Mendekati “Warisan” Keluarga
(Stefani McDade)
Pelajaran yang saya petik dari warisan keluarga tentang keramahtamahan dan misi
Sambil duduk di dipan di samping suami saya, saya menatap komputer dan berlinang airmata. Saya sedang menonton prosesi pemakaman kakek saya dari jarak ribuan kilometer, namun hati saya terasa begitu dekat.
Kakek saya pergi menjumpai Sahabat kekalnya di usia 97—tujuh tahun setelah kepergian sahabatnya di bumi, Nenek saya terkasih. Dan sementara semua paman dan bibi saya dapat melakukan perjalanan ke Kanada, sebagian besar sepupu dan saya harus rela dengan hanya menonton siaran langsung dari kejauhan. Di sela-sela sambutan-sambutan yang disampaikan dalam upacara itu, ibu saya mengalihkan kamera dari podium kepada para hadirin, yang kebanyakan sudah berambut putih dan saya kenali mereka sebagai teman-teman gereja Kakek saya.
Kakek nenek saya sudah melayani di ladang misi selama lebih dari dua puluh tahun – mula-mula sebagai pamong di sebuah panti asuhan di Kuba dan kemudian sebagai penanam gereja di Miami untuk menjangkau penduduk kota itu yang berkembang dari para pengungsi Kuba. Keluarga Kakek yang berjumlah sembilan orang tinggal di sebuah daerah pertanian kecil – dan meskipun meja di ruang makan mereka sudah penuh sesak, setiap kali ada yang mau mengajak teman untuk makan malam, jawabannya selalu ya. “Selalu ada tempat untuk satu kursi lagi di meja makan,” demikian selalu kata Nenek. Dengan cara itu, ada beberapa orang yang kemudian “tercangkok” ke dalam klan kami. Sampai hari ini, mereka menjadi anggota aktif di grup Fesbuk dan surat-surat elektronik keluarga kami, dan semuanya minimal sudah pernah mengikuti satu kali reuni keluarga kami sepanjang tahun-tahun itu.
Sebagian besar dari tujuh anak kakek saya tinggal di Amerika Selatan sebagai misionaris, sementara beberapa tinggal di Amerika Serikat atau Kanada sebagai pendeta. Beberapa sepupu saya juga mengikuti jejak orangtua mereka dalam melakukan misi ke luar negeri, sementara yang lain tersebar di berbagai wilayah Amerika Utara. Tetapi, meski misi merupakan kekuatan yang menggerakkan kehidupan kakek nenek saya, yang mereka wariskan adalah hospitality (keramahtamahan, kesediaan memberi tumpangan) – dan orangtua saya sendiri melanjutkan fokus kedua cabang pelayanan ini.
Ayah dan ibu saya dalam banyak hal mencerminkan kehidupan kakek nenek saya: melayani sebagai misionaris di Venezuela dan kemudian menjadi pendeta di gereja kota pedalaman yang kecil di Miami. Selama saya dibesarkan, kamar tamu di rumah pastori kami sering dihuni oleh misionaris dari luar negeri, yang akan tinggal bersama kami selama mereka cuti, yang kadang sampai berbulan-bulan setiap kali. Pada saat saya lulus SMA, dua mahasiswa pertukaran pelajar asing dari negara yang berbeda tinggal bersama kami. Pada saat itu ayah saya juga menjadi dosen, dan ia memberi undangan terbuka kepada seluruh mahasiswa di kelas-kelasnya. Semua mahasiswanya bisa datang ke rumah kami kapan saja, tanpa pemberitahuan lebih dulu, dan banyak yang menyambut undangan itu – terutama para mahasiswa dari luar negeri pada masa-masa liburan. Bagi orangtua saya, hospitality bukanlah kegiatan yang perlu direncanakan; tetapi sebuah gaya hidup dan tindakan yang tanpa embel-embel. Tindakan ini tidak memerlukan presentasi pencicip makanan atau penataan ruang yang apik – makanan cukup ditaruh di panci-panci dekat kompor. Tetapi ibu saya selalu menyediakan lebih dari cukup, dan tak ada yang dilarang datang ke kulkas atau dapur kami. Intinya, siapa saja yang datang untuk makan malam akan dijamu seperti anggota keluarga, bukan tamu.
Ketika Kakek hampir berusia 90 tahun, orangtua saya pindah ke Kanada agar bisa merawat dan sering mengunjunginya di rumah kediamannya sendiri. Mereka akan bercakap-cakap, membaca, berdoa atau menyanyikan lagu-lagu pujian bersama. Pada hari-hari buruk, mereka akan duduk di dekatnya dan menggenggam tangannya yang keriput. Pada saat itu, masalah pengungsi di Eropa memburuk, dan Kanada mulai menerima lebih banyak pengungsi. Orangtua saya mendapat tawaran untuk menjadi pamong di rumah transisi para pendatang baru, dan mereka setuju untuk menangani panti itu dan menolong keluarga-keluarga menjadi mandiri. Ibu saya mulai mengatur tugas-tugas untuk mereka, dan membantu mereka mengerjakan PR bahasa Inggris. Tak heran jika dalam waktu beberapa bulan saja, ibu sudah menjalin hubungan yang erat dengan dua wanita Iran yang tinggal bersama mereka.
