Seorang Ayah yang Meninjau Dosa-dosanya

(Brad Fruhauff)

Betapa pun kerasnya kita berusaha sebagai orangtua, yang terbaik dari kita tetap tidak sempurna. Tetapi kasih Allah itu sempurna.

Saya tidak ingat di mana saya, sebagai pemuda yang sering pergi ke gereja saat itu, menemukan ayat yang mengatakan bahwa Allah menghukum anak-anak karena dosa orangtuanya. Mungkin saya membacanya di majalah pemuda Kristen atau mendengar sekilas khotbah yang sedang ditayangkan di televisi ketika saya memindah-mindah salurannya. Namun, pada suatu ketika, di saat saya masih sangat muda, konsep yang aneh itu menempel di pikiran saya: “Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya” (Keluaran 20:5).

Karena saya seorang yang pemalu dan sombong, saya tidak pernah bertanya kepada siapa pun tentang hal itu. Ayat itu mengganggu saya – saya bahkan sangat yakin ayat itu tidak berarti sebagaimana yang tampak sebagai artinya, karena pengorbanan Yesus. Tetapi saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan hal itu, jadi saya hanya menyimpannya dalam hati saja.

Kemudian saya dikaruniai anak pertama, putra saya Milo, dan dalam beberapa minggu saja, ayat itu sudah menggusarkan hati saya lagi. Apakah ia menderita akibat dosa-dosa saya? Mungkinkah ia mendapat kasih Allah? Penebusan Kristus?

Saya tentu saja tidak mendambakan anak saya akan seperti “malaikat kecil yang sempurna.” Namun meskipun saya tidak menganggap ungkapan itu tidak alkitabiah, ia tidak pernah “seperti malaikat.” Milo tidak menangis, ia menjerit-jerit. Tidak bisa ditenangkan. Ia marah dan berteriak-teriak setiap kali terbangun, dan kemudian ia akan tenang dan tertidur selama dua jam sebelum akhirnya mengulangi hal yang sama lagi. Ibunya dan saya stres berat dan sangat kelelahan.

Saya sudah siap untuk kurang tidur dan mengubah rutinitas saya. Tetapi saya tidak siap untuk menghadapi anak yang seperti vampir emosional, “lubang hitam” yang benar-benar menyedot secara fisik dan mental. Rasanya meskipun kami sudah memberikan seluruh perhatian dan energi kami setiap kali ia bangun, ia masih tak bisa ditenangkan. Orang-orang yang bermaksud baik sudah berusaha meyakinkan kami bahwa kasih kami sudah cukup, tetapi sejak awal kami tahu bahwa itu tidak benar. Kasih kami mengambil bentuk berusaha mengendalikan kekuatan yang sangat besar sampai kami akhirnya harus menyerah ke tangan pemeliharaan kuasa Allah.

Lama-lama, saya mendapati diri saya mudah menjadi frustrasi, dan marah, dengan cara-cara yang tak pernah saya lakukan terhadap manusia lainnya dalam hidup saya. Saya merasa diri saya jadi lebih dekat dengan kekerasan fisik. Saya seperti tidak punya kesabaran terhadap anak kecil yang selalu saja melempar makanannya ke lantai atau melepas sepatunya di mobil. Saya ingin sekali memiliki waktu 10 atau bahkan 5 menit saja bersama anak ini, tanpa saya harus menenangkan atau menegur atau mengarahkannya kembali.

“Dosa orangtua.” Dalam beberapa terjemahan dikatakan, “kesalahan bapa-bapa.” Apakah ini warisan dosa?

Orangtua baru lainnya pernah bertanya pada saya tentang dosa asal. “Saya tidak percaya hal itu,” katanya ketika melihat anak-anak kami bermain di lantai. Ia tidak bersikap romantis, ia hanya tidak dapat melihat kejahatan yang ada di dalam diri anaknya yang masih kecil. Saya tidak siap untuk melepaskan doktrin lama tentang bukti yang tidak memadai itu, tetapi ketika saya  menghadapi pertahanan yang sia-sia, saya mulai menyadari bahwa hal itu mungkin ada kaitannya dengan ayat yang mengusik saya itu.

Jika dosa mengacaukan, kasih memulihkan.

