Setia Dalam Proses (Dallas Hazelrig)

Gereja tidak cuma bertahan hidup – tetapi berkembang pesat – saat menghadapi kehilangan dan perubahan

SETIA DALAM PROSESSaya membuka keran, memenuhi teko dengan air hangat bersabun – merasa bersyukur untuk beberapa menit berada di belakang restoran, jauh dari hiruk pikuk kesibukan setelah makan malam. Ketika meraih handuk dan merendamnya di air, saya merasa ada seseorang di belakang saya. Saya berbalik dan, di sanalah ia sedang menatap saya.

“Hai,” saya berkata sambil tersenyum kaku, bertanya-tanya, Apa yang sedang ia lakukan?

“Kau tahu ayahmu sudah bikin kacau, bukan?”

Kemarahan dalam suaranya membuat saya terpana. Ia tidak mengenal ayah saya – ia bahkan hampir tidak mengenal saya. Tetapi mengapa ia berkata demikian?

“Ia telah menghancurkannya, dengan membiarkan banyak orang itu masuk.”

Saya hanya dapat balik menatapnya, sabun dan air menyembunyikan tangan saya yang gemetar.

  •   •   •

Saya berumur 7 tahun pada tahun 1999, ketika kami pindah karena Ayah bergabung dengan staf Gunung Sion, sebuah gereja yang memiliki sejarah panjang selama 170 tahun. Orangtua saya memasukkan saya ke sekolah yang memakai nama gereja itu, dan hampir semua orang kelihatan sama seperti saya. Di tengah lautan wajah-wajah itu, hanya beberapa saja yang tampak berbeda. Tetapi setelah beberapa tahun, demografi di wilayah itu berubah, dengan banyaknya orang kulit putih yang pergi dan lebih banyak lagi penduduk kulit hitam yang datang.

Gereja itu harus membuat pilihan: Tetap berada di tempat yang Allah sediakan, mengasihi siapa saja yang Dia bawa ke dalam kehidupan kami, atau pergi. Semua orang memilih untuk tetap tinggal. Namun, ketika wilayah itu menjadi semakin hitam dan kurang putih, banyak orang yang pergi juga, dengan rasionalisasi, “Aku bukannya rasis, tetapi…” Orang-orang yang rumahnya pernah menjadi tempat saya bermalam, keluarga-keluarga yang kami sering makan malam bersama; anak-anak yang suka bermain bersama saya di taman bermain; orang yang duduk di samping saya di gereja – mereka sudah pergi. Saya ditinggalkan dengan kursi kosong di kanan-kiri saya. Tahun 2009, sekolah itu ditutup, dan semakin banyak lagi orang-orang yang pergi, meninggalkan situasi ekonomi yang sulit dan bangku-bangku gereja yang kosong. Dalam waktu 10 tahun saja, gereja yang dulu berkembang pesat kini hampir terabaikan.

Kesulitan ekonomi tidak hanya mempengaruhi gereja kami – tetapi juga kehidupan staf dan keluarga mereka. Stres dan kecemasan mengikuti sampai ke rumah ketika mereka pulang dari kantor. Ayah saya terus-menerus memegang gagang telepon dan mengadakan pertemuan-pertemuan. Orangtua saya harus membayar bahan-bahan pemuridan dari kocek mereka sendiri. Menjual yang masih bisa dijual untuk melunasi tagihan-tagihan. Bertemu pihak bank dan pengacara. Melakukan pekerjaan-pekerjaan sambilan.

Saya teringat ketika saya bertanya-tanya, mengapa teman-teman saya pergi dan berkata buruk tentang ayah saya dan gereja. Saya bingung, Apa salah saya sampai mereka bisa begitu saja  mencampakkan saya? Melihat ke belakang, saya tahu semua itu tidak ada hubungannya dengan saya. Tetapi ketika masih kanak-kanak, Anda tidak bisa memahami semua itu. Yang Anda tahu hanyalah Anda merasa sendirian.

  •   •   •

Melalui penderitaan dan kesulitan finansial itu, saya belajar beberapa hal – sesungguhnya, banyak pengenalan saya akan Allah lahir dari pengalaman itu. Ulangan 31:8 berkata, “Sebab TUHAN, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, …, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.” Dan itu benar. Bahkan yang lebih nyata, Dia tidak membiarkan gereja itu terus ditinggalkan. Memang banyak anggota yang pergi. Tetapi Allah lalu mengisi bangku-bangku itu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang dan ras – 17 kebangsaan yang berbeda, tepatnya.

