Orang-Orang Asing Di Negeri Asing
(Joshua Ryan Butler)
Kita semua adalah penduduk sementara di negeri yang tidak kekal ini.
Apakah Anda pernah merasa tidak berada di tempat yang tepat? Anda merasa seperti tidak pas dan lebih suka berada di rumah? Seperti itulah yang dirasakan banyak orang ketika mereka pertama kali menjejakkan kaki di gereja-gereja kita. Rasanya seperti sedang mengunjungi suatu negeri yang jauh dengan orang-orangnya berbicara dalam bahasa asing dan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang tak pernah kita ketahui sebelumnya.
Kita perlu menunjukkan keramahtamahan sebagai gereja, dan menyambut tamu-tamu yang datang. Bagaimana kita dapat melakukan hal ini dengan baik? Cara terbaik untuk memulainya adalah dengan melihat bagaimana Allah memperlakukan orang asing. Kata Ibrani ger untuk “sojourner” (penduduk sementara) muncul 92 kali di Perjanjian Baru, yang seringkali juga diterjemahkan sebagai “pendatang,” “orang luar,” “orang asing,” atau “orang tak dikenal.” Di sepanjang cerita Alkitab, Allah menunjukkan kepedulian dan perhatian khusus kepada orang-orang asing ini.
Umat Allah Yang Pengembara
Allah memanggil umat-Nya untuk peduli kepada orang asing; ini benar, penting dan sering dibahas. Tetapi tema mendasar yang seringkali dilupakan adalah seberapa sering dalam cerita Alkitab itu umat Allah menjadi orang asing.
Abraham dipanggil Allahuntuk meninggalkan negerinya dan pergi ke suatu negeri yang baru (Kejadian 12:10; 20:1; 23:4). Ia lalu memuati unta-untanya dan bertolak ke barat, menjadi pengembara yang akhirnya tinggal di Kanaan dan membangun rumahtangga sebagai penduduk asing. Dan ia tidak sendirian. Bapak-bapak lainnya di Alkitab juga relatif bukan penduduk tetap: Kisah tentang Yakub, Yehuda, dan Yusuf semuanya diwarnai dengan perpindahan tempat tinggal. Di kitab Kejadian, satu-satunya bidang Tanah Perjanjian yang dimiliki umat Allah adalahtanah pekuburan untuk Sarah, istri Abraham (Kejadian 23:2-20). Area kecil yang menyeramkan ini bukanlah sekadar sebuah makam, tetapi sebuah koloni di tengah-tengah bangsa itu yang pada akhirnya menjadi kerajaan.
Israel tahu bagaimana rasanya diperlakukan dengan buruk oleh negara-negara tuan rumah yang bermusuhan selama tahun-tahun pengembaraan mereka. Maka tidak heran jika ketika bangsa itu akhirnya mewarisi negeri itu, para penduduk sementara mendapatkan perlindungan khusus dan resmi. Umat Allah memahami sekali bagaimana rasanya berada dalam situasi mereka. Sesungguhnya, bangsa Israel masih memahami dirinya sebagai “penduduk asing” (ger) yang tinggal di tanah yang pada hakikatnya milik Allah (Imamat19:33-34).
Tema ini terus berlanjut sampai ke Perjanjian Baru. Gereja hidup sebagai orang-orang asing di bumi, karena kewarganegaraan kita yang sesungguhnya adalah di surga (1 Petrus 1:17; 1 Petrus 2:11). Sebagai orang asing dan peziarah di zaman yang akan berlalu ini, kita – seperti halnya bapak-bapak di zaman Alkitab dulu – dicirikan dengan hidup yang mengembara sementara menantikan tanah warisan yang dijanjikan akan diberikan kepada kita (Ibrani 11:9-16). Kerajaan Allah yang akan datang akan membawa surga ke bumi: Dia akan menghancurkan tempat-tempat pengasingan kita dan menggantinya dengan rumah baru kita di kota yang kudus, di mana kita akan tinggal bersama-Nya untuk selama-lamanya (Wahyu 21-22).
Mengasihi Orang Asing
Sebagaimana umat Allah sering menjadi penduduk sementara, kita juga dipanggil untuk mengasihi orang-orang asing yang ada di tengah-tengah kita. Ketika bangsa Israel menerima hukum Tuhan di Gunung Sinai, orang-orang asing mendapat perhatian khusus dan perlindungan resmi (Keluaran 22:21; 23:9). Ini penting karena para pendatang biasanya tidak memiliki keluarga besar dan jaringan sosial, yang keduanya sangat diperlukan untuk bertahan hidup di dunia purba.
Salah satu alasan yang diingatkan Allah kepada umat-Nya saat memberikan perintah ini adalah karena mereka juga pernah berada dalam situasi yang sulit itu: “Janganlah kautindas atau kautekan orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir” (Keluaran 22:21). Orang Israel tidak boleh mengulangi kesalahan orang Mesir, dan karena itu Allah memerintahkan mereka untuk mengasihi orang asing seperti diri mereka sendiri (Imamat 19:34). Negara-negara tetangga memiliki peraturan yang melindungi janda-janda dan kaum yatim piatu, tetapi Israel juga memiliki perintah yang unik tentang mengasihi orang asing.
