Tidak Ada Perbaikan Cepat

tidak-ada-perbaikan-cepat“Apa yang ia perlu lakukan,” kata saya dengan acuh kepada seorang pemimpin gereja, “Hanyalah mulai membaca Alkitab dan berdoa lebih tekun.”

Saya pikir ini adalah nasihat yang baik. Saya adalah seorang pendeta muda yang sedang dalam pelatihan, yang baru saja meraih gelar sarjana Alkitab, namun Anda tahu, tanpa pengalaman sesungguhnya adalah suatu penderitaan. Tentu saja saya pernah kehilangan posisi di tim basket SMA semasa tahun terakhir saya, mengalami penolakan oleh seorang wanita, dan mengalami kecelakaan ringan – namun pernahkah saya mengalami jenis penderitaan yang menghancurkan jiwa? Jenis penderitaan yang bahkan membuat pengikut Yesus yang paling setia harus berlutut?

Saya belum pernah. Namun hal itu tidak mencegah saya untuk menghakimi orang yang mengalaminya. Seperti halnya teman-teman Ayub, saya cepat mendatangi orang yang sakit secara rohani, memberikan resep kesembuhan yang cepat dengan membaca Alkitab dan berdoa. Saya tidak menyadari kebodohan saya hingga beberapa tahun kemudian, ketika saya harus berlutut dalam rasa takut, ketika segala sesuatu di dalam dunia saya hancur berantakan, dan saya mencari benang iman yang paling tipis.

A.W. Tozer pernah berkata, “Sangat diragukan apakah Tuhan dapat memberkati seseorang dengan luar biasa hingga Ia menyakitinya dengan begitu mendalam.” Mungkin inilah yang Paulus maksudkan ketika ia mengatakan kepada orang percaya di Korintus bahwa Tuhan memakai penghiburan yang kita terima di masa-masa pencobaan untuk menghibur orang lain (II Korintus 1:4). Saya belajar bahwa penghiburan bukanlah proses lima langkah dan hal itu tidak berlangsung cepat … atau mudah. Bacalah kitab Mazmur dan dengarlah ratapan para pria seperti Daud yang begitu merindukan Tuhan untuk datang mendekat, untuk mendengar rasa sakitnya, dan mengantarnya dalam pengharapan. Dengarlah tangisan Ayub, orang paling benar di muka bumi, selagi ia bergumul dengan imannya. Atau Yeremia, sang nabi yang menangis. Atau Yesaya, seorang yang celaka.

Saya tidak bermaksud bahwa pertemanan rohani berarti tidak menerapkan ayat Firman Tuhan atau mendorong teman kita untuk berdoa. Ini bukan berarti kita tidak seharusnya menunjukkan kepada teman kita pengharapan di dalam Tuhan mereka yang telah bangkit. Namun empati yang tulus dan seperti Kristus tidak memaksa orang melalui jalur rohani yang singkat. Sebaliknya, diberikan dengan tetesan kasih karunia, dikatakan melalui tangisan, dan diberikan dalam bentuk kehadiran penuh kesabaran dari kasih sesama orang percaya.

Renungkan gambaran yang Daud berikan tentang penghiburan yang ia temukan di dalam Tuhan. Sang Gembala yang Baik tidak mengarahkan domba-domba-Nya melewati lembah maut. Ia hadir, berjalan bersama kita (Mazmur 23:4). Tidak ada jalan pintas kepada kemuliaan – yang adalah hanyalah Penuntun yang setia.

Saya menduga kita menawarkan perbaikan yang instan oleh karena kita tidak sepenuhnya masuk ke dalam penderitaan orang lain –bahkan mungkin kita tidak masuk ke dalam penderitaan kita sendiri. Yakobus mengingatkan kita bahwa ketekunan memberikan dampak yang sempurna, hanya bila kita mengijinkannya (Yakobus 1:4). Demikian juga dengan panggilan kita untuk menanggung penderitaan orang lain. Apa yang dibutuhkan saudara seiman kita, bukanlah kata-kata kita yang hambar, melainkan kehadiran kita. Kehadiran yang diinspirasi Roh Allah itulah yang menjadikan Alkitab dan doa sebagai dukungan kekuatan bagi dia, dan bukanlah pentungan.

Empati semacam ini membutuhkan ketrampilan. Hal ini tidak dipelajari di seminari, melainkan di dalam kehidupan. Tuhan merangkai bagi kita penderitaan kita sendiri. Ia dengan sabar memangkas kita untuk menghasilkan buah roh.

Demikianlah Roh Kudus melakukan karya terbaik-Nya, membentuk kita menjadi serupa dengan Kristus. Api yang memurnikan itu memperbaharui kita menjadi karya yang agung – bejana yang cocok untuk digunakan sang Tuan. Cocok untuk kehidupan ini, dan sanggup untuk menyalurkan kasih karunia kepada mereka yang menderita. Di dalam dunia yang rusak oleh dosa dan menjadi subyek kutuk ini, kita menjadi pembawa kesembuhan, yang membawa kerajaan Allah dekat kepada mereka yang mencarinya.

Versi saya yang lebih muda itu seumpama buah mentah yang dipetik terlalu cepat dari batangnya. Penuh dengan pengetahuan, namun tanpa hikmat; dipersenjatai dengan kebenaran, namun tanpa kasih karunia. Namun Tuhan di dalam belas kasih-Nya yang memurnikan, membentuk saya dengan perlahan, menjadi pribadi yang Ia kehendaki – di setiap musim kehidupan yang sulit, satu demi satu.

Oleh Daniel Darling