Waktu Berada Di Pihakku
(Jamie A. Hughes)
…bahkan pada saat rasanya tidak seperti itu.
Keluarga saya mondar-mandir di ruang tunggu kamar bersalin seperti para penari sebelum pentas. Kami membicarakan tentang si kecil yang akan kami jumpai – keponakan perempuan saya, Beatrix, bayi pertama yang hadir di keluarga kami setelah 18 tahun. Kami semua bertanya-tanya seperti apa warna rambutnya, mirip siapa wajahnya dan perangainya. Hampir 14 jam setelah ipar saya mulai merasakan sakit bersalin, Nona Bea lahir. Dan penantian itu jadi terasa tidak sia-sia sama sekali.
Pada suatu kesempatan di sela-sela malam yang menggembirakan itu, saya menyelinap ke ruang perawatan syaraf rumah sakit itu, tempat saya pernah dengan enggan menjadi penghuninya sembilan tahun sebelumnya. Saya dibawa ke sana karena mengalami kebas dan kesemutan di tubuh bagian bawah saya, dan seminggu kemudian, saya menjadi pasien sklerosis ganda. Selama tujuh hari yang menyakitkan dan menakutkan, saya berada di bangsal rumah sakit itu seperti harimau kumbang yang dikerangkeng – tak bisa meIepaskan diri, setiap jam serasa selama-lamanya. Tetapi kali ini saya melangkah dengan damai, merenungkan peristiwa-peristiwa yang lalu maupun yang sekarang, dan menyadari bahwa waktu adalah suatu hal yang menggemaskan. Tanpa persetujuan kita, ia terus berjalan, detik-detik menjadi hari-hari dan tahun-tahun. Tetapi, persepsi kita tentang waktu bisa jauh lebih dari sederhana. Dalam pikiran kita, waktu dapat berlalu dalam sekejap, terasa lamban, atau seolah berhenti di pertengahan-detik. Waktu bahkan dapat lebih membingungkan ketika kita memikirkan relasi Tuhan – atau lebih tepatnya, ketidakterikatan-Nya – dengan waktu.
Menurut Gregory E. Ganssle, dosen filsafat di Universitas Biola, “Tuhan tidak mengalami urutan/pergantian waktu. Relasi Tuhan dengan setiap peristiwa yang terjadi dalam urutan waktu sama saja dengan relasi-Nya dengan setiap peristiwa lainnya.” Pada hakikatnya, “Tuhan tidak mengalami abad pertama sebelum Dia mengalami abad ke duapuluh satu. Semua abad-abad ini sama-sama dialami Tuhan dalam satu “waktu sekarang yang kekal.” Secara realitasnya, sebagai makhluk yang fana yang didasarkandan dibatasi oleh waktu—saya tidak sepenuhnya dapat memahami, dan setiap kali saya mencoba memahaminya, saya benar-benar menjadibingung.
Sekarang, ketika usia saya sudah menginjak 41 tahun (dan hampir memasuki usia 42 tahun), saya mendapati konsep yang membingungkan ini menghibur dengan cara yang tak pernah bisa saya alami ketika saya masih muda. Di masa muda, waktu adalah sesuatu yang saya miliki dalam jumlah yang sangat besar, seluruh dasawarsa saya terkunci dengan aman di gudang tertutup sampai saya membutuhkannya. Dan saya membuang-buang waktu saya dengan ceroboh seperti orang kaya yang mengabaikan kepingan-kepingan kartu poker dalam permainan poker yang berisiko tinggi. Buat apa khawatir? Saya berkata pada diri sendiri. Selalu akan ada lebih banyak lagi yang datang.Tetapi usia mengubah hal itu, bukan? Seiring dengan munculnya kerutan di bawah mata dan bertambahnya lipatan lemak di bagian tengah tubuh kita, kita belajar sedikit fakta yang menyedihkan bahwa kita kadang agak lupa: bahwa waktu benar-benar terbatas, dan apa pun yang kita lakukan, suatu hari waktu kita akan habis.
Ini adalah pengetahuan yang dapat dipastikan dalam hal besar maupun kecil. Ketika kita masih kanak-kanak, hari terasa seperti tak pernah berakhir. Tetapi ketika kita sudah dewasa, betapa pun cepatnya kita bekerja, rasanya tak pernah ada cukup waktu untuk menyelesaikan segala sesuatu. Anak-anak kita bertumbuh kembang sebelum kita betul-betul menyadarinya. Kita kehilangan anggota keluarga dan teman-teman karena usia yang sudah lanjut, kecelakaan atau penyakit. Akibat kenyataan-kenyataan ini dan seribu alasan lagi, kita merasa waktu meluncur deras dari tangan kita seperti air dan kita sama sekali tak dapat menghentikan alirannya. Itu sebabnya Hollywood terus-menerus memproduksi film-filmyang tak masuk akal tentang perjalanan waktu (I’m looking at you, Avengers: Endgame) dan mengapa sistem-sistem dan rancangan-rancangan organisasi yang berjanji mengoptimalkan kehidupan masih menjual dengan berhasil. Itu sebabnya orang melakukan diet dan olahraga, menjejali diri dengan berbagai vitamin, dan melumasi wajah dan anggota badan dengan krem pelembab yang berjanji dapat menahan ketuaan. Dalam satu dan lain haI, kita semua melukai dan menyakiti sendi-sendi kita dalam usaha mengatasi ketuaan, sekalipun kita tahu semua usaha itu adalah sia-sia saja.
