Terang di Tengah Kegelapan
Dalam menolong anak-anak yang lemah dan yatim piatu di Etiopia, Aschalew Abebe benar-benar laksana terang di tengah kegelapan.
Kami berderak-derak menyusuri jalan yang rusak dari Welkite ke Gunchire ketika matahari mulai menyelinap di balik hutan kayu putih dan menyentuh kaki langit. Jarak yang berkilo-kilometer ditandai dengan deretan pondok-pondok beratap jerami dan menara-menara mesjid. Saya berjalan dengan susah payah, dan setiap kali kaki saya terantuk, hentakannya terasa sampai ke bawah punggung saya.
“Masih berapa jauh?” saya bertanya.
“Sekitar sepuluh kilometer,” jawab Aschalew, seakan saya punya kemampuan mengkonversi kilometer menjadi hitungan waktu. Ia tertawa, “Kenapa? Jalan ini tak cukup rata untuk Anda?” Saya katakan tidak apa-apa, tetapi alisnya berkerut. Mulutnya juga merengut. “Saya tahu Anda bohong, Sobat.” Ia mengganti topik pembicaraan seakan ingin mengalihkan perhatian saya dari jalan itu. “Masih ingat saat pertama kali kita bertemu?”
“Ya,” kata saya, sambil mengingat kembali malam yang sudah berlalu beberapa tahun itu.
Kami hadir di sana, saya bersama istri, di sebuah kapel Ozark yang kecil, pada musim panas tahun 2009. Sekelompok orangtua angkat Etiopia dan para pendukung pelayanan anak yatim piatu sudah berkumpul untuk mendengar tentang pelayanan Kidmia, pelayanan orang Etiopia bagi anak yatim piatu yang ada di Gunchire, Etiopia.
Amber dan saya duduk agak di depan, mendengarkan Aschalew Abebe menjelaskan pelayanan Kidmia itu. Dengan tubuh dan wajahnya yang ramping, Aschalew menguasai ruangan dengan karisma luar biasa. Sambil tersenyum lebar, ia menceritakan tentang pertobatannya ke dalam iman Kristen, dan bagaimana saat ia menyerahkan hidupnya kepada Yesus, ia memutuskan untuk merawat orang-orang yang paling lemah. Ia berusaha unggul dalam pendidikan dan pekerjaan demi anak-anak yatim piatu itu, katanya. Pengalamannya ini menyiapkannya untuk melakukan pelayanan khusus bagi anak-anak Gunchire yang lemah melalui Kidmia.
“Ada 5 juta anak yatim piatu dan lemah di Etiopia,” kata Aschalew. “Sebagian dari mereka merupakan anak yatim piatu ganda, tanpa orangtua yang masih hidup. Yang lain memiliki orangtua yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup pokok.” Senyumnya hilang dan ekspresinya datar ketika ia menatap hadirin. “Adopsi,” katanya, “tidak pernah menyelesaikan persoalan, dan Kidmia berusaha menghindarkan anak-anak masuk ke dalam sistem perawatan panti asuhan negara.”
Seusai presentasi itu, Amber dan saya langsung menuju podium. Kami menceritakan bahwa kami sudah berencana mengadopsi anak Etiopia dan sudah mengurus segala dokumen yang diperlukan, ketika kami mendengar bisikan Roh Kudus, Pikirkan cara lain. Kami tidak jadi mengadopsi, melepaskan impian kami untuk memiliki seorang gadis kecil dan mulai mencari cara untuk menolong anak-anak Etiopia yang lemah yang tak pernah akan diadopsi. Aschalew menyimak, lalu merangkul kami dengan kehangatan luar biasa. “Saya tahu Anda tentu merasa seperti sudah kehilangan seorang anak,” katanya, “tetapi pikirkanlah banyaknya anak-anak Etiopia yang akan Anda selamatkan.”