Peraturan tentang penyabitan adalah contoh yang paling menyentuh dari perintah ini, “Pada waktu kamu menuai hasil tanahmu, janganlah kausabit ladangmu habis-habis sampai ke tepinya dan janganlah kaupungut apa yang ketinggalan dari penuaianmu, semuanya itu harus kautinggalkan bagi orang miskin dan bagi orang asing” (Keluaran 23:22). Ini seperti meninggalkan uang di sekitar rumah Anda agar orang miskin bisa datang dan mengambilnya. Mereka tetap harus bekerja untuk mengambilnya, mengumpulkan makanan yang bisa mereka bawa pulang dan menyajikannya di atas meja. Tetapi jika Anda orang asing, ini seperti jaring pengaman sosial bagi para pengangguran dan penderita kelaparan.
Di Perjanjian Baru, pengikut Yesus juga dipanggil untuk mengasihi orang lain dan menolong orang asing dengan melakukan “hospitality” (keramahtamahan, kesediaan memberi tumpangan atau menerima tamu). Kata yang digunakan di sini adalahphiloxenos, yang secara harafiah berarti “mengasihi orang asing” (1 Petrus 4:9; Roma 12:13). Sebagaimana Kristus sudah menerima kita di dalam rumah-Nya bersama Bapa, kita sebagai gereja-Nya juga harus menyambut, menerima dan mengasihi orang-orang asing yang ada di antara kita. Dan ketika Anda mengasihi orang asing, Anda mungkin akan terkejut mendapati siapa sebenarnya mereka. Penulis kitab Ibrani mengingatkan kita, “Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat” (Ibrani 13:2). Yesus sendiri berkata bahwa entah kita menyadarinya atau tidak, ketika kita melayani orang asing dan lemah, kita sebenarnya sedang melayani Dia (Matius 25:31-46).
Mesias yang Menyambut
Yesus melakukan yang Dia perintahkan; kita melihat tema ini dengan jelas dalam hidup dan pelayanan-Nya. Orang-orang asing datang dari negeri yang jauh untuk merayakan kelahiran-Nya, suatu tanda bahwa Raja Mesianis yang dijanjikan itu kekuasaan-Nya meliputi segala bangsa (Matius 2:1-12; Yesaya 60:3). Juru Selamat bercakap-cakap dengan seorang perempuan Samaria, mengusir setan dari anak perempuan orang Kanaan, menyembuhkan anak pejabat kerajaan dan sekelompok orang kusta (Matius 15:21-28; Lukas 17:11-21; Yohanes 4:1-26; Yohanes 4:46-54).
Meskipun Yesus datang “pertama-tama untuk orang Yahudi, tetapi kemudian juga untuk orang non-Yahudi” (Roma 1:16), melalui kematian penebusan-Nya, Dia sudah membuka kelimpahan kasih Allah kepada kita semua orang-orang asing dari mana saja. Janji utama Allah kepada Abraham, yang akan memberkati segala bangsa melalui keturunannya (Kejadian 12:2; 18:18; 22:18), sudah digenapi di dalam Kristus. Karena itu, sungguh tepat jika kepala pasukan yang orang non-Yahudi itu yang menyatakan pertama kali tentang kematian Kristus, dengan sikap yang memuliakan Allah (Lukas 23:47).
Kematian Juru Selamat telah merobohkan tembok-tembok yang memisahkan orang-orang non-Yahudi dari umat-Nya (Efesus 2:14-18). Dan sekarang, dengan kuasa kebangkitan-Nya, Yesus menyambut semua orang yang mau datang kepada-Nya, menawarkan kewarganegaraan kerajaan-Nya yang mulia kepada semua orang yang bersujud menyembah-Nya. Karena itu, sebagai pengikut-Nya, kita juga perlu menyambut – dengan tangan terbuka – orang-orang dari luar gereja dan iman kita ke dalam hidup kita. Memang benar, terkadang tetangga Anda yang tidak mengenal Tuhan, rekan kerja Anda yang tidak percaya adanya Tuhan, atau teman-teman Anda dari agama lain, bisa bertindak dengan cara-cara yang terasa asing, latar belakang mereka mengejutkan Anda, dan mereka mengucapkan kata-kata aneh yang kedengarannya seperti bahasa ruang angkasa. Anda mungkin tergoda untuk menghindar atau menjaga jarak dan memperlakukan mereka seakan mereka berasal dari planet lain. Tetapi ketika hal itu terjadi, ada baiknya Anda mengingat kebenaran abadi ini: Allah mengasihi orang asing. Dan jika kita mengasihi Allah, kita juga harus mengasihi mereka.