Berkemenangan
Semangat kompetitif budaya kita telah meresap ke dalam kehidupan gereja. Dan Tuhan ingin kita berhasil, namun kita harus melakukannya sesuai dengan persyaratan-Nya.
Oleh Michelle Van Loon
“Sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia. Dan inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita.”(IYohanes 5:4)
Saya menonton lebih sering menonton acara TV yang berfokus pada kompetisi. Salah satu favorit saya adalah program Chopped(dicincang) yang sangat lucu, di mana empat koki profesional diberikan sekeranjang bahan aneh seperti kumquat, tiram, permen kenyal, dan sesendok minuman keras dan ditugaskan untuk mengubahnya menjadi makanan yang dapat dimakan dan indah dalam waktu yang sangat singkat . Untuk setiap babak — hidangan pembuka, hidangan utama, dan hidangan penutup — panel juri akan mengeluarkan satu kontestan dengan kata-kata “Anda telah dicincang!” Koki terakhir yang masih tersisa akan memenangkan hadiah uang tunai dan hak untuk membual.
Entah itu kecakapan fisik yang diangkat dalam acara-acara olahraga, suara penyanyi yang sangat bagus yang dipuja di ajangpencarian bakat, atau keahlian yang diapresiasi pada acara memasak, kita yang menonton di rumah adalah juri yang sebenarnya. Dari kenyamanan sofa kita, kita menilai kinerja para pesaing dan keputusan para juri (meskipun kitatidak mencicipi taco saos tiramnya). Kita suka melihat dan merayakan para pemenang.
Kitapun menyukai para pemenang di dalam gereja. Ketika seorang selebriti — seorang “pemenang” dalam budaya kita — mengaku beriman kepada Yesus, kita sering kali dengan cepat mendorongnya ke dalam sorotan Kristiani. Setiap kali ini terjadi, saya memikirkan Bob Dylan, yang merekam album penginjilan secara eksplisit dan mulai mengabarkan Mesias yang telah bangkit dalam konsernya selama beberapa tahun. Dia kemudian secara terbuka mundur dari imannya yang baru dan juga gerejanya. Menjadi sorotan merupakan tempat yang sangat tidak ramah bagi iman untuk bertumbuh dan menjadi dewasa. Sedihnya, sejak pertobatannya, orang-orang di sekitarnya memperlakukannya sebagai piala alih-alih membina imannya. Dia adalah kemenangan besar bagi Tim Kristen … sampai dia tidak lagi beriman.
Keinginan untuk menang sangat dalam di diri kita. Itu berlaku di gereja dalam berbagai cara, seperti yang pernah saya pelajari ketika bekerja sebagai staf pendukung untuk pelayanan jejaring gereja regional. Saya menghargai dukungan kolega dan persahabatan yang banyak diberikan para pemimpin satu sama lain dalam pertemuan, tetapi saya juga mendeteksi adanya arus bawah “persaingan antar saudara” di antara beberapa yang hadir. Hal itu datang dalam bentuk pertanyaan, sepertiSeberapa besar gereja Anda? Seberapa sering khotbah Anda diunduh? dan Berapa banyak yang telah Anda baptis pada tahun lalu? Sedikit yang suka mengakui jemaat mereka sedang berjuang atau menyusut, jadi mereka cenderung membingkai jawaban mereka dalam hal kemenangan di masa depan: Kami sedang membangun kembali, atau Kami baru akan memulai penjangkauan baru kepada masyarakat.
Bukan hanya pemimpin yang menggunakan tolok ukur kekuatan dan popularitas untuk mengukur kesuksesan rohani. Sebagian besar dari kita membawa gagasan bahwa seseorang dengan pelayanan menulis buku, menjadi pembicara, atau khotbah yang terkenal telah dikaruniai oleh Allah dengan cara yang luar biasa. Kitamelihat popularitas mereka sebagai suatu nilai lebih, menggunakan ukuran “yang terbesar berartiyang terbaik.” Bahkan saat kita mengingatkan diri kita sendiri bahwa ekonomi Allah tidak seperti ekonomi kita (Matius 17:20; I Korintus 1:27) dan mengikut Yesus sering kali terlihat lebih banyak kehilangan daripada menang (Matius 16: 24-25), namun kecintaan kita pada para pemenang dapat menurunkan bobot kebenaran-kebenaran itu.
Menjadi sorotan merupakan tempat yang sangat tidak ramah bagi iman untuk bertumbuh dan menjadi dewasa.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan kegagalan moral beberapa pemimpin Kristen terkemuka, serta kejatuhan beberapa pemimpin gereja yang kurang dipublikasikan tetapi masih menyakitkan di gereja-gereja dan pelayanan yang lebih kecil. Setelah laporan-laporan ini, kita semua mendapati diri kita berjuang untuk memahami bagaimana seorang pemimpin yang memiliki karunia dapat mengilhami dan mempengaruhi begitu banyak orang selagi memelihara dosa rahasia dalam kehidupannya. Mengapa Tuhan mengizinkan para pemimpin ini untuk memiliki hak istimewa di atas mimbar selama ini?
Tidak ada jawaban mudah untuk pertanyaan ini. Dalam beberapa kasus, kekuatan kepribadian dinamis seorang pemimpin memaksa orang lain untuk mengabaikan tanda-tanda peringatan seperti pengeluaran berlebihan, amarah, perilaku rahasia, atau pengalihan kesalahan. Dalam kasus lain, para pemimpin ini melakukan dalam kedagingan apa yang dulunya mereka lakukan dengan bergantung pada Allah untuk melakukannya melalui mereka. Dan dalam setiap kasus, Tuhan memberikan karunia-Nya kepada orang-orang berdosa seperti Anda dan saya.