“Saat itu malam yang indah, bukan?” Saya berkata, seraya mengaduh karena kaki kami kembali terantuk pada batu.
“Ya, Sobatku,” katanya dengan tertawa renyah.
Kami tiba di pusat perawatan Kidmia menjelang malam dan langsung menuju hutan kayu putih di belakangnya. Seiring makin tenggelamnya sinar matahari, kami pun bergegas membuat tempat tidur gantung di pohon-pohon, sementara pengurus menyiapkan masakan tradisional dari iga domba dan roti tawar yang disebut injera.
Kami beristirahat di tempat tidur ayun setelah makan malam. Sembari berbaring tanpa bisa tidur dalam gelap, saya dapat mendengar bayi-bayi mendengkur dan menangis, sementara para perawat meninabobokkan mereka di pondok-pondok yang memenuhi kampus. Anjing hutan melolong di padang. Suara gendang dan lagu-lagu rakyat dari pusat Gunchire terdengar sampai ke kemah kami. Nyanyian nina bobok yang asing namun penuh damai, yang mengingatkan saya betapa jauhnya saya dari rumah idaman yang nyaman.
Keesokan harinya, setelah dibangunkan oleh suara azan, kami berkumpul di dekat perapian. Di tengah udara segar, kami menikmati cangkir berisi kopi Etiopia yang masih hangat yang disajikan pengurus. Ketika Aschalew duduk di samping saya di kursi plastik tipis, saya bertanya, “Di antara semua tempat di Etiopia, mengapa Kidmia memilih melayani di Gunchire? Mengapa justru di daerah yang tidak banyak orang percaya?”
Dengan wajah serius ia berkata, “Mari kita temui orang-orang itu dulu; setelah itu Anda bisa bertanya lagi.” Kami menyelesaikan sarapan dan bergegas masuk ke mobil usang. “Hari ini kita akan menjumpai beberapa keluarga Kidmia,” kata Aschalew. “Kami tidak bisa membawa setiap anak yang lemah ke pusat kesehatan, jadi kami mengidentifikasi 300 anak dalam komunitas itu. Kami bekerja sama dengan keluarga mereka untuk memastikan mereka mendapat makanan, pendidikan dan perawatan kesehatan yang mereka butuhkan.”
“Ada risiko apa?” Saya bertanya. “Perdagangan anak, pelacuran, dipaksa menikah, dijadikan istri muda, terinfeksi HIV. Inilah kenyataan yang dihadapi anak-anak Gunchire,” katanya. “Kidmia berusaha membantu mengurangi risiko-risiko ini dan menyampaikan kabar baik tentang Yesus Kristus kepada mereka. Sekarang, apakah Anda sudah mendapat jawaban atas pertanyaan Anda tadi? Mengapa Gunchire? Kami datang untuk membawa harapan bagi mereka yang tak punya harapan.”
“Itulah sebabnya saya tak bisa berhenti memperhatikan anak-anak ini,” Aschalew berkata, masih dengan semangat menggebu seperti pada malam saya bertemu dengannya di Arkansas. “Itulah sebabnya gereja Etiopia tidak bisa berhenti memperhatikan anak-anak ini. Itulah sebabnya gereja Amerika tidak boleh berhenti memperhatikan anak-anak ini. Ada terlalu banyak risiko yang mengancam mereka. Sekarang ayo. Ada banyak anak yang harus kita kunjungi hari ini.”
Kami kembali ke pusat Gunchire, dan saya memikirkan Aschalew. Dialah wujud pengharapan bagi yang tidak memiliki harapan. Ya, dialah orang yang menderita bersama semua anak-anak yang lemah itu. Ia berjalan di depan dan saya mengikuti langkahnya, mendengarkannya menceritakan kisah demi kisah. Sepanjang hari itu, saya tahu, saya sudah menjadi rekan sekerja bagi saudara Etiopia saya, dan ada banyak sekali yang harus saya pelajari.
– Seth Haines