Saat Pertama Saya Ingin Meninggalkan Moskow
(Tim Rhodes)
Kehidupan misionaris dapat menyulitkan jiwa seseorang — dan sendi-sendi tubuhnya.
Langit cerah dan udara dingin yang menusuk menyambut saya ketika saya melangkah ke luar dari apartemen. Saat itu bulan November di Moskow — hawanya dingin tetapi tidak sedingin musim dingin pada umumnya di Rusia. Saya dan istri sudah datang untuk melayani sebagai misionaris. Dan setelah tinggal di negara ini selama sekitar setengah tahun, kami masih saja mengalami kesulitan dalam belajar bahasa dan menjelajahi wilayah metropolitan terbesar di Eropa ini. Kami juga masih belajar tentang cara berpakaian di berbagai musim. Pada musim seperti ini di Amerika, saya mungkin akan mengenakan pakaian tebal. Tetapi dalam rangka penyesuaian diri saya yang berangsur-angsur dengan iklim di tempat baru ini, saya pikir saya akan baik-baik saja dengan memakai jaket tipis.
Sebulan sekali, saya pergi ke luar kota untuk membayar sendiri tagihan-tagihan rumahtangga kami. Sebuah perjalanan yang selalu menguji mantra saya bahwa “perjalanan adalah tujuan.” Meskipun sistem transportasi umum di Moskow terkenal di dunia, tidak ada cara mudah untuk sampai ke lokasi khusus ini. Saya harus naik kereta bawah tanah, yang perlu beberapa kali ganti jalur dan kemudian berjalan kaki, atau naik bus dengan rute yang panