Dari Negeri yang Jauh
(Joshua Ryan Butler)
Bagaimana Kristus menyelamatkan kita dari pembuangan dosa
Pembuangan atau pengasingan (exile) adalah kata yang sudah jarang dipakai lagi sekarang ini. Ketika istri saya “mengusir” saya dari rumah untuk membawa anak-anak pergi ke taman agar ia bisa mendapat ketenangan atau keheningan tertentu, ia secara bergurau akan berkata, “Aku mengirim kalian ke pengasingan.” Tetapi dalam banyak hal, kata itu sudah tidak dipakai sebagai bahasa percakapan biasa. Tetapi, kata itulah yang menjadi satu tema besar dalam Alkitab, kata yang akhirnya mengarahkan pengharapan kita untuk kembali kepada Allah, dan yang membuatnya penting untuk ditelaah.
Taman Eden adalah tempat kita mula-mula mengalami pembuangan/pengasingan, di awal kisah Alkitab. Ketika Adam dan Hawa memberontak dan diusir dari taman itu (Kejadian 3:24), mereka mendapati diri mereka terbuang jauh dari hadapan Pencipta mereka dan ditakhlukkan kepada kerusakan, kehancuran dan kematian. Ketika dosa pemberontakan makin berkembang, keturunan mereka yang tegar tengkuk “menetap di tanah Nod,” membawa dosa pemberontakan mereka “ke sebelah timur Eden,” sampai akhirnya “mereka merencanakan untuk membangun kota Babil dengan menaranya yang sangat terkenal” (Kejadian 4:16; Kejadian 11:2).
Jika diilustrasikan secara geografi, hal itu ibarat Allah membuat taman yang indah di California Selatan untuk dirawat oleh tukang-tukang kebun-Nya. Tetapi mereka malah merusak tempat itu sehingga mereka dipecat/diusir, dan mereka lalu mencari jalan ke sebelah timur melalui padang gurun Arizona dan New Meksiko, sampai akhirnya mereka menetap di Texas untuk membangun kerajaan yang besar dan berkuasa.
Kata Ibrani untuk pengasingan/pembuangan, golah, berarti dibawa sebagai tawanan, dibuang dari tanah air seseorang. Kata itu berkaitan dengan kata kerja galah, yang berarti “membongkar atau menyingkirkan.” Kedua kata itu sama-sama mengandung arti dibongkar atau disingkapkan, seperti para tawanan yang seringkali dibuka aibnya ketika disingkirkan dari tanah airnya. Itulah gambaran tentang kekacauan dan keterasingan dari kehidupan yang ada pada kita. Dan jika pengasingan berarti jauh dari Allah, pengharapan berarti akan dikembalikan kepada Allah.
Di tepi sungai-sungai Babel.
Dalam sejarah bangsa Israel selanjutnya, pola ini terus berulang. Seperti halnya Adam dan Hawa, bangsa itu merusak taman Allah yang indah, melakukan penyembahan berhala dan ketidakadilan di Tanah Perjanjian, sampai akhirnya mereka dibawa ke “padang gurun” lain. Hadirat perlindungan Allah akhirnya meninggalkan tanah perjanjian itu, dan Babel menyerang – merusak bait suci, menghancurkan Yerusalem, dan membawa bangsa itu kembali ke sebelah timur sebagai tawanan (2 Raja-raja 24:12-14).
Tetapi Allah tidak tinggal diam dan terus bekerja dalam situasi ini. Dengan menyebut raja Babel sebagai “hamba-Ku” (Yeremia 25:9), Dia memakai musuh-musuh bangsa itu sebagai cambuk koreksi bagi Yerusalem. “Akulah yang membangkitkan orang Kasdim,” Allah berkata kepada Habakuk, ”bangsa yang garang dan tangkas itu.” Dan nabi itu menjawab, “Ya Tuhan, telah Kautetapkan dia untuk menghukumkan; ya Gunung Batu, telah Kautentukan dia untuk menyiksa.” (Habakuk 1:6, 1:12).
Tetapi tujuan pembuangan/pengasingan Allah tidak sama dengan tujuan pembuangan bangsa Babel. Kerajaan yang kuat itu hanya ingin menghancurkan bangsa Israel, tetapi Allah menghukum untuk kebaikan umat-Nya, membangkitkan kesadaran mereka dan akhirnya membangun mereka dengan mengembalikan mereka kepada kehidupan yang sesuai dengan rancangan mereka semula.
Rencana Allah berhasil.
Ketika dalam pembuangan, umat-Nya menyadari betapa besar kesalahan yang sudah mereka lakukan. Mereka menangis merindukan tanah yang sudah dijanjikan kepada mereka, dan menantikan saat untuk kembali. Pemazmur meratap, “Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion…. Jika aku melupakan engkau, hai Yerusalem, … biarlah lidahku melekat pada langit-langitku, … jika aku tidak menjadikan Yerusalem puncak sukacitaku!” (Mazmur 137:1, 5-6). Pada saat mereka sangat jauh dari kerajaan itulah, mereka makin merindukan lagi Raja mereka.
Negeri Kehidupan. Tetapi suatu hari Tuhan akan datang melepaskan umat-Nya. Dan ketika Dia datang, saat itu akan menjadi saat untuk menantikan akhir dunia, bukan hanya Israel. Orang dari segala bangsa akan diundang untuk mengakhiri keterpisahan dengan Allah dan kembali kepada Dia yang telah menciptakan mereka bagi-Nya. Sebagaimana dinubuatkan nabi Yeremia, “Pada waktu itu … segala bangsa akan berkumpul ke sana, demi nama TUHAN ke Yerusalem, dan mereka tidak lagi akan bertingkah langkah menurut kedegilan hatinya yang jahat.” (Yeremia 3:17). Pada akhirnya, sebagaimana dituliskan di Ezra 1:2-4, bangsa Israel benar-benar akan pulang, tetapi pengembalian ini hanyalah suatu pertanda – gambaran kecil dari kelepasan yang jauh lebih besar yang akan dilakukan Yesus.
Kita semua tentu tidak asing dengan perumpamaan Yesus tentang Anak yang Hilang, tetapi Anda mungkin akan terkejut ketika membacanya lagi dan menemukan tema-tema pembuangan yang tidak asing ini ada di sana (Lukas 15:11-32). Ketika si anak bungsu meminta warisannya – yang pada dasarnya sama saja dengan berharap supaya ayahnya cepat mati – dan merancang untuk pergi ke “negeri yang jauh” tempat hidupnya terburai menjadi kehancuran, para pendengar Yesus yang mula-mula itu akan mendengar kisah mereka sendiri yang digemakan dalam perumpamaan itu.
Ini adalah tentang Israel, yang lari menjauh dari hadapan Allah dan mendapati dirinya dalam pengasingan di negeri yang jauh. Ini adalah tentang Adam, yang memberontak terhadap Allah dan mendapati hidupnya hancur di timur Eden. Ini adalah tentang kita semua, yang berada di bawah kuasa dosa yang menghancurkan, dan terbuang jauh dari hadapan Bapa.
Tetapi keindahan Injil adalah, Allah sudah menyalibkan keterasingan itu. Dia sudah datang untuk kita melalui Kristus, dan menanggung kerusakan, kehancuran dan kematian kita dengan tubuh-Nya di kayu salib. Ketika Yesus disalib di bawah kekuasaan bangsa penyembah berhala, Dia menanggung pengasingan/pembuangan bangsa Israel, Adam dan kita – untuk mencari dan menemukan kita di tanah asing dan membawa kita kembali kepada-Nya. Di kayu salib, Yesus bergabung bersama kita dalam pengasingan besar kubur, menyatukan diri-Nya dengan kita dalam kematian, agar dapat membangkitkan kita bersama dengan Dia dengan kuasa kebangkitan kerajaan-Nya.
Di dalam Kristus, Bapa mengangkat kita – anak-anak-Nya yang terhilang dan mengembara – ke atas bahu-Nya. Dia lalu membawa kita kembali ke Tanah Perjanjian, melewati padang gurun kesia-siaan, ke hadirat Bapa yang memberi hidup serta berlimpah kasih dan kemurahan.