Seperti Kami Juga Mengampuni

(Leslie Leyland Fields)

 

Hanya ketika kita membuang kemarahan, kita dapat menerima kedamaian sejati.

 

Hanya Duncan dan saya yang ada di dapur, duduk di depan meja, tegang. Kami sedang bertengkar, hal yang biasa dilakukan pasangan suami istri yang sudah menikah lama ketika tidak sepakat. Kami tidak saling memanggil nama, tetapi kami bergantian memuntahkan kekecewaan dan kemarahan ketika kata-kata kami memicu ingatan-ingatan yang menyakitkan. Setelah beberapa saat di dalam pertengkaran itu, saya merasa dada saya mulai lega dan hati saya melembut. Saya lalu mendengarkan baik-baik apa yang dikatakan dan yang tidak dikatakan Duncan. Saya mulai mengerti apa yang dirasakannya.  Secara mental saya menutup pintu terhadap luka-luka masa lalu dan duduk rileks di kursi. Tidak lama, kami sudah minum teh bersama-sama.

Percekcokan kami tidak selalu berakhir dengan mudah, tetapi akhir-akhir ini hal itu lebih sering terjadi. Kami sama-sama sudah menjadi diri kami yang sebenarnya, dan kami kini memiliki kebiasaan untuk lebih sering mengampuni daripada menyimpan kepahitan. Saya memiliki ayah yang membuat saya harus berterimakasih dalam hal ini. Ia seorang yang sangat egois, laki-laki rusak yang hampir tak pernah berbicara pada saya seumur hidup saya. Tetapi Allah memiliki suatu rencana untuk saya melalui dirinya. Hal itu dimulai ketika saya menerima telepon dari saudara perempuan saya beberapa tahun lalu. “Leslie, Ayah masuk rumah sakit minggu lalu. Kemungkinan kena serangan jantung. Aku baru saja mengetahuinya hari ini.”

Ayah saya sudah memasuki usia 80 tahun saat itu. Selama 25 tahun, sejak saya meninggalkan rumah, saya hanya bertemu dengannya sebanyak tiga kali. Tetapi saya lalu membayangkan dirinya yang sedang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.

“Kamu tahu dari mana?”

“Aku menelepon Ayah hari ini.”

“Kamu menelepon Ayah?”

“Ya. Aku meneleponnya hampir setiap minggu,” katanya, suaranya tenang dan meyakinkan.

“Setiap minggu? Dan ia bicara sama kamu?” Saya tidak dapat menyembunyikan keheranan dan kebingungan saya. Saya tidak percaya bahwa di antara kami berenam saudara kandung, dialah satu-satunya yang menelepon Ayah. Dulu, kamarnyalah yang disambangi Ayah hampir setiap malam, ketika kami semua sudah tidur. Kami tidak pernah mengetahui hal itu sampai puluhan tahun kemudian. Dan sejauh yang kami tahu, Ayah tidak memiliki relasi dengan siapa pun. Ia tidak menunjukkan ketertarikan terhadap keenam anaknya dan tidak memiliki teman lain.

Saya terdiam sejenak, lalu bertanya, “Mengapa kamu melakukan hal ini, Laurie?”

“Aku sudah mengampuninya, Leslie.”

Saya merasa sangat terkejut dan tidak dapat berkata apa pun. Pelecehan yang dilakukan Ayah terhadap saudara saya saja sudah cukup untuk membenarkan kemarahan saya terhadap Ayah. Apalagi masih ada banyak hal lain. Sepanjang masa kecil kami, Ayah tidak pernah mau mencari pekerjaan selain menjadi salesman yang bepergian. Tetapi karena sifat penyendirinya dan ketidakmampuannya untuk melakukan hal-hal praktis, Ayah kehilangan pekerjaan demi pekerjaan, sampai akhirnya tidak ada lagi yang mau mempekerjakannya. Tanpa pemasukan, kami hidup dalam kemiskinan yang tiada habisnya. Suatu kali ia mengambil semua sisa uang yang ada untuk hidup kami dan pergi meninggalkan kami tanpa uang sepeser pun untuk beberapa waktu. “Ayah sudah menghancurkan hidupku, kamu tahu?” Laurie pernah berkata begitu pada saya suatu kali. Ya, saya tahu. Kami semua tahu. Itulah sebabnya saya bahkan tidak pernah berpikir untuk mendoakan ayah saya, yang mengaku sebagai seorang ateis.

Beberapa minggu setelah mendapat telepon dari Laurie, saya memanjatkan Doa Bapa Kami – dengan kepala tertunduk dan mata tertutup – dan sampai pada kalimat yang tidak asing di tengah doa itu: “Dan ampunilah kami akan segala kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Matius 6:12). Saya terhenti seakan baru pertama kali mendengar perkataan yang tidak asing itu. Apa yang baru saja saya ucapkan? Saya mengucapkan kata-kata itu perlahan-lahan, kemudian mencari Alkitab. Apa yang dikatakan frasa itu di sana? “Ampunilah kami akan segala kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami”? Bagaimana mungkin saya tidak memperhatikan frasa ini selama bertahun-tahun ini? Apakah Allah benar-benar mengaitkan, dengan cara tertentu, pengampunan-Nya dengan pengampunan kita? Saya tidak dapat melarikan diri lagi dari perkataan ini.

Saya selalu percaya pada pengampunan, tentu saja. Bukankah ini inti Injil? Bukankah saya tahu bahwa pengampunan Allah atas pelanggaran hati saya terhadap hukum-Nya telah memberi saya hidup yang dimerdekakan, sukacita dan kesempatan-kesempatan kedua terus-menerus? Tetapi, mengampuni ayah saya?

Namun akhirnya, saya mulai kembali ke dalam kehidupan ayah saya. Saya terbang dari tempat tinggal saya untuk sering-sering mengunjunginya. Saya mendorongnya dengan kursi roda ke tempat perawatan, membantunya turun atau naik ke tempat tidur, mengajaknya jalan-jalan dengan mobil sewaan, dan duduk bersamanya pada waktu-waktu makan, memperhatikannya menyuap makanan dengan tangan gemetar. Saya membelikannya pakaian, mengirimkan hadiah-hadiah pada hari ulang tahunnya dan hari Natal. Secara tetap.

Semua perhatian ini saya lakukan dengan sangat sulit dan hati-hati pada awalnya. Ia tidak banyak bicara, seperti biasa. Ia jarang mengucapkan terima kasih pada saya. Ia sering berkata pada saya dengan nada menantang bahwa ia seorang ateis. Dan di tengah semua perawatan dan perhatian saya pun, saya tak pernah dapat menggugah kesadarannya bahwa setiap tindakan kebaikan yang saya tunjukkan padanya adalah hal yang tidak pernah ia tunjukkan pada saya.

Tetapi saya mulai dapat melihat penderitaan dalam hidupnya. Saya melihat bahwa tidak banyak orang – atau bahkan mungkin tidak ada – yang mengasihinya, dan beberapa orang justru telah melakukan kekerasan terhadapnya.  Saya menyadari bahw ia kemungkinan menderita gangguan kepribadian/kejiwaan sehingga tidak dapat mengasihi saya sebagaimana yang saya harapkan atau dambakan. Saya berhenti menangisi diri saya sendiri dan dapat menangis untuk kesakitan yang ia derita.

Saya tidak bisa mengabaikan semua kejahatan yang sudah dilakukan Ayah terhadap saya dan keluarga. Sesungguhnya, pengampunan justru menuntut perhitungan yang jujur atas semua yang sudah terjadi. Tetapi saya tidak lagi dihancurkan oleh perasaan benci dan terluka, atau bahkan perasaan-perasaan yang lebih berbahaya seperti apatis dan mati rasa. Saya makin menyadari secara mendalam bahwa pengampunan Allah pada saya – yang sudah membebaskan segala utang dosa saya yang tak terhingga pada-Nya – dapat menyembuhkan saya untuk membebaskan ayah saya dari segala utangnya yang jauh lebih kecil pada saya.

Dan saya benar-benar mengampuninya. Ini bukan cerita dongeng. Meski mengampuni segala kesalahan Ayah ternyata tidak menghasilkan tepat seperti yang saya harapkan. Saya berharap ia akan membalas tindakan-tindakan saya – bahwa ia akan menjawab saya, berterima kasih pada saya, dan bahkan mengatakan bahwa ia mengasihi saya.  Saya juga berharap pengampunan saya terhadapnya akan membuatnya mencari pengampunan Allah sebelum ia meninggal. Namun tak satu pun dari hal-hal itu yang terjadi. Meski hatinya agak melunak sebentar setelah ia terserang stroke dan kembali mengalami kesehatan yang membaik, ia kemudian menegaskan kembali ketidakpercayaannya dan bersikap dingin terhadap setiap sebutan kata Injil. Ia juga tetap tidak menunjukkan kepedulian atau kasihnya pada saya, bahkan sampai saat kunjungan terakhir saya, ketika kami sama-sama tahu bahwa kami tidak akan saling bertemu lagi.

Saya tidak bisa berbohong dan berkata bahwa semua ini tidak menyakitkan. Tetapi saya mendapati bahwa kasih Allah sungguh memberi kemampuan luar biasa. Saya percaya kita akan dimampukan untuk dapat mengasihi dan mengampuni bahkan orang-orang yang sudah menyakiti kita dan tidak bisa membalas mengasihi kita. Dan satu penutup yang tidak pernah saya perkirakan: Mengampuni ayah saya telah memulihkan bagian-bagian diri saya yang hancur dan menyakitkan dan membuat saya makin mendekati diri saya yang sebenarnya, diri yang Allah rindukan untuk saya: utuh, tidak mudah terluka, penuh kemurahan, cepat mengampuni. Saya memerlukan dua ayah untuk benar-benar mengalami hal ini – satu ayah yang melukai dan Satu Bapa yang terus-menerus menyembuhkan.