Saya teringat pada seorang pria yang kecanduan obat-obatan sebelum Tuhan memasuki hidupnya. Sekarang ia mengajar di kelas orang-orang yang sedang dalam pemulihan dari kecanduan. Ia juga melakukan perawatan gereja, menyelenggarakan “Olahraga Terbuka,” dan menyediakan waktu dan tenaganya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan jemaat. Ia bahkan menyumbangkan uang agar gereja dapat terus berlangsung.

Karena keramahan Ayah, seorang pejabat polisi memutuskan untuk datang memeriksa gereja. Ia menerima Kristus sebagai Juru Selamat dan bergabung bersama keluarganya, yang juga telah menerima Yesus.

Seorang wanita lain dulu pecandu narkoba – dan pemusik yang sangat berbakat. Sekarang ia memimpin penyembahan setiap minggu. Ia juga menyanyi di acara pernikahan saya.

Setiap minggu, ada dosen perguruan tinggi yang duduk di samping seorang imigran. Pengusaha sukses di samping anak yang tidak berayah. Wanita Nigeria yang memakai hiasan kepala dan tidak bisa berbahasa Inggris di samping orang yang lahir dan dibesarkan hanya beberapa kilometer dari gereja.

  •   •   •

Sekarang, jika saya bertemu dengan beberapa orang yang dulu pergi, mereka akan menceritakan pada saya tentang kisah-kisah dari semua “tahun-tahun baik” mereka di Gunung Sion. Tentang bagaimana mereka sebenarnya tidak ingin pergi, tetapi akhirnya mereka pindah, dan gereja menjadi terlalu jauh untuk dikunjungi setelah itu. Sebagian mengabaikan saya. Sebagian “memberi ucapan selamat” pada saya ketika mereka tahu saya pindah setelah menikah.

Saya lama sekali merasa marah atas kepergian mereka. Saya merasa ditinggalkan. Padahal saya mungkin seharusnya berterimakasih kepada mereka, karena saya dapat mengalami Allah dengan cara yang sama sekali baru. Saya bertumbuh tanpa rasa aman, karena itu saya tahu Siapa Pelindung saya yang sesungguhnya. Yesus adalah Sahabat saya ketika orang-orang lain pergi – dan Dia mengantarkan orang-orang baru. Dia memelihara secara finansial ketika hal itu tampak mustahil. Dia membawa ke dalam kehidupan kami orang-orang yang percaya pada visi dan ingin bergabung. Orang-orang yang seperti orang yang marah di restoran itu lama-lama menghilang.

Bukan hanya Allah yang membuat saya merasa aman, orangtua saya juga. Mereka adalah orang-orang yang konsisten. Mereka tetap tinggal dan mengasihi setiap orang yang masuk, menerima dan merayakan segala perbedaan dan budaya. Mereka menyikapi orang-orang yang pergi dengan kasih karunia. Mereka mengampuni, bahkan ketika pengampunan itu tidak diminta.

  •   •   •

Kembali ketika saya berumur 7 tahun, saat Ayah menerima pekerjaan di Gunung Sion, saya bertemu dengan seorang anak laki-laki kurus dan pendiam. Empat belas tahun kemudian, saya menikah dengannya di gereja tempat kami pertama kali saling menyapa. Pada hari itu, dengan gaun panjang berwarna putih, saya berdiri di ruang tunggu belakang, menggenggam tangan Ayah, dan gelisah menanti pintu dibuka. Kebanyakan pengantin berkata bahwa yang pertama kali akan mereka lihat adalah pria yang menantinya di ujung sana – bahwa waktu berjalan lambat dan semua yang lain menjadi kabur. Tetapi tidak demikian halnya dengan saya. Yang pertama kali saya lihat tetaplah pemandangan yang luar biasa itu: bahwa setiap kursi di gereja terisi, lautan wajah-wajah balik memandang ke arah saya. Bagi sebagian orang, Gunung Sion adalah sebuah tempat yang pernah ditinggalkan. Tetapi bagi saya, tempat ini tetap sebagai rumah saya.