Dipanggil Dari Ketakutan
(Kayla Yiu)
Tuhan tidak memberi kita roh ketakutan tetapi roh kasih dan akal sehat.
Tahukah Anda bahwa beberapa versi perkataan “Jangan takut” muncul lebih dari 300 kali dalam Alkitab? Secara kebetulan, angkanya hampir sama dengan jumlah hari dalam setahun, yang berarti setiap hari ada perkataan “Jangan takut” yang disampaikan. Namun, meskipun saya bersyukur atas bimbingan dan jaminan Tuhan yang terus-menerus ini, sayangnya hal itu tidak selalu menolong. Ketakutan dan kecemasan seringkali melanda saya secara refleks.
Yang sungguh dapat menolong adalah mengganti ketakutan itu dengan suatu hal lain. Strategi ini biasanya digunakan orang untuk menghentikan kebiasaan tertentu, seperti menggigit kuku, mengecek Fesbuk, atau bahkan merokok. Jika perilaku-perilaku ini terjadi pada saat kita merasa bosan atau tertekan, maka untuk menghentikannya diperlukan suatu pengganti kegiatan yang dilakukan pada saat kebosanan dan tekanan yang tak terelakkan itu datang lagi. Mungkin Anda bisa memutuskan untuk memilih buku ketimbang ponsel, atau mengambil cat kuku ketika Anda mulai menggigiti kuku Anda.
Prinsip ini dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan – termasuk dalam perjalanan kita dengan Tuhan. Waktu dan energi apa pun yang sudah kita gunakan untuk mengipasi api ketakutan perlu dialihkan jika kita benar-benar ingin mengatasi kesedihan. Lalu, ke mana kita harus mengalihkan fokus kita. Menurut Dr. Stanley dalam surat penggembalaannya “From the Pastor’Heart” pada bulan Juli 2018,
Kita harus menyikapi dengan keberanian. Serangan teroris dan penembakan besar-besaran secara alami menimbulkan ketakutan. Bagi orang yang tidak mengenal Kristus, hal ini bisa sangat menakutkan, tetapi orang Kristen memiliki kepercayaan diri yang melampaui segala situasi. Mazmur 56:4-5 berkata, “Waktu aku takut, aku ini percaya kepada-Mu; kepada Engkau, yang firman-Nya kupuji, kepada Engkau aku percaya, aku tidak takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?”
Kita juga harus menyikapi dengan belas kasihan. Ketika kita mendengar tentang kekejian yang dilakukan pada manusia, hati kita harus tergerak dengan rasa simpati. Ciri karakter ini sangat esensial dalam diri siapa pun yang menjadi pengikut Yesus. Perhatikan respons Yesus di Matius 9:36: “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala.”
Kita mungkin tergoda untuk menarik diri dalam ketakutan ketika kita melihat dunia menjadi tempat yang makin berbahaya, tetapi inilah waktunya bagi orang Kristen untuk menjadi garam dan terang di dunia yang gelap.
Ketika Tuhan memanggil kita keluar dari ketakutan, Dia memanggil kita kepada keberanian dan belas kasihan—namun bukan demi bintang lencana emas di samping nama kita. Ketika kita menyikapi hal-hal yang menakutkan dengan keberanian, empati dan kebaikan, kita menemukan diri yang Tuhan ciptakan sebagai kita. Inilah gambaran sekilas tentang identitas sejati kita – manusia yang diciptakan menurut gambar-Nya. Seperti mazmur Daud yang menantang kita untuk mengecap dan melihat (Mazmur 34:8), Tuhan berjanji bahwa jika kita cukup berani untuk bukan saja berbalik dari ketakutan tetapi juga melangkah kepada keberanian dan belas kasihan, jalan-Nya akan terbukti lebih memuaskan dari yang pernah kita bayangkan.
Orang Samaria yang Murah Hati menjadi pengingat yang nyata dan abadi tentang pertukaran ini (Lukas 10:30-37). Andaikata saya adalah orang yang melewati jalan itu, yang melihat seseorang dari kalangan sosial dan budaya yang berbeda dirampok habis-habisan, terluka parah dan setengah pingsan, saya kira reaksi saya juga akan merasa ngeri dan menghindar. Saya mengkhawatirkannya tetapi saya juga takut pada yang risiko yang mungkin terjadi pada saya jika saya memberi perhatian padanya. Tetapi sebagaimana yang sudah sering kita dengar, yang dilakukan Orang Samaria itu tidak begitu. Ia menyikapi dengan berani dan murah hati, merunduk untuk merawat luka-luka orang itu dan menanggung biaya perawatannya sampai kembali sembuh.
Yang menarik, Yesus menceritakan kisah ini sebagai respons terhadap seorang ahli Taurat yang bertanya tentang bagaimana memperoleh hidup yang kekal, “Perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup” (Lukas 10:25-29). Hidup yang sesungguhnya – bukan hanya hidup setelah kematian, tetapi hidup berkelimpahan yang sesungguhnya di bumi ini – dialami dengan melakukan keberanian dan belas kasihan di dunia. Harapan saya, rasa takut akan menjadi semacam sinyal internal. Sebuah dorongan untuk bertanya pada diri sendiri bagaimana ketakutan saya terlihat di mata orang-orang yang tanpa Juru Selamat dan respons belas kasihan seperti apa yang bisa dilihat sebagai gantinya. Saya berharap momen ini menjadi kesempatan saya untuk tergerak menerima identitas sejati saya dalam Kristus dan menjadi garam dan terang di dunia yang menakutkan.