Sempurna?

Mungkin arahan dari Yesus untuk menjadi sempurna memiliki arti lebih dari yang kita pahami.

 Oleh : Mason Slater

Saat bagian pertama dari Khotbah di Bukit hampir selesai, Yesus merangkum pengajaran-Nya saat itu dengan berkata: “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Matius 5:48)

Bila Anda seperti saya, perintah ini akan menggoda Anda untuk mengangkat tangan dan menyerah. Pengajaran-pengajaran tentang amarah, pernikahan, dan mengasihi musuh ini sudah cukup sukar untuk dipahami, dan sekarang kita seharusnya menjadi sempurna? Kita ingin protes – hampir tidak adil rasanya Yesus bersikeras seperti itu. Saya cukup mengenal diri saya sendiri untuk mengatakan bahwa di sisi surga ini, kesempurnaan bukanlah sesuatu yang saya harapkan untuk dicapai. Jadi bagaimana itu bisa menjadi standar?

Yesus memang memanggil kita untuk menjalani hidup yang bebas dari dosa, dan dipenuhi dengan kasih untuk sesama. Itu adalah tujuannya. Sebagaimana Allah memerintahkan bangsa Israel, “jadilah kudus, sebab Aku ini kudus” (Imamat 11:45). Standar kekudusan dan kesempurnaan kita bukanlah tetangga di seberang jalan, atau pemimpin agama saleh yang kita kenal, melainkan kekudusan Allah Bapa.

Tentu saja Yesus mengetahui bahwa kita bergumul dengan dosa dan hidup di dunia yang berdosa, dan bahwa standar semacam itu bukanlah yang akan selalu kita jalani — tetapi itu tidak mengubah tujuannya. Kita dipanggil untuk menjadi semakin serupa dengan jalan Kristus, serupa dengan kehidupan yang Ia jabarkan dalam Khotbah di Bukit dan di seluruh isi kitab injil. Dan sekalipun itu semua nampak di luar jangkauan kita, kecenderungan kita untuk gagal tidak menghapuskan standar Allah, sama seperti kecenderungan anak-anak saya untuk tidak patuh tidak akan menghapuskan aturan yang saya dan istri saya buat bagi mereka. Bahwa standar itu akan dilanggar bukanlah alasan untuk menghapus standar itu sendiri.

Ketika kita membaca kata “sempurna,” kita mungkin berasumsi maknanya tanpa cela, atau tanpa dosa. Namun meskipun Allah memang tanpa dosa, namun bukan itu persisnya yang dimaksud kata ini.

Dalam kebudayaan kita, cara kita membayangkan kesempurnaan cenderung ke arah kurangnya kesalahan atau sesuatu yang diatur secara tepat dan tidak dapat diubah, seperti contohnya rumus kimia kompleks yang akan gagal bila ada bagian dari persamaan yang diubah. Namun dalam konteks ini, kata Yunani yang diterjemahkan disini sebagai “sempurna” lebih seperti “ketaatan dengan sepenuh hati” atau “kedewasaan rohani.”

Dalam satu bagian yang paralel, Injil Lukas menggunakan kata “belas kasih” yang menunjukkan bahwa baik Matius maupun Lukas sedang menterjemahkan ke dalam Bahasa Yunani satu kata Aram yang berarti “utuh atau lengkap.” Ketaatan, kedewasaan, dan menjadi utuh dan lengkap – ini adalah kata-kata yang mengarah pada kehidupan. Ketiga kata itu merujuk pada pengalaman dan pertumbuhan meskipun ada, atau bahkan disebabkan kekacauan hidup.

Bila demikian, apa yang seharusnya kita lakukan dari kata yang sukar ini “haruslah sempurna”?

Jauh dari alasan untuk berputus asa, dan jauh dari memberi isyarat bahwa kita sebaiknya menyerah untuk mencapai standar yang tidak mungkin dicapai, justru ini adalah kata-kata yang memberi pengharapan. Kita telah dipanggil untuk meniru karakter Bapa kita. Sebagai anak-anak Allah, kita diajar untuk bertumbuh dan menjadi dewasa serta menjadi semakin lengkap dalam ketaatan kita.

Ya, kita mungkin mengalami hari-hari dimana kesempurnaan nampaknya begitu jauh. Kita akan terus bergumul dengan dosa dan akibatnya karena hidup di dalam dunia yang telah jatuh dalam dosa, namun itu bukanlah akhir dari kisahnya. Yesus telah membayar harga bagi setiap orang berdosa, dan sekarang Ia memanggil kita untuk menerima pengampunan itu dan untuk hidup sebagai ciptaan yang baru. Dengan kata lain, menjadi sempurna.