Orang Farisi Sehari-Hari
(Marlena Graves)
Kita suka menyalahkan kelompok pemimpin agama yang berkuasa pada zaman Yesus, tetapi sudahkah kita berhenti sejenak untuk memikirkan betapa kita juga sama seperti mereka?
Teman saya Linda menceritakan pengalamannya ketika ia menjadi petugas sambut pengunjung di gereja pada suatu hari Minggu yang panas: Seorang pria melangkah masuk dengan rambut acak-acakan, noda keringat mengotori hem putihlengan panjangnya, yang sebagian terselip di celana panjangnya dan sebagian lagi melambai bebas seperti bendera yang berkibar di udara. Linda terpana. Dalam hati ia mulai melangkah mundur dengan perasaan jijik. Tetapi ia tetap tersenyum dan menyambutnya. Pria itu menyunggingkan senyum yang menunjukkan ia sangat membutuhkan perawatan dokter gigi. Roh Kudus berbisik pada Linda, “Bicaralah dengannya.” Linda taat dan ia lalu mendapati bahwa pria itu telah bersepeda hampir sejauh 20 km hanya untuk datang ke gereja itu.
“Aku sudah menilainya berdasarkan penampilan luar,” Linda berkata, “Padahal ia menunjukkan komitmen yang lebih besar untuk datang ke gereja dibandingkan banyak orang yang kukenal. Tahu apa lagi yang kupikirkan? Kukira aku juga akan bersikap seperti itu jika berpapasan dengan Yohanes Pembaptis.”
“Bardasarkan penampilan luar?” saya bertanya.
“Ya berdasarkan penampilan luar,” ia menegaskan. “Tuhan benar-benar sudah memakai orang ini untuk membuatku rendah hati.”
Saya bersimpati pada Linda. Kita semua memiliki prasangka-prasangka, penilaian yang salah, dan dugaan-dugaan yang keliru akibat perasaan superioritas kita. Kita semua, dalam satu dan lain hal, bisa menjadi seperti orang Farisi dalam perumpamaan Tuhan Yesus, yang mengucapkan doa versi kita sendiri, “Ya Tuhan, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku” (Lukas 18:11-12).
Bagaimana jika kita membalikkan prasangka-prasangka kita dan menyelaraskannya dengan prioritas-prioritas kerajaan Tuhan? Bagaimana jika kita menjadi murid dari orang-orang yang awalnya kita yakini, secara keliru, berada di bawah kita? Sebagai contoh, alih-alih menjadi seperti orang kaya yang – dari hari ke hari, tahun ke tahun—merendahkan Lazarus, orang miskin yang duduk di pintu gerbangnya, bagaimana jika kita duduk bersama Lazarus-Lazarus kita untuk belajar dari mereka (Lukas 16:19-31)? Bagaimana pun, Yesus berkata, “Banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu.” (Matius 19:30).
Ada banyak alasan kita merasa lebih tinggi dari orang lain. Sebagian besar berkaitan dengan kebutaan kita terhadap dosa-dosa dan kelemahan kita sendiri. Lebih mudah dan menyenangkan melihat kesalahan orang lain, dan jauh lebih sulit dan menakutkan melihat kesalahan dan kekurangan kita sendiri. Jika kita melihat kekurangan-kekurangan kita sendiri, kita mengecilkannya. Dan ini menimbulkan kesombongan dan sikap tak dapat diajar. Seperti kata Yesus, kita sibuk berusaha menyingkirkan selumbar di mata orang lain, sementara ada balok di mata kita sendiri (Matius 7:1-5).
Tetapi semakin kita mendekat pada Kristus, semakin kita dapat melihat siapa sebenarnya diri kita: dengan segala kebaikan, keburukan dan kejelekannya. Pengenalan-diri ini, yang merupakan kasih karunia Tuhan, menimbulkan kerendahan hati dalam diri kita, bukan perasaan malu. Kita bukan saja akan dikekang dari kecenderungan untuk menganggap diri kita lebih tinggi, tetapi juga dari kecenderungan yang menganggap diri kita dan orang lain lebih rendah di mata Tuhan (Roma 12:3).
Mungkin kita merasa lebih tinggi karena kita lebih kaya atau lebih menanjak di tangga perusahaan dibandingkan orang lain, disertaipercaya pada kebohongan yang jahat bahwa semua orang yang bekerja keras dan menghormati Tuhan akan berhasil. Mungkin kita mengacaukan tangga perusahaan dengan tangga Yakub. Atau mungkin, meskipun kita percaya bahwa diri kita lebih baik karena kita memiliki sifat-sifat baik yang tidak mereka miliki, kita tidak dapat melihat bahwa mereka juga memiliki sifat-sifat baik yang tidak kita miliki. Untuk menyingkirkan kecenderungan bersikap sombong karena merasa kita tidak dapat belajar apa-apa dari orang-orang yang awalnya kita anggap berada di bawah kita, ada baiknya kita menahan diri dan mengingat-ingat kebenaran pada saat kita mulai merasa tinggi hati. Untuk memulainya kita dapat mengingatkan diri kita pada perumpamaan Tuhan Yesus tentang orang Farisi dan pemungut cukai, orang kaya dan Lazarus, dan balok versus selumbar di mata.
Lukas 2:52 berkata, Yesus bertambah besar dalam hikmat maupun postur-Nya; apakah kita juga sudah bertambah besar dalam hal-hal ini? Apakah kita bersedia merendahkan diri seperti Juru Selamat kita yang tak berdosa, yang rela menempatkan diri-Nya dalam posisi untuk belajar dari orangtua-Nya yang tidak sempurna dan orang-orang lainnya? Bagaimana rasanya belajar dari orang-orang yang terempas ke lapisan bawah masyarakat, gereja, atau opini “baik” kita?
Jawabannya sederhana tetapi bisa jadi sangat sulit: Kita harus melakukan hal-hal yang intensional atau disengaja. Kita perlu memberi tempat bagi mereka di meja makan kita, di organisasi-organisasi kita, dan dalam kehidupan sehari-hari kita. Persekutuan yang membuat kita menerima satu sama lain sebagai orang-orang yang setara akan memiliki cara untuk meruntuhkan jarak-jarak yang membayangidi antara latar belakang dan situasi-situasi kita. Ketika kita menempatkan diri kita dalam posisi untuk belajar dari orang-orang yang tidak kita hargai, kita seringkali akan mendapati bahwa kita sebenarnya adalah orang yang lebih lemah dalam iman dan percaya kepada Tuhan. Dan kemungkinan kita adalah orang yang perlu banyak belajar dari mereka. Begitu kita mulai menunjukkan postur ini, kita akan mendapati Tuhan mulai mengirim banyak utusan kasih karunia ke jalan kita – noda-noda keringat dan lain sebagainya. Dan yang kita perlukan hanyalah mata untuk melihat.