Di dalam Dunia Yang Gelap
Oleh : Tony Woodlief
Beberapa tahun lalu, dosen sastra saya mendefinisikan kata tragedi sebagai sebuah kisah yang tokoh utamanya punya kesempatan untuk memilih dengan bijak tetapi hancur karena suatu kesalahan fatal. Raja Lear menjadi orang terbuang dan gila karena keangkuhannya. Romeo dan Yuliet mati karena lebih mementingkan cinta yang sentimental dan mementingkan diri sendiri daripada kasih keluarga. Anakin Skywalker berubah drastis menjadi Darth Vader karena haus kekuasaan. Aristoteles berkata, tragedi-tragedi menyentuh hati kita ketika kita dapat melihat diri kita sebagai tokoh-tokoh yang mengalami kehancuran itu, dan melihat bahwa kelemahan-kelemahan mereka juga sama seperti kelemahan kita.
Dalam banyak hal, Perjanjian Lama adalah sebuah tragedi, dengan bangsa Israel sebagai tokoh utamanya. Tragedi ini tampak sangat jelas di kitab Ulangan. Umat Allah sudah sampai di tepi sungai Yordan, dan pemimpin mereka, Musa, menghadapkan mereka pada tawaran bijak terakhir. Karena mengetahui betapa degilnya hati mereka selama berada di bawah pimpinannya, Musa pesimis mereka akan tetap berpegang pada perintah-perintah Allah setelah ia tiada. “Sebab aku mengenal kedegilan dan tegar tengkukmu. Sedangkan sekarang, selagi aku hidup bersama-sama dengan kamu, kamu sudah menunjukkan kedegilanmu terhadap TUHAN, terlebih lagi nanti sesudah aku mati.” (Ulangan 31:27).
Musa mengenal ketidaksetiaan bangsa Israel, setelah mereka mengarungi padang gurun bersama selama lebih dari 40 tahun. Musa juga mengenal kesetiaan Allah, dan inilah yang menjadi hal terpenting dalam pesan yang ia sampaikan kepada mereka setelah memberikan Hukum Taurat. Ia berkata bahwa Allah selalu siap memberkati mereka atas ketaatan mereka. Tetapi Allah bukanlah Firaun. Dia tidak memperbudak kita. Dia memanggil kita untuk bersekutu dan mempersilakan kita memilih untuk menerima undangan-Nya atau tidak. Jadi Musa menasihati bangsa Israel demikian: “Aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini: kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu, dengan mengasihi TUHAN, Allahmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut pada-Nya.” (Ulangan 30:19-20).
Berkat ini meliputi hasil panen yang melimpah dan keturunan yang banyak; keamanan dan peningkatan; keunggulan dari antara bangsa-bangsa lain. ”TUHAN akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun” (Ulangan 28:13).
Tetapi jika umat Allah memilih meninggalkan jalan itu? Mereka akan ditakhlukkan. Alih-alih memberikan hasil panen kepada mereka, bumi justru akan menerima darah mereka dan hanya menghasilkan sedikit. Mereka akan hidup dalam ketakutan. Anak-anak mereka akan dirampas. “Orang asing yang ada di tengah-tengahmu … akan menjadi kepala, tetapi engkau akan menjadi ekor” (Ulangan 28:43-44).
Bangsa Israel yang saat itu akan memasuki Tanah Perjanjian sudah menyaksikan para orangtua dan kakek nenek mereka binasa di padang gurun akibat ketidaksetiaan mereka. Sungguh logis jika mereka diharapkan akan membuat pilihan yang lebih baik dalam segala hal. Namun jika kita membaca kitab Ulangan, kita akan membacanya sambil mengingat Yeremia – kehancuran dan penakhlukan yang akan datang.
