Siap Menuju Jalan Keluar

siap-menuju-jalan-keluarSaya adalah seorang perencana. Sejak berumur 7 tahun, saya sudah memetakan seluruh hidup saya. Setelah keluarga saya menampung beberapa mahasiswa perguruan tinggi yang tergabung dalam paduan suara keliling, saya menetapkan bahwa kelak saya juga akan meninggalkan rumah – meskipun saya belum mengerti sama sekali apa itu kuliah di perguruan tinggi. Saya juga merencanakan untuk memiliki karier, meskipun saya tak dapat memutuskan akan berkarier dalam hal apa. Dan tentu saja saya juga ingin memiliki anak, yang bagi saya tampaknya merupakan tugas terpenting di dunia.

Saya melewati masa sekolah dengan baik, dan melanjutkan kuliah. Lalu saya menikah dan menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Tetapi anak-anak? Mereka tak kunjung tiba. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan dan operasi dan janji-janji dokter, hasilnya tetap nihil. Pintu-pintu ke arah adopsi tampaknya sudah menutup dengan cepat. Saya sudah mengarahkan hidup saya ke tujuan tertinggi. Dan itu bukan tujuan biasa: tujuan itu alkitabiah dan memuliakan Tuhan. Saya tidak mengerti mengapa Bapa surgawi tidak melakukan bagian-Nya. Apakah saya salah sudah merencanakan semua masa lalu itu?

Suatu hari, setelah mengalami kekecewaan demi kekecewaan, saya menemukan sebuah ayat yang tampaknya ditulis khusus untuk saya:“Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya” (Amsal 16:9). Saya memang sudah membuat rencana, dan ayat ini menunjukkan bahwa hal itu baik. Tetapi bagian kedua ayat ini melengkapi gambaran itu: Sementara saya memikir-mikirkan jalannya, Tuhan mengarahkannya. Saya pikir langkah-langkah rencana saya menuju ke satu arah, tetapi Tuhan justru memakainya untuk membawa saya ke arah lain. Sejak itu, saya percaya bahwa menjalani kehidupan Kristen itu adalah seperti melakukan perjalanan panjang. Anda memulainya berdasarkan peta yang Anda buat, tetapi ketika Anda menemukan jalan tertutup, arah Anda berubah. Membuat rencana itu baik, tetapi menolak untuk menemukan arah lain pada saat kritis adalah bodoh dan berbahaya.

Saya menyadari bahwa mengasihi Tuhan dan rindu melayani-Nya tidak otomatis menjamin kita berada dalam koridor Tuhan. Sesungguhnya, banyak dari kita gagal ketika mencari arah-Nya di tengah segala rencana yang sudah dirancang dengan baik. Itulah sebabnya Alkitab dengan tegas meminta kita untuk “berusaha sungguh-sungguh, supaya panggilan dan pilihanmu makin teguh” (II Petrus 1:10).
Berdasarkan ayat ini, untuk menjadi selaras dengan Tuhan – atau mengambil bagian dalam “kodrat ilahi” (II Petrus 1:4) – tidak cuma membutuhkan iman. Kita perlu sungguh-sungguh menambahkan pada iman kita: kebajikan, pengetahuan, penguasaan diri, ketekunan, kesalehan, kasih kepada saudarasaudara dan kasih kepada semua orang (II Petrus 1:5-7). Sementara berbagai karakter ini ditambahkan, ayat ini berjanji, orang percaya akan menjadi “giat dan berhasil” (II Petrus 1:8). Ketika saya tahu bahwa jalan yang sudah saya rencanakan tertutup bagi saya, dan sudah jelas bahwa Tuhan sedang mengarahkan kembali hidup saya, saya mulai lebih memperhatikan jalan-jalan yang terbuka.

Tuhan sedang memberkati pekerjaan akademis saya, maka saya pun terus melayani di dalamnya. Bahkan jauh sebelum saya lulus, Dia telah membuka pintu di sebuah universitas Kristen, sehingga saya dapat langsung memiliki pekerjaan di tempat yang banyak orang lain sebaya saya merana bertahuntahun ketika berusaha menjadi pekerja tetap.

Di antara semua karier yang saya bayangkan ketika kecil, mengajar tidak termasuk di dalamnya. Namun ketika saya memutuskan untuk mencoba melakukannya, saya menemukan untuk apa sebenarnya Tuhan menciptakan saya. Ketika saya mengajar, seluruh gairah keterbebanan saya terpenuhi: kesenangan untuk belajar; keinginan menggunakan pikiran kreatif maupun analitis saya, membimbing dan merawat yang ingin sekali saya lakukan sebagai seorang ibu, serta kerinduan untuk membuat perbedaan dengan membentuk generasi berikutnya. Tetapi Tuhan masih belum selesai bekerja. Dia kemudian juga memakai keberadaan saya sebagai dosen universitas untuk memberi saya kesempatan menulis buku dan artikel, yang memperluas ruang kelas saya dan juga kreativitas saya. Seperti halnya mengajar, menulis juga bukan bagian dari rencana saya. Tetapi Tuhan sendirilah yang mengarahkan langkah-langkah saya dan memimpin saya.

Perjalanan yang pernah saya petakan untuk hidup saya menjadi jalan yang tidak dilalui. Tetapi Tuhan memakai setiap rencana itu dengan tujuan yang berbeda dari yang pernah saya bayangkan. Menemukan panggilan-Nya atas hidup saya – dan memilihnya daripada yang saya rancangkan – telah menunjukkan pada saya bahwa berada dalam koridor Tuhan adalah satu-satunya yang saya inginkan.