Siapa Diriku Tanpa Hal Ini?
(Jamie A. Hughes)
Hasrat saya akan pengetahuan diperkaya jika dipadukan dengan kasih kepada Tuhan.
Dalam suatu perjalanan ke pegunungan High Sierra di California, saya disadarkan oleh sesuatu: Hewan-hewan yang mengangkut barang-barang perlengkapan kami tidak bisa melepaskan diri dari beban-beban yang ada di punggungnya itu. Karena tidak dapat menjangkau beban berat itu, mereka bergantung pada orang lain untuk menyingkirkan beban-beban itu.
“Ini juga berlaku pada kita ketika kita memikul beban berat emosional kita. Kita tak dapat melepaskannya sendiri; atau membuatnya hilang seiring berjalannya waktu. Lagipula, kemerdekaan sejati hanya mungkin terjadi melalui Yesus. Mengapa? Karena kita tidak dapat menjangkau beban-beban kita dan seringkali tidak mengerti betapa berat beban itu. Tetapi Yesus dapat. Dan Dia tahu cara terbaik untuk memulihkan kita sepenuhnya.”
Saya akui, saya senang sekolah. Jika tergantung pada saya, saya tidak akan pernah meninggalkan kampus. Saya akan tinggal di ruang belajar perpustakaan, meneliti topik-topik di antara jam-jam kuliah, makan malam dengan orang-orang brilian, dan menjadi tua sambil tetap berjalan di antara pohon-pohon ek yang menjulang tinggi dan gedung-gedung bangunan megah.
Meskipun saya tidak dapat mewujudkan mimpi ini, saya tetap mengejar pengetahuan dengan rajin, karena melakukan hal itu adalah kesenangan yang murni. Tidak ada yang lebih baik daripada mengisi celah dalam pemahaman sejarah saya, menemukan etimologi dari kata yang sangat disukai, atau mengupas keindahan sebuah karya sastra klasik. Tetapi saya melakukan semuanya ini demi kesenangan semata. Beginilah cara Tuhan merancang saya, dan sekarang saya tahu bahwa belajar – dengan cara yang masih tidak sepenuhnya saya mengerti – adalah sebuah tindakan penyembahan.
Namun tidak selalu seperti ini.
Ketika saya masih jauh lebih muda, saya mendapatkan rasa berharga saya dari belajar. Nilai-nilai saya bukan sekadar tanda kesuksesan, nilai-nilai itu adalah cara saya memandang keberhargaan diri saya. Saya berharga karena saya adalah siswa dengan nilai A, yang selalu menjadi yang teratas di kelas. Saya seperti hewan-hewan pengangkut yang dibicarakan Dr. Stanley— yang memikul beban berat berbagai dorongan dan harapan-harapan saya sendiri yang tidak realistis. Saya tidak dapat meletakkannya, dan sejujurnya, saya tidak ingin melepaskannya. Siapa jadinya saya tanpa semua hal itu, tanpa segala bintang emas, penghargaan, dan surat-surat rekomendasi itu?
Syukurlah, Song of Solomon (Kidung Agung) karya Toni Morrison kembali ke dalam hidup saya pada tahun terakhir saya di pascasarjana. Ketika saya membacanya untuk ketiga kalinya dan berhasil meluncurkan tulisan hebat lainnya, sesuatu dalam jiwa saya berbisik, kamu tahu isi setiap halaman karya agungmu ini, tetapi kamu tidak tahu apa isi kitab dengan nama yang sama di dalam Alkitab.
Maka, saya pun meletakkan buku-buku kuliah saya, membuka Perjanjian Lama, dan mulai membaca. Saya menghabiskan waktu bersama Dia dengan jiwa yang mengasihi dan bersukaria dalam kemewahan kasih dan pemeliharaan-Nya. Melalui delapan pasal kitab yang pendek itu, Yesus memulai proses panjang yang membawa saya kembali kepada-Nya dan, pada waktunya, membebaskan saya dari beban emosional yang selama ini saya pikul—beban berat harapan-harapan dan kesuksesan yang sekian lama sudah saya ikatkan di punggung saya yang memar.
Saya masih mempelajari Firman-Nya di samping novel, esai, sejarah, dan buku-buku teologi yang mengobarkan semangat saya untuk belajar, dan saya tahu saya tidak perlu membeda-bedakannya. Informasi yang didapat dari yang satu akan melengkapi informasi dari yang lain. Karena saya sudah memulai dengan satu kitab Alkitab yang pendek itu, seluruh kecintaan saya akhirnya kembali, dan bersyukur, saya sekarang benar-benar bebas untuk memiliki hasrat belajar karena saya mengasihi Seorang yang lain terlebih dulu dan terutama.