Tulang-Tulang Berbicara
(Kimberly Coyle)
Kematian bukanlah akhir dari kesaksian kita di bumi.
Pada hari ketiga di Roma, kami semua merasa kelelahan. Saya bersama keluarga sedang melakukantur lanjutan ke Itali, untuk mengunjungi situs-situs kuno yang terkenal. Dalam perjalanan panjang menujuobyekwisataberikutnya, saya berhenti total untukmelihat-lihat peradaban yang kaya dan berkembang di tengah kota itu saja. Sementara anggota keluarga lainnya melanjutkan perjalanan tanpa saya, saya tetap berdiri di tepi jalan dan memotret pemandangan yang tak terduga: sepanjang jalan penuh pohon-pohon yang lebat dengan buah jeruk yang sudah masak. Beberapa buah berjatuhan di jalan, mengeluarkan aroma manis, segar di kaki saya. Sebuah keindahan alami yang menimbulkankegembiraan besar di antara jalan-jalan yang rusak dan batu-batureruntuhankota Roma – kota yang segala sesuatunya memiliki arti dan sejarah.
Ketika kami tiba di Santa Maria della Concezione dei Cappuccini, saya melihat dan menemukan bangunan sederhana yangtidak menarik. Gereja itu, dengan segala kesederhanaannya, tidak tercantum di banyak buku panduan, tetapi kami menambahkannya dalam rute perjalanan kami karena pemandu wisata mengatakan ruang bawah tanahnya agak menyeramkan, dan kami berpikir bagi anak-anak justru hal itu akan menarik.
Kami memasuki musium kecil yang berisi piagam-piagam yang menjelaskan tentang sejarah, karakteristik, dankemurahan hati ordo biarawan Capuchin. Tulisan-tulisan dan benda-benda purbakala diletakkan dalam kotak-kotak kaca, bersama jubah-jubah para biarawan yang sudah lama meninggal. Ordo Capuchin memisahkan diri ordo Fransiskan pada tahun 1520-an, dengan penekanan yang diperbarui dalam hal pengasingan diri, penebusan dosa dan hidup sederhana. Ketika saya menjelajahi musium itu, saya menyimpulkan bahwa mereka adalah kelompokyang sangat taatmelakukankehendak Yesus, dengan menunjukkan kerendahan hati yang luar biasa dalam melakukan pelayanan gereja dan memperhatikan orang yang kesusahan.
Di bawah gereja itu ada ruang bawah tanah yang unik yang dibangun untuk menampung tulang-tulang sekitar 4000 biarawan Capuchin. Kami turun ke ruang remang-remang dan tenang itu dan menemukan sebuah plakat yang membisikkan kata-kata dari masa lalu lalu kepada para pengunjung masa kini: “Yang sekarang Anda alami, kami sudah mengalaminya; yang sekarang kami alami, Anda akan mengalaminya.”
Langkah kami melambat di pintu masuk ruang bawah tanah, dan ketika mata kami sudah beradaptasi dengan cahaya remang-remang, tulang-tulang para biarawan, yang sudah termakan usia, menjadi tampak jelas. Kami melangkah setapak demi setapak ke Ruang Tengkorak, Ruang Tulang Panggul, Ruang Tiga Kerangka. Dari abad ke abad, tulang-tulang itu disusun dalam berbagai bentuk dan corak yang mengganggu – tulang-tulang tengkorak yang ditumpuk-tumpuk, tulang-tulang kaki dan tempurung lutut, tempat-tempat lilin dan mawar pahatan yang mengeras, kerangka-kerangka berjubah yang memegang rosario – masing-masing dengan motif rumit yang memberi pesan sederhana: peringatan yang mengerikan tentang kematian kita.
Sementara saya mengembara di ruang-ruang bawah tanah itu, saya memikirkan tulang-tulang yang menyatu membentuk tubuh yang hidup – sebuah tangan di sini, sebuah kaki di sana, tulang belakang yang tersusun. Napas kehidupan yang memasuki paru-paru. Roh Allah yang mendiami tubuh-tubuh yang sudah lama rusak dan membusukitu. Mereka pernah memiliki suara. Orang-orang itu dulu mendaraskan ayat-ayat Kitab Suci dan memanjatkan doa-doa dalam bahasa dan kehidupan yang sangat jauh terpisah zaman dan situasi dari saya. Namun kami sama-sama bagian dari tubuh Kristus yang sama. Yang mereka alami sekarang, akan saya alami kelak. Mereka juga pernah benar-benar hidup, persis seperti saya.
Ketika para biarawan Capuchin hidup, mereka ingin mematuhi nasihat Paulus kepada orang percaya, sebaik yang mereka pahami, untuk“hidup layak di hadapan-Nya serta berkenan kepada-Nya dalam segala hal, dan memberi buah dalam segala pekerjaan yang baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar tentang Allah” (Kolose 1:10). Mereka mengabdikan hidup mereka untuk studi dan pelayanan, dan saya percaya hidup mereka telah menjadi “bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa” (2 Korintus 2:15).
Tulang-tulang di ruang bawah tanah itu bukan saja berbicara tentang masa lalu – tentang orang-orang yang sudah terlupakan dan perbuatan-perbuatan baik mereka – tetapi juga tentang kehidupan yang akan datang. Tulang-tulang mereka menjadi pengingat bagi generasi orang percaya yang akan datang. Seperti yang terjadi pada mereka, perbuatan-perbuatan baik saya bagi dan demi Kristus juga akan terus hidup setelah tubuh saya hancur. Saya juga kelak akan meninggalkan kulit saya dan mengalami janji surgawi. Harapan saya adalah meninggalkan warisan bagi generasi-generasi mendatang – jejak-jejak kaki yang setia yang akan diikuti oleh orang-orang lain. Para biarawan Capuchin yang sudah meninggal ini adalah bagian dari pekerjaan baik yang lebih besar dalam tubuh Kristus selama berabad-abad, sama seperti saya adalah bagian dari tubuh Kristus sekarang ini. Semoga saya dapatbelajar dari iman mereka. Semoga tulang-tulang mereka dapat terus berbicara.