Untuk Mengetahui Isi Hati Anda

(Joshua Ryan Butler)

Ketika Tuhan membiarkan iman Anda diuji, Dia sedang mencari yang jauh lebih penting dari yang Anda tampilkan.

Tepat sebelum Yesus memulai pelayanan-Nya, Roh Tuhan membawa-Nya ke padang gurun untuk dicobai (Lukas 4:1). Di sana Yesus berpuasa 40 hari 40 malam, dan kemudian Iblis datang untuk mencobai Dia. Tunggu sebentar: Apakah ini terdengar familiar? Empat puluh hari di padang gurun? Pencobaan?Apakah ada kemiripannya dengan kisah lain yang Anda kenal?

Pencobaan Yesus menunjukkan masa di padang gurun bangsa Israel kuno, dan situasi itu merupakan terobosan yang sangat baik untuk mengurai sifat pencobaan dalam Alkitab. Kata Ibrani untuk “pencobaan” adalahnissah, istilah yang memiliki akar kata yang sama dengan kata “keajaiban” atau “panji-panji.” (Bagaimanapun, pencobaan dapat menjadi pembangun-karakter yang memaksa kita menaikkan panji-panji iman kita dan memandang Tuhan untuk mendapatkan kelepasan yang ajaib). Kata Yunaninya adalahpeirázō, dan para penulis Yunani seperti Homer dan Apolonius dari Rhodes sering memakainya untuk merujuk pada pengujian atau pembuktian sesuatu. Namun, perlu dimengerti bahwa istilah ini tidak selalu sama untuk semuanya. Ketika Yesus mencobai/menguji kita, hal itu baik, tetapi ketika kita mencobai Tuhan, konotasinya negatif.

Penelitian yang lebih dalam terhadap kata-kata Alkitab ini menunjukkan hal yang penting: Tuhan tidak hanya peduli pada perilaku kita, tetapi juga pada keadaan hati kita.

Dia berhasil ketika kita gagal

Musa menjelaskan bahwa Tuhan mencobai bangsa Israel untuk menyingkapkan isi hatimereka, yaitu, untuk menunjukkan apakah mereka berpegang pada perintah-Nya atau tidak (Ulangan 8:2). Dengan cara yang sama, pencobaan Yesus di padang gurun juga membuat kita mengerti tentang isi hati Yesus sebagai Juru Selamat kita.

Pencobaan Yesus yang pertama menyangkut makanan. Matius 4:2 mengatakan bahwa, setelah berpuasa 40 hari 40 malam, Yesus merasa lapar. Hal inisama seperti mengatakan, “Setelah berenang selama satu jam, ia basah.”Hal yang menyatakan sesuatu yang sudah jelas — siapa pun yang berpuasa selama 40 hari pasti akan kelaparan, secara harfiah. Tetapi kelaparan Yesus menegaskan sesuatu yang penting: kemanusiaan-Nya. Dia memahami kelaparan kita karena Dia sendiri mengalaminya dalam daging kemanusiaan-Nya. Dia benar-benar menanggung beban kita.

Iblis mencobai-Nya dengan berkata, “Perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti.” Bayangkan betapa laparnya Yesus saat itu. Jika Anda berada dalam situasi itu, tawaran itu begitu menggiurkan. Namun Juru Selamat kita menyikapinya bukan dengan menyerah kepada daging, tetapi dengan mengutip ayat Kitab Suci: “Manusia tidak hidup dari roti saja” (Matius 4:4). Di sini Yesus tidak mengutip sembarang ayat, tetapi perkataan Musa kepada bangsa Israel, ketika bangsa itu berseru kepada Tuhan dalam kelaparan. Pada saat mereka mengalami kelaparan itu, mereka bersungut-sungut, mengeluh dan berharap masih tinggal di Mesir saja. Tuhan tetap memberikan manna, tetapi kegagalan mereka terungkap, bahwa, di dalam hati mereka, mereka tidak percaya kepada Tuhan.             Demikian pula, dalam pencobaan-pencobaan selanjutnya, Yesus dicobai dengan kerajaan-kerajaan dunia dan dengan kesempatan untuk membuktikan identitas-Nya sebagai Anak Tuhan. Namun Dia juga menyikapi pencobaan-pencobaan ini dengan mengutip kitab Ulangan, dan menyebutkan dua peristiwa besar lagi ketika bangsa Israel gagal (Ulangan 8:3, 6:13, 6:16). Kutipan-kutipan ini menarik kembali umat-Nya ke dalam situasi itu, dan menunjukkan bahwa Juru Selamat mendapat nilai A+ dalam ujian yang mereka gagal.

Yesus berhasil ketika kita gagal. Kita semua sudah tidak percaya pada Tuhan dan langsung lari ketika menghadapi masalah, seperti bangsa Israel dan juga Adam dan Hawa ketika diuji dengan pohon di taman Eden. Yesus berhasil bukan supaya Dia dapat mengajar kita atau menjentikkan jari-Nya di muka kita, tetapi untuk menebus dan menyelamatkan kita dengan kasih.

Apa yang ada di hati Anda?

Salah satu tujuan ujian/pencobaan adalah untuk menunjukkan keadaanhati kita di hadapan Tuhan. “Ujilah dirimu sendiri,” kata Paulus, “Apakah kamu tetap tegak di dalam iman. Selidikilah dirimu!” (2 Korintus 13:5). Ujian menarik kembali penutup tulang rusuk untuk menyingkapkanapa yang ada di hati kita.

Hal ini ibarat memastikan, sebelum pergi ke medan perang, bahwa Anda sudah siap berperang. Ingat ketika Daud tidak mau memakai baju perang Saul karena ia belum pernah mencobanya? (1 Samuel 17:39). Pada zaman itu belum ada rompi Kevlar. Baju zirah besi adalah satu-satunya pakaian yang ada untuk menghadapi ujung pedang. Jadi, jika Anda hendak mengenakan sesuatu untuk pergi ke medan perang, Anda harus yakin hal itu tepat dan membuat Anda bisa bergerak bebas. Tuhan dapat mencobai kita untuk membuat kita siap-berperang menghadapi berbagai tantangan yang datang.

Dokimazo, kata Yunani lain yang berhubungan dengan karakter, sangat penting di sini, karena akar kata itu berbicara tentang diuji melalui pencobaan (Roma 5:4; 1 Korintus 3:13; Yakobus 1:2-3). Sebagai contohnya, mata uang zaman dahulu harus diuji dulu untuk membuktikan apakah uang itu asli atau palsu. Demikian pula, Tuhan memakai ujian untuk menyingkapkan ketangguhan karakter kita, dan dengan demikian, pencobaan dapat menyingkapkan keadaan hati kita yang sebenarnya.

Kisah Abraham danIshak dapatmakin menjelaskan pemahaman tentang ujian ini. “Setelah semuanya itu,Tuhan mencobai Abraham” (Kejadian 22:1).Perkataan “setelah semuanya itu” menunjukkanada hal yang sangat penting dan perlu diperhatikan. Abraham baru saja gagal memercayai Tuhan dalam beberapa hal penting. Namun saat itu ia mendapat kesempatan lagi untuk membuktikan kepercayaannya kepada Tuhan: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu” (Kejadian 22:2). Iniserius. Abraham mengasihi anaknya, anak yang merupakan penggenapan janji Tuhan, jadi ada banyak hal yang bisa menghalanginya di sini. Tetapi Abraham tidak terhalang; ia memercayai Tuhan dengan hal yang paling berharga dalam hidupnya.

Api penyucian

Tuhan memakai pencobaan bukan saja untuk memurnikan umat-Nya, tetapi juga untuk menyingkapkan kejahatan orang-orang yang menentang-Nya. Sebagaimana kita baca di Daniel 12:10,“Banyak orang akan disucikan dan dimurnikan dan diuji, tetapi orang-orang fasik akan berlaku fasik; tidak seorangpun dari orang fasik itu akan memahaminya, tetapi orang-orang bijaksana akan memahaminya.” Itu sebabnya ketika kita tahu Tuhan sedang bekerja, kita dapat “menganggapnya sebagai suatu kebahagiaan,” karena ada janji bagi orang yang bertekun:“Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Tuhan kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yakobus 1:2,12).

Dan bahkan ketika kita gagal dan jatuh ke dalam pencobaan, kita dapat datang pada Yesus. Karena Dia adalah Imam Besar kita yang “sama seperti kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.” Sehingga, seperti diingatkan penulis surat Ibrani, Tuhan dapat memahami segala kelemahan kita. Sebab itu, kita dapat “dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya” (Ibrani 4:15-16).

Yesus lebih dari sekadar teladan untuk diikuti; Dia adalah Juru Selamat untuk dipercayai. Yesus sudah melalui pencobaan dengan sempurna, mengasihi Bapa dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan, bahkan sampai mati – menyelesaikan ujian yang kita sudah gagal agar kita dapat dipersatukan dengan-Nya untuk selama-lamanya. Dengan kuasa Roh-Nya, Dia sekarang membentuk dan mengubah hidup kita – juga melalui pencobaan dan penderitaan – agar kita menjadi orang yang mengasihi dan memercayai Tuhan dengan sempurna juga.