Roh Kudus memberkati orang-orang percaya dengan karunia yang memungkinkan kita untuk melayani orang lain di dalam tubuh Kristus dengan cara yang tidak mungkin dilakukan dengan upaya manusiawi atau bakat alami kita. Namun, dalam beberapa kasus yang menyedihkan, manusia yang jatuh dalam dosa ini mengandalkan usaha mereka sendiri untuk menyelesaikan pekerjaan Tuhan, dan dalam kasus lain, mereka hanya memilih untuk berpura-pura bahwa Tuhan melakukan “sesuatu yang besar” melalui mereka untuk meningkatkan popularitas mereka sendiri.
Kita harus mengingat lagi dan lagi bahwa karunia supernatural tidak secara otomatis memberikan karakter yang baik dan kedewasaan rohani kepada penerimanya. Bukti A: gereja di Korintus. Gereja ini ditandai oleh orang-orang yang, ketika mereka beribadah bersama, secara aktif berbagi karunia yang diberikan Allah kepada mereka. Ketika saya membaca I Korintus, saya membayangkan jemaat yang dicirikan oleh ibadah yang hidup dan bersemangat. Tuhan benar-benar bekerja di dalam gereja ini!
Kita semua mendapati diri kita berjuang untuk memahami bagaimana seorang pemimpin yang memiliki karunia dapat mengilhami dan mempengaruhi begitu banyak orang selagi memelihara dosa rahasia dalam kehidupannya.
Tapi karunia-karunia komunitas “pemenang” ini dikalahkan oleh dosa mereka. I Korintus mencakup tegurankerasnamun penuhkasih dari rasul Paulus tentang berbagai masalah termasuk diantaranya seringnya ibadah bersama yang kacau balau (I Korintus 14:1-40), adanya perpecahan (I Korintus 1:10-12), menutup mata terhadap dosa seksual (I Korintus 5:1-13), dan anggota yang berselisih yang membawa satu sama lain ke pengadilan (I Korintus 6:1-11). Setiap kali saya bertanya-tanya mengapa Tuhan mau memberikan karunia-Nya yang baik kepada orang-orang yang berperilaku buruk, saya ingat bahwa saya adalah salah satu dari orang-orang itu. Kita semua sama.
Memahami bahwa, “Anda mungkin tidak terhibur saat mendengar hal ini,” pendeta dan komentator Bob Deffinbaugh menulis, “Orang yang memiliki karunia pendeta-guru mungkin kurang rohani daripada orang yang memiliki karunia menolong. Orang yang memiliki karunia memberi mungkin jauh lebih rohani daripada penginjil yang memenangkan ribuan jiwa bagi Kristus. Kita hanya perlu mengingat sosok Perjanjian Lama, Simson, untuk diingatkan bahwa ketika dia mempertunjukkan kekuatan yang besar, ia menjalani hidup dengankedagingan.”
Bahkan saat kita mengingatkan diri kita sendiri bahwa mengikut Yesus sering kali terlihat lebih banyak kehilangan daripada menang, namun kecintaan kita pada para pemenang dapat menurunkan bobot kebenaran-kebenaran itu.
Di jantung surat kepada teman-temannya di Korintus ini, perkataan Paulus yang terkenal tentang kasih dimaksudkan untuk memisahkan kita dari ide-ide kedagingan kita sendiri mengenai apa yang nampak seperti kesuksesan rohani: “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku” (I Korintus 13:1-3).
Kita melihat dampak dari koreksi Paulus terhadap gereja Korintus ketika ia menulisnya setelah beberapa waktu berlalu, dan mereka menindaklanjuti kata-katanya. Paulus bahkan tidak menyebut-nyebut tentang ibadah gereja mereka yang dinamis atau para pemimpin bintangnya. Dalam II Korintus, ia memuji karakter mereka, kesetiaan mereka, dan ketaatan mereka untuk untuk memperbaiki kesalahan mereka, yang ia akui sebagai ungkapan kasih sejati mereka yang abadi kepada Tuhan dan sesama.
Saya seorang penulis dan mengenali godaan yang saya hadapi dalam menjelajahi dunia penerbitan Kristen. Ini adalah godaan yang berbisik kepada saya, mengatakan bahwa saya dapat mengandalkan keahlian dan pengalaman saya sendiri untuk melakukan tugas di hadapan saya, dimana secara bersamaan mengurangi kasih Tuhan dari upaya saya. Itu adalah godaan yang sama yang kita masing-masing hadapi setiap kali kita berusaha untuk “menang,” bahkan secara rohani. Ketika kita mengenali dan menyangkal godaan ini dalam nama Yesus, Allah akan membantu kita membedakan antara mereka yang berusaha untuk “menang” di Kekristenan dan mereka yang mau kehilangan hidup mereka demi mengasihi seperti halnya Yesus mengasihi.
Tuhan menerapkan ukuran yang sama untuk penulis Kristen yang laris, seorang pendeta superstar, dan sukarelawan di sekolah minggu, dan itu tidak seperti cara kita mengukur kesuksesan. Prestasi dan piala kita — bahkan yang nampak pantas — bukanlah cara Allah mengukur upaya kita. Paulus melanjutkan dalam 1 Korintus 13:8 untuk mengingatkan kita bahwa karunia yang diberikan Allah kepada kita akan berlalu. Karunia-karunia itu memilikiperan penting disini dan sekarang selagi kita saling melayani dalam nama-Nya, tetapi itu bukan tujuan kekal. Kasih adalah tujuan kekal kita.