Begitu eratnya sampai ketika Kakek saya meninggal, ibu saya mengundang mereka berdua ke acara pemakaman. Salah satu dari mereka datang, dan duduk di bangku dekat belakang gereja. Dan ketika paman saya berdiri di hadapan seluruh keluarga besar kami, memimpin mereka melantunkan kidung pujian, saya berpikir betapa kehadirannya merupakan wasiat yang tepat dari warisan kakek saya. Di sana, di antara orang-orang yang datang untuk mengenang dan menghargai hidupnya, ada seorang wanita asing dari negeri yang jauh. Dan meskipun ia tidak terlalu mengerti yang dikatakan, pertemuan ini menjadi pengalaman pertamanya tentang Kekristenan.
Ketika rangkaian acara selesai, sayaberalih ke foto-foto kenangan yang saya kumpulkan dari perjalanan-perjalanan kami mengunjungi Kakek dan Nenek ketika saya masih kecil. Saya teringat pada apartemen berlantai tanah mereka yang kecil dan betapa keluarga kami hampir tidak muat di dalamnya pada waktu-waktu reuni. Ada banyak benda-benda hasil kerajinan dan kesenian rakyat yang berwarna-warni di sana – di dinding, di rak-rak papan, di sisi meja-meja – yang merupakan hadiah-hadiah yang dikirim para paman dan bibi saya dari luar negeri.
Lama sesudah kakek saya pensiun dari pelayanan, mereka masih melakukan pengorbanan-pengorbanan bagi kerajaan Allah. Ketika anak cucu mereka melayani Amanat Agung, Kakek dan Nenek saya harus rela tidak melihat anak-anak dan cucu-cucu mereka bertumbuh di dekat mereka. Tahun-tahun yang tak terbilang, rambut putih, dan garis-garis ketuaan sudah bergulir tanpa disaksikan oleh banyak keluarga besar kami – kecuali pada saat reuni, yang diadakan lima tahun sekali atau lebih. Ketika saya masih kecil, pikiran ini tak pernah ada di benak saya, tetapi sekarang, saya tak dapat tidak memikirkan tentang kakek dan nenek saya yang melalui hari-hari yang panjang dan kesepian di usia lanjut mereka, dan bertanya-tanya, apakah mereka menyesali keputusan-keputusan mereka. Apakah semua itu pantas bagi mereka pada akhirnya?
Satu setengah tahun yang lalu, saya dan suami pindah ke dekat Clarkston, sebuah kota kecil di luar kota metro Atlanta, yang telah menjadi tempat tinggal para pengungsi sejak tahun 1970-an. Saat ini, dengan lebih dari 40 suku bangsa dan 60 bahasa yang berbeda, kota ini sudah menjadi wilayah yang paling beragam di Amerika. Dalam perjalanan kami pulang dari gereja, kami berpapasan dengan wanita-wanita berhijab dan pria-pria dengan pakaian adat tunik di jalan-jalan. Alih-alih memasak makan malam di rumah, kami mengundang teman-teman kami untuk bergabung di restoran-restoran pengungsi setempat yang menjadi favorit kami. Saya senang melihat keanekaragaman warna kulit dan budaya.
Sebelum kami pindah ke sini, saya terkejut mendapati bahwa sebagian besar pengungsi di negara bagian itu tidak pernah diundang ke rumah orang Amerika – satu kali pun. Melebihi zaman lain mana pun dalam sejarah, dunia sudah datang pada kita; namun orang-orang Kristen tampaknya masih lebih suka pergi ke luar negeri untuk melakukan perjalanan-perjalanan misi jangka pendek daripada membangun relasi-relasi jangka panjang dengan para pengungsi dan imigran yang tinggal di kota-kota mereka. Kami pindah ke sini untuk tinggal dan melayani di tengah-tengah komunitas internasional. Pada awalnya saya pikir itu hal yang mudah – karena kami tinggal berdekatan, kesempatan-kesempatan pelayanan tentu akan tercurah dari langit.
Namun, meskipun saya bertemu dan bercakap-cakap dengan banyak pengungsi di tempat-tempat umum seperti restoran dan warung kopi, saya malu untuk mengatakan bahwa kami belum mengundang satu keluarga pengungsi pun untuk makan malam di rumah kami. Kami sudah tinggal di rumah kami ini lebih dari setahun, dan saya merasa seakan-akan sudah gagal meneruskan warisan keluarga saya. Yang lebih parah, meja makan kami lebih besar dan rumah kami lebih luas dari yang dimiliki orangtua atau kakek nenek saya. Namun, meskipun kami memiliki lebih banyak sumber daya untuk dibagikan dan memiliki banyak maksud baik juga, keramahtamahan (hospitality) ternyata bukanlah hal yang bisa dilakukan dengan mudah.
Sejak kakek saya meninggal, saya sudah berpikir tentang warisan yang akan saya teruskan kepada anak-anak saya sendiri. Apakah saya ingin mereka bertumbuh dengan pikiran bahwa misi adalah sesuatu yang terjadi di suatu bagian lain di dunia ini, dan bukan di tempat ini pada saat ini? Mengapa jauh lebih mudah bagi kami untuk melayani orang-orang “di Iuar sana” daripada menyambut mereka di dalam hati, rumah dan hidup kami sendiri? Suku-suku terabaikan sekarang sudah ada dalam jangkauan kita – dan saya tampaknya sudah harus mengembangkan definisi saya tentang arti menjadi misionaris. Dan sementara saya dan suami masih memikirkan tentang bagaimana seharusnya sikap dan tindakan kami dalam konteks yang sekarang, ada satu hal yang saya pelajari dari keluarga saya: keramahtamahan sejati tidak dimulai di depan pintu rumah, tetapi di suatu tempat yang lebih dekat lagi—ia muncul secara alami dari kedermawanan jiwa kita. Dari hati kita.