempo namun masih bertanya-tanya kapan ia akan lahir. Anggota jemaat kami menunjukkan simpati mereka. “Segera, sayangku”, kata mereka.    

Mereka benar. Siang itu, saya tiba di rumah sepulang dari gereja, merasakan sakit tiba-tiba, dan pergi ke rumah sakit. Anehnya, perjalanan menuju rumah sakit selama satu jam melewati daerah pegunungan dan pertanian, berjalan dengan tenang, sekalipun sudah jelas bahwa bayi kami akan segera lahir. Sepanjang perjalanan, dan diantara kontraksi, saya menikmati pemandangan anak domba dan anak sapi, yang berada dekat induk mereka, bermain dan menyusu di padang gurun hijau.    

Saat itu saya berpikir bahwa musim semi adalah saat yang indah untuk melahirkan seorang bayi. Siang harinya panjang dan dunia seperti hidup kembali setelah kejamnya musim dingin yang mematikan. Pohon-pohon bertunas dan berbunga, dan setelah beberapa saat mengalami penderitaan (lebih tepatnya disebut proses melahirkan), seorang jiwa kecil baru membuka matanya melihat dunia untuk pertama kalinya.

Awal yang Baru
Dalam novel Lila karya Marilynne Robinson, pendeta lanjut usia bernama Ames mengatakan bahwa kakeknya yang beraliran Calvinis tidak menyetujui pohon natal yang ia letakkan di rumahnya, ataupun lampu yang ia pakai sebagai dekorasi – menurutnya itu adalah kegiatan fasik untuk membawa pohon ke dalam rumah dan menyebabkan kebakaran di musim dingin. “Memang benar, tak seorang pun yang tahu benar tentang kapan Yesus lahir,” kata Ames. “Musim semi nampak sebagai waktu yang lebih baik untuk merayakan kelahiran. Namun malah lebih baik untuk kebangkitan. Segala sesuatu hidup kembali.

Kita mungkin bertanya mengapa orang Kristen mula-mula tidak merayakan Pesta Kelahiran (yang sekarang kita rayakan sebagai Natal) di musim semi, ketika iklim di Eropa berubah dari iklim yang kejam ke iklim yang sedang dan menyenangkan. Sebaliknya, mereka merayakannya “di tengah-tengah musim dingin”, dimana satu natal lagu menyatakannya sebagai masa tergelap sepanjang tahun.  Mungkin kita merayakan kebangkitan di musim semi sebab kita memahami bahwa sebelum kelahiran kembali Paskah dapat terjadi, ada penderitaan dan kegelapan luar biasa dari penyaliban dan penguburan yang harus terjadi.      

Untuk hidup dan mengasihi di dunia ini berarti harus kehilangan sesuatu. Mereka yang berharga bagi kita harus meninggal, banjir dan kelaparan menghilangkan nyawa seisi kampung, orang yang tua merana kesepian, anak-anak dianiaya dan diterlantarkan. Kita bertanya, di mana Tuhan saat dunia nampak begitu gelap dan tak kenal ampun? Ketika dosa, ketamakan dan penderitaan nampak menang atas kebenaran, kemurahan hati dan kedamaian? Di mana nampaknya Tuhan sedang membuang kita dan meninggalkan kita sendiri untuk mati? Terkadang nampaknya terang tidak akan pernah kembali – bahwa kebangkitan tidak akan pernah terjadi.

Injil Yohanes menyajikan gambaran yang indah – gambaran yang kita miliki ketika kita membayangkan kebangkitan Kristus – dimana Maria Magdalena mencari Yesus di pagi saat musim semi, dan menangis ketika ia menemukan malaikat di kubur yang kosong. Bukan saja Tuhannya telah mati, sekarang tubuh-Nya pun menghilang. Saat seorang pria bertanya mengapa ia menangis, ia mengira itu tukang kebun dan bertanya apakah ia tahu kemana tubuh itu dibawa.    

"Maria!"
Ia memanggil namanya. Sebab itulah Dia. Dan pagi telah menjelang, seperti pagi pertama.    Begitu cocok dengan kebangkitan Yesus – dimana ciptaan Tuhan mulai kembali – terjadi di sebuah taman seperti taman yang Tuhan ciptakan pertama kali bagi umat manusia. Sengat kematian yang gelap dan dingin, segala penderitaan yang terjadi, berakhir dengan kebangkitan Yesus dari kubur.

Apakah hal yang mengherankan bahwa Maria Magdalena salah mengira Yesus yang telah bangkit sebagai tukang kebun? Mungkin tidak sama sekali. Yesus memang sang tukang kebun dari Ciptaan yang Baru – di kota Allah, dimana tidak ada lagi musim dingin, kematian, tangis dan bahkan matahari, sebab Dia yang menjadikan kita dan memanggil kita dengan nama kita akan menjadi terang kita, selama-lamanya.

Ya, untuk saat ini kita menderita kematian, penyakit dan kehilangan. Namun kita memiliki janji Tuhan bahwa hal itu tidak akan berlangsung selamanya – bahwa kita, dengan segala dunia yang lelah ini, akan ditebus, dijadikan utuh, dijadikan baru.

-Rachel Marie Stone