Di Mana Yesus Saat Pandemi Covid-19?
(Ashley Hales)
Krisis dunia saat ini sudah mengacaukan arah hidup kita, tetapi Yesus selalu besertakita, dan memimpin langkah hidup kita.
Dimulai dengan tisu toilet yang menghilang dari rak-rak, dan sekarang, berbulan-bulan setelah pandemi COVID-19 melanda pantai Amerika, dan dunia, kita seperti hidup dalam bioskop profetik. Rumah sakit- rumah sakit sementara didirikan di tempat-tempat yang tidak biasa, dan Dompet-dompet Kemanusiaan dibuka di mana-mana. Saya menulis surel kepada teman-teman saya di New York untuk menanyakan kabar mereka,apakah mereka masih bisa bernapas dengan nyaman. Tidak ada yang lain di kalender-kalender kita kecuali beberapa tindakan yang menjadi acuan: menjalani kehidupan sehari-hari dengan protokol kesehatan, berdoa dengan keluarga jemaat, berelasi via Zoom dengan teman-teman kampus.
Kita merasakan kematian. Kecemasan menyelinap atau melanda diri kita seperti gelombang. Di negara Barat, kami merasaseperti dilucuti, tak berdaya dan bingung di tengah keganasan realitas baru ini. Situasi budaya kita di tengah pandemi COVID-19 ini bagaikan situasi di padang gurun dunia.
Situasi di padang gurun, yang membuat kita dapat melihat dan merasakan kematian, juga dapat menjadi tempat Tuhan menjumpai kita. Pada masa yang membingungkan ini, kita bisa merasa ditinggalkan, sendirian dan dilupakan Tuhan. Pandemi ini rasanya terlalu berat. Bahkan di saat kita mengalami kehilangan, kecemasan atau penderitaan kita sendiri, kitajuga meratapi situasi-situasi orang lain yang mengalami kemiskinan atau pemindahan—orang-orang yang tampaknya tak pernah bisa tiba di “negeri perjanjian” mereka sendiri. Apa yang kita harus lakukan sebagai orang Kristen dengan begitu banyaknya penderitaan, ketidakadilan, dosa, dan kematian?
Tempat di padang gurun dalam cerita Alkitab tak pernah sekadar menjadi tempat pembuangan. Ketika Hagar melarikan diri karena melecehkan majikannya, Sarah, ia bertemu Tuhan di padang gurun, yang disebutnya “El-Roi” yang artinya: “Tuhan yang melihat aku” (Kejadian 16:13). Ketika bangsa Israel dibebaskan dari perbudakan di Mesir, mereka mengembara di padang gurun-padang gurun yang menguji dan mengarahkan kembali hati mereka kepada Tuhan. Di padang gurun itu, mereka tetap dipelihara sekalipun sumber-sumber daya mereka terbatas (Keluaran 15-16).
Di masa-masa seperti yang kita alami sekarang ini, kita mendapati diri kita dilucuti dari berbagai kenyamanan, dari segalabentuk pengendalian yang salah, dan kesalahpahaman-kesalahpahaman lain yang kita miliki tentang kemandirian dari Tuhan. Di sinilah kita mendapat kesempatan untuk mengenal Tuhan yang memakai kuasa-Nya untuk kebaikan umat-Nya – Tuhan yang mengurung kita, dengan tiang awan dan tiang api.
Kuasa Injil
Meskipun kita menggunakan kata-kata sepertimahakuasa untuk berbicara tentang Tuhan, kita melihat bukti kehancuran dunia di mana-mana: kurangnya tes-tesuntuk pelacakan COVID-19 dan perawatan medis di negara-negara dan wilayah-wilayah miskin; orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal dan dipenjara hampir atau sama sekali tidak memiliki penolong untuk merawat diri sendiri; dan bahkan di antara kita yang memiliki pekerjaan yang mapan pun bergumul dengan kekhawatiran akan persediaan yang menipis atau kemungkinan kehilangan pekerjaan. Akan jadi apa dunia kita saat ini?
Padang gurun menunjukkan pada kita bahwa kuasa Injil selalu memindahkan kita dari posisi terarah, bingung/tersesat dan terarah kembali. Kita ingin melompati padang gurun yang membingungkan seperti saat ini, sehingga kita mungkin mengalihkan diri kita pada kesenangan, atau makanan tertentu, karena kita tidak tahu bagaimana beranjak dari kehilangan, keluhan dan kesedihan. Tetapi kebingungan bukanlah akhir. Waktu Yesus sendiri dicobai di padang gurun, Dia dibawa ke atas gunung yang tinggi dan diminta menyembah Iblis – untuk melihat kuasa sebagai hal yang bisa dicapai tanpa kehilangan. Seperti pencobaan Yesus, pencobaan kita juga selalu ingin melompati penderitaan, untuk mendapatkan kehidupan yang baik tanpa penderitaan.
Saya jadi terdorong untuk mengajukan beberapa pertanyaan ini pada diri sendiri:
Dapatkah aku bertumbuh tanpa penderitaan? Apakah aku percaya Tuhan memakai kehilangan untuk membuatku makin seperti Anak-Nya? Apakah pandemi ini akanmengarahkan kembali kepercayaanku pada kuasa Tuhan yang baik dan penuh kasih?
Cara saya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dan pertanyaan senadasangat berkaitan dengan bagaimana masa yang menyusahkan inimembentuk saya – saat ini maupun dalam bulan-bulan dan tahun-tahun mendatang, dengan apa pun yang dilakukannya.
Undangan untuk ke padang gurun
Mengingat kisah bangsa Israel pada waktu lalu, kita mungkin juga bertanya-tanya, apakah Tuhan membawa kita ke padang gurun untuk membuang dan membunuh kita (Bilangan 20:4). Tetapi kisah mereka menunjukkan bahwa Tuhan bermaksud menjadikan padang gurun sebagai tempat untuk menyelamatkan. Dalam bukunya yang berjudul A Beautiful Disaster, Marlena Graves menulis, “Dia membawa kita ke sana untuk menyelamatkan kita, untuk menunjukkan kuasa-Nya pada kita, untuk memberikan penghiburan-Nya, dan untuk mematikan apa pun dalam diri kita yang bukan dari Dia.” Kita tentu saja tidak percaya bahwa Tuhan yang menimbulkan virus ini atau menghendaki terjadinya pandemi ini. Tetapi, seperti halnya dalam semua pencobaan yang kita alami, Dia dapat memakai semua pengalaman ini untuk menguduskan kita dan membawa kita lebih dekat kepada-Nya. Padang gurun akan lebih dapat menarik kita kepada kisah tentang Tuhan yang baik, atau membuat kita berbalik dari mencari kerajaan-kerajaan yang dapat kita kendalikan sendiri.
Pada saat-saat seperti ini, saat kita dipangkasmelalui padang gurun ini, kita melihat perasaan stabilitas dan keinginan mengendalikan kita meningkat. Tetapi kita memiliki undangan: Apakah kita, seperti dikatakanAndy Crouch, “akan membukadiri kita untuk kehilangan yang bermakna – untuk menjadi rentan, atau dapat terluka di dunia?” Bisa jadi Tuhan hanya dapat memakai hal-hal yang dapat terluka.
Hidup berkelimpahan dalam Kristus dibentuk di tempat-tempat yang tandus. Padang gurun – entah dalam arti sesungguhnya atau kiasan – meliputi pelucutan segala sesuatu sampai yangtersisa hanyalahyang benar-benar penting. Di padang gurunlah tempat Yesus menghadapi pencobaan Iblis, dan dengan melalui pencobaan itu, Dia menang atas pencobaan-pencobaan yang gagal dihadapi umat-Nya dalam pencobaan-pencobaan di padang gurun mereka sendiri. Ini berarti, bahkan pada saat kita diarahkan kembali kepada Tuhan, bahkan ketika kita menolak proses itusendiri (memilih untuk kembali tidak peka, melarikan diri, atau berusaha mengendalikan), Yesus lebih dari sekadar menjadi contoh bagi kita: Dia menang atas pencobaan untuk kemuliaan. Dia menanggung siksa salib. Dia bangkit kembali untuk kehidupan baru – semuanya untuk kepentingan kita.
Ini berarti, ketika kita terbangun di ranjang kecemasan yang dibasahi keringat, ketika kita berusaha membuat dirikita mati rasa dengan berbagai macam cara, ketika kita merasa tertekan dan tak berdaya dalam pergumulan dunia saat ini yang semakin berat dari hari ke hari, kita dapat memilih untuk bersandar pada Kristus. Bahkan di tengah pandemi kesehatan dunia saat ini, Yesus – yang juga kita sebut Imanuel, yang artinya “Tuhan beserta kita” —hidup sesuai dengan nama-Nya.