Realitas ini sudah membuat banyak orang putus asa, tetapi bagi orang yang mengenal
“Tuhan yang tidak kelihatan” dan Yesus, yang di dalam Dia “telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan” (Kolose 1:15-16), situasi ini tidak terlalu menakutkan. Meskipun kita tak pernah dapat sepenuhnya memahaminya di kolong langit ini, kekekalan sudah diletakkan di hati kita, dan sekalipun biologi dan logika mengatakan yang sebaliknya, kita tahu ada satu dunia yang melampaui batas waktu yang sudah diciptakan untuk kita (Pengkhotbah 3:11; Efesus 3:11). A. W. Tozer mengatakannya dengan baik sekali dalam karya klasiknya, The Knowledge of the Holy. Ia menulis, “Hidup adalah pengulangan singkat dan gelisah dari sebuah konser yang tak bisa kitatampilkan terus-menerus. Tepat pada saat kita tampaknya mulai menguasai kecakapan tertentu, kita dipaksa untuk meletakkan instrumen-instrumen itu. Benar-benar tak ada cukup waktu untuk berpikir, menjadi, dan menampilkanyang keadaan jasmani kita menunjukkan bahwa kita mampu.”
Mengapa kita memiliki “keadaan jasmani” ini jika tak pernah dapat mencapai kepenuhan? Penganut nihilisme akan membuat kita percaya bahwa hal itu membuktikan segala sesuatu tak ada artinya, termasuk diri kita sendiri. Tetapi pengikut Kristus seharusnya mengetahui yang lebih baik. Kita sesungguhnya “diciptakan untuk dunia lain,” sebagaimana dikatakan C. S. Lewis —dunia yang abadi di mana waktu menjadi tidak relevan, di mana kita akan bebas melangkah ke dalam kepenuhan natur kita yang sesungguhnya,dan menyembah Dia yang telah menciptakan kita untuk selama-lamanya. Alih-alih merasa panik dengan singkatnya hari-hari hidup kita, kita dapat bersandar pada pemahaman bahwa Tuhan tak pernah tergesa-gesa. Tozer lagi-lagi mengungkapkannya dengan baik: “Tidak ada tenggat waktu dalam semua yang harus Dia kerjakan. Hanya dengan memahami ini saja roh kita akan menjadi tenang teduh dan saraf-saraf kita menjadi rileks. Bagi orang di luar Kristus, waktu adalah ibarat binatang buas yang menelan dengan lahap; di hadapan anak-anak dunia ciptaan baru yang meringkuk, mendengkur dan menjilati tangan mereka.”
Kita yang mengerti bahwa Tuhan hadir dalam setiap aspek hidup kita dapat berpegang sekaligus pada dua realitas yang tampaknya bertentangan di pikiran kita: kefanaan dan kekekalan.Tetapi alih-alih menghukum kita dengan ketidaksesuaian kognitif seumur hidup kita, Tuhan memberi kita pemahaman tentang kebenaran yang lebih dalam. Ahli filsafat Yunani Heraclitus menyebutnya “penyatuan hal-hal yang bertentangan.” Teorinyapada dasarnya adalahseperti ini: Hal-hal yang bertentangan (seperti malam dan siang, atau panas dan dingin) saling berhubungan dan tak dapat dipisahkan. Mereka saling bergantung terhadap satu sama lain dalam menunjukkan identitasnya, dan kita dapat memahami yang satu oleh karena yang lainnya.
Kita tahu apa itu terang karena kita mengerti gelap, lawannya. Hal yang sama berlaku tentang kematian. Karena kita tahu bahwa hidup yang berkelimpahan itu ada di dalam Kristus (Yohanes 10:9-10), kita juga memiliki pengertian yang lebih sehat dan jujur tentang akhir kehidupan dan detak-detak waktu yang mengantarnya kepada kita. Waktu bukanlah untuk kita kendalikan; hal yang bodoh jika kita berpikir dapat melakukan hal itu. Menyadari hal ini, kita bisa memiliki sikap rendah hati yang melepaskan kepalan tinju kita. Kita menghentikan perjuangan kita yang tak ada habisnya dan menerima akhir kita – dengan menyadari setiap waktu bahwa, bagi orang yang ada di dalam Kristus, akhir itu juga merupakan awal dari dunia yang tanpa akhir. Amin dan amin.