Dari pengalaman saya sendiri di dalam tradisi Reformed, dosa tidak hanya bersifat personal tetapi juga struktural; dosa mengkhamiri seluruh ciptaan sebagai kerusakan yang menyeluruh. Jika saya tidak dapat melihat maksud yang berdosa, saya tetap dapat melihat efek-efek dosa itu. Sejak kecil, anak saya sudah memiliki banyak keinginan dalam hal-hal yang saya, sebagai orangtua, tahu bahwa itu berbahaya. Dan itu bukan sekadar ketidaktahuan; itu kesengajaan yang jelas, tuntutan yang melawan untuk mendapatkan apa saja yang ia inginkan. Selain itu, kelemahan saya sendiri untuk mengasihi dan bersabar sebanyak yang ia butuhkan, dan kemudian kerusakan dalam diri saya sendiri yang bisa membahayakannya –  sudah membahayakannya – dengan perkataan amarah dan teladan yang buruk.

Hampir tidak masalah jika dosa Adam mengalir melalui DNA kita atau dihubung-hubungkan atau apa pun; anak itu sudah berada dalam dosa hanya dengan dilahirkan ke dunia. Dosa sudah menghancurkannya dan akan terus merusaknya, karena ibunya dan saya dan semua orang lain – seluruh sistem dunia – semuanya sudah rusak.

Penulis Flannery O’Connor mengingatkan kita pada sentimentalitas yang memperlakukan hal baik dan buruk secara sederhana. Kita perlu melihat dosa sebagai dosa karena ketika moralitas itu hitam putih, kita dapat memaafkan perilaku kita di area abu-abu. Kita lupa bahwa “dosa” juga bisa berarti orientasi – sikap menentukan-sendiri yang merendahkan kebaikan Allah.

Ketika kita ingin membuat aturan sendiri, “hukuman” Allah mungkin akan membiarkan kita. Ingatlah Roma 1, yang berbicara tentang orang berdosa yang keras kepala sehingga “Allah menyerahkan mereka kepada keinginan hati mereka akan kecemaran” (Roma 1:24). Banyak orang siap memakai ayat ini (sebagaimana dalam konteks itu) untuk berargumen tentang homoseksualitas, tetapi mengapa tidak untuk dosa-dosa lainnya?

Ada pemikiran kuno: Dosa itu sendiri merupakan hukuman. Dosa mengacaukan jiwa kita, menyesatkan akal budi kita, menyimpangkan imajinasi-imajinasi kita. Deskripsi Dante tentang neraka hanya mengusik sebagian karena jiwa terus berkanjang dalam dosa pemberontakan terhadap Allah, seluruhnya kecuali yang mencakup siksaannya.

Roma 1 menuntut ada sebuah tatanan moral bagi dunia. Tatanan yang bukan mekanis atau magis. Berbuat baik tidak akan menjauhkan penderitaan, seperti halnya berbuat jahat tidak selalu akan mengalami penderitaan. Matahari terbit dan hujan turun bagi orang benar maupun orang tidak benar.

Namun jika dosa mengacaukan, kasih itu memulihkan. Dan sesungguhnya kasih yang diajarkan Kristus kepada kita mengalir lebih kuat kepada anak-anak kita daripada kerusakan kita. Sesungguhnya kasih lebih berdampak daripada dosa, seperti halnya kasih lebih memengaruhi perhatian saya kepada anak-anak saya daripada kerusakan saya.

Alkitab mengajarkan bahwa kita adalah warga kerajaan surga yang sementara tinggal di bumi (Filipi 3:20). Sebagai orangtua, kita sudah memperluas area kerja, dan setiap hari kita menumpuk batu bata untuk salah satu dari kedua tempat itu. Yang satu adalah kehancuran yang akan kita bangun kembali untuk kemuliaan kita sendiri – hanya untuk mendapati bahwa itu adalah penjara. Yang lain, saya lebih suka membayangkannya sebagai arak-arakan, di mana semua orang adalah keluarga.

Saya dulu selalu bertengkar dengan saudara-saudara lelaki saya; saya tidak ingat pernah bersikap sangat manis terhadap mereka. Tidak pernah. Milo baru berusia 7 tahun saat ini; dan adiknya, Theo, berumur 4 tahun. Dan ya, mereka sering bertengkar. Tetapi ternyata ada manisnya juga. Kasih memulihkan, menumpuk bata-bata baru, menambal kerusakan yang dilakukan oleh dosa. Anak yang menerima banyak kasih, secara ajaib, bisa belajar untuk memberi juga. Ketika saya membawa Theo ke acara keIulusan Milo di sekolahnya, Milo memberikan kursinya kepada Theo dan meminta sepiring makanan ekstra pada gurunya. Kemudian ia melihat ke piringnya sendiri, mengambil salah satu dari dua jatah oreonya, dan menyerahkannya dengan riang kepada adiknya. Manis sekali, bukan?