Dua Perkataan Yang Penting
Dalam perjalanan hidup saya sebagai orang Kristen, saya benar-benar tidak dapat mengidentikkan diri dengan kelemahan orang Israel. “Aku memang orang berdosa, tetapi membuat patung berhala dari emas dan melakukan inses?” Betapa mengerikannya orang-orang itu. Duduk dengan nyaman sebagai pengamat pada masa kini, saya tidak dapat membayangkan diri saya bisa jatuh sedahsyat kejatuhan mereka. Akibat mengerikan dari kesombongan dan kedangkalan pemahaman Alkitab saya ini adalah, sampai bertahun-tahun saya tidak bisa melihat relevansi antara peringatan Musa dengan hidup saya sendiri.
Setelah membaca lagi kitab Ulangan, saya mendapati bahwa Musa bukan hanya sedang berbicara kepada suku-suku Israel yang keras kepala itu, yang tidak ada persamaannya dengan saya, tetapi langsung ke hati saya sendiri yang bengkok: “Karena engkau tidak mau menjadi hamba kepada TUHAN, Allahmu, dengan sukacita dan gembira hati walaupun kelimpahan akan segala-galanya, maka dengan menanggung lapar dan haus, dengan telanjang dan kekurangan akan segala-galanya engkau akan menjadi hamba kepada musuh yang akan disuruh TUHAN melawan engkau. Ia akan membebankan kuk besi ke atas tengkukmu, sampai engkau dipunahkan-Nya” (Ulangan 28:47-48).
Kejahatan dan pemberontakan bangsa Israel – dan semua orang – disebabkan oleh sikap tidak bersyukur. Inilah kesalahan fatal yang dilihat Musa pada orang-orang sebangsanya. Karena engkau tidak mau menjadi hamba kepada TUHAN, Allahmu, dengan sukacita dan gembira hati walaupun kelimpahan akan segala-galanya. Ia tidak berkata bahwa Allah akan membuat mereka menderita karena murka atas tidak bersyukurnya mereka, melainkan karena tidak bersyukurnya mereka itu akan menyebabkan kelalaian, dan kemudian kegagalan dan kehancuran.
Dan bukankah tidak adanya rasa syukur juga merupakan penyakit masa kini – yang melanda bangsa-bangsa, dan bahkan gereja, keluarga, anak-anak kita? Seberapa banyak dari kita yang setiap jam bersyukur atas hari yang tanpa penderitaan, atas keselamatan, kasur yang hangat, Alkitab, sesama orang percaya, keluarga dan teman-teman? Seberapa sering kita merenungkan tentang keajaiban air bersih, sinar matahari yang menerpa kulit kita, air hujan di kebun kita, dan makanan yang kita nikmati? Betapa banyak dari kita yang menjalani hari demi hari, minggu demi minggu dengan hanya mengeluh kepada Tuhan mengenai kekurangan kita. Untuk setiap keluhan itu, kita seharusnya menekuk lutut kita sepuluh kali dan mengucapkan doa paling sederhana ini: Terima kasih Tuhan.
Musa menasihati kita untuk memilih kehidupan, dan ini berlaku bukan hanya untuk yang kita kerjakan, tetapi juga yang kita lihat. Kita dapat memilih untuk berfokus pada hal negatif: Kesehatanku menurun; aku tak punya uang untuk melakukan semua yang kuinginkan untuk keluargaku; aku tidak dihargai di tempat kerja…. Beban-beban ini memang nyata, namun ketika kita memilih untuk mengingat berkat-berkat Tuhan, kita sedang membangun hati yang bersyukur, yang membawa kita mendekat kepada Gembala kita. Bersyukur, dengan kata lain, menolong menjagai kecenderungan-kecenderungan kita. Dan ini menarik. Setiap kita dapat menjadi mercu suar – memuji dan bersyukur atas setiap kesempatan dan “menerangi” orang-orang di sekitar kita untuk melakukan hal yang sama – atau, kita dapat menebar kegelapan dalam hidup orang lain dengan berbagai keluhan dan omelan kita. Dunia ini sudah cukup gelap. Menambahkan kegelapan lagi akan membuatnya menjadi tragedi.