Seperti Sungai Mengalir

(Charity Singleton Craig)

Menyerah dalam Arus Kehendak Allah

Dua musim panas yang lalu, saat liburan keluarga ke Montana selatan, keponakan laki-laki saya mengajak kami berwisata air di Sungai Yellowstone. Tidak ada yang memikirkan dalamnya laut biru pada hari itu – atau tingginya pegunungan Gallatin di sebelah kiri kami atau pegunungan Absaroka di sebelah kanan kami.

Atau juga tepi sungai berbatu karang yang dipenuhi pohon-pohon pinus dan perdu kecil lainnya, atau ladang pohon cemara, gandum atau tanaman lain yang luas.

Temperatur air saat itu di atas 21 derajat, tetapi suhu di dalam air sekitar 15 derajat. Terlalu dingin untukku, pikir saya, dan memutuskan untuk tetap di perahu. Namun tidak demikian dengan anak-anak. Begitu ada kesempatan, mereka langsung melompat ke dalam air dengan pelampung dan mengapung di belakang perahu, menendang-nendang dan menciprat-cipratkan air sesuka mereka. Belasan burung pemangsa ikan menukik, menyambar, dan bergerombol tepat di atas kami, meminta perhatian. Tetapi saya terus mengawasi anak-anak, memperhatikan tanda-tanda apakah mereka mulai kedinginan atau terbawa arus. Pada akhirnya, ketika gelak tawa mereka menunjukkan pada saya bahwa tidak ada ancaman yang nyata, saya ikut menceburkan diri dan berharap badan saya yang mulai renta dapat beradaptasi dengan dinginnya air seperti anak-anak itu.

Semuanya baik-baik saja sampai saya mendengar adik laki-laki saya berteriak agar berhati-hati karena ada arus deras dari arah depan. Yang pertama-tama terpikir oleh saya adalah kami dapat kembali naik ke perahu dan menyelamatkan diri, tetapi arus sudah begitu cepat bergerak ke arah kami. Hal terakhir yang saya dengar adalah suara adik saya yang berseru, “Apa pun yang kalian lakukan, tetaplah di sebelah kiri.”

Anak-anak berada di belakang saya dan tidak dapat mendengar peringatan itu. Saya panik. Apakah mereka akan menghantam batu karang atau terbawa arus? Saya berusaha berdiri untuk menahan arus, tetapi kekuatan air mendorong dan mengempaskan saya. Semakin saya berusaha melawan, semakin berat perjuangan saya.

Saya berteriak, “Saling berpegangan.”

Akhirnya, saya melihat mereka bergandengantangan dan mengapung ke kiri, keluar dari bahaya. Sementara adrenalin bergemuruh di tubuh saya, mereka semua malah tertawa-tawa dan bersorak-sorak, setelah menyadari jauh lebih cepat dari saya bahwa cara terbaik untuk mengarungi jeram adalah dengan berpasrah diri saja.

Saya banyak merenungkan tentang arung jeram itu akhir-akhir ini ketika saya merasa arus kehidupan saya semakin deras dan cepat. Menjadi istri, ibu tiri dan pemilik usaha kecil-kecilan membuat saya sangat sibuk. Dan belum lama ini ibu saya pindah menempati rumah sendiri yang jauhnya dua menit dari rumah saya. Meskipun kami merencanakan bahwa saya siap membantunya memenuhi berbagai pesanan, janji-janji temu dan tugas-tugas rumahtangga, ini berarti ada lebih banyak gejolak dalam arus kehidupan saya.

Tolong aku melakukan hal ini, Tuhan, saya berdoa, berpegang pada ayat-ayat seperti Mazmur 46:1, yang menggambarkan Tuhan sebagai “tempat perlindungan dan kekuatan, penolong dalam kesesakan.” Tetapi bukan hanya dari derasnya arus di luar saja saya perlu diselamatkan. Hati saya sendiri pun penuh gejolak.

Selama berbulan-bulan—bahkan mungkin bertahun-tahun—saya merasa kecepatan langkah hidup saya sudah menjadi ancaman bagi keluarga saya dan kesehatan saya sendiri. Namun meskipun saya merasa tak berdaya untuk berdiri menahan berbagai situasi kehidupan; arus rencana-rencana Tuhan untuk sayalah yang terus menerpa dan menerpa saya lagi. Seperti Abraham, yang enggan membawa anak tunggalnya, Ishak, ke mezbah persembahan, saya bertanya-tanya, Adakah hal yang tidak diminta Allah dari kita? Seperti Paulus, yang direkrut ke pihak Allah dengan tangan yang masih berlumuran darah orang-orang kudus: Adakah orang yang dapat menentang kehendak-Nya? (baca Roma 9:19). Boleh jadi Salomo berkata sangat tepat: “Hati raja seperti batang air di dalam tangan TUHAN, dialirkan-Nya ke mana Ia ingini’ (Amsal 21:1).

Bagi saya, rencana-rencana Allah tergantung pada dua perintah sederhana di Mazmur 46:10 ini: “Diamlah dan ketahuilah.” Allah seakan sedang berkata, Kamu tidak dapat melakukan semuanya, jadi berhentilah berusaha. Dengan begitu banyaknya tanggung jawab di hadapan saya, usaha saya tampaknya adalah satu-satunya cara yang masuk akal untuk bertahan, meskipun saya juga tidak melakukannya tanpa bergumul. Saya meminta pengorbanan yang lebih ringan, karena untuk mengurangi kecepatan sekarang akan membawa risiko bagi karier dan reputasi saya. Sesungguhnya, seperti pengalaman saya di Sungai Yellowstone, berhenti berusaha dalam hal ini rasanya seperti membiarkan diri untuk tenggelam.

Padahal Allah ada di tengah samudera. Dialah arus yang menerpa saya. Jika saya melawan, perjuangan saya akan semakin berat. Tetapi jika saya menyerah, saya akan mengalami damai sejahtera yang hanya dapat diberikan oleh-Nya. Seperti kata pemazmur, “Kota Allah, kediaman Yang Mahatinggi, disukakan oleh aliran-aliran sebuah sungai. Allah ada di dalamnya, kota itu tidak akan goncang; Allah akan menolongnya menjelang pagi” (Mazmur 46:5-6).

Musim panas ini keponakan saya yang paling kecil dari Montana datang berkunjung. Kami pergi ke tempat wisata air yang dipenuhi wahana seluncuran, air terjun dan kolam renang. Kami menghabiskan banyak waktu kami di sungai yang tenang, dengan naik perahu karet besar menempuh jarak 160 meter.

Di ujung hari, saya mendapati kulit bagian bawah kaki saya memerah. Tidak perlu waktu lama untuk saya menyadari penyebabnya: bahkan dalam situasi terkendali di sungai yang tenang, saya tetap berusaha untuk mencari pegangan, untuk berdiri melawan arus. Saya sudah belajar banyak tentang pasrah dan menyerah tahun yang lalu, tetapi saya masih saja belum menerapkannya. Mudah-mudahan, saya tidak perlu menghadapi terlalu banyak arus kehidupan lagi untuk akhirnya saya bisa menikmati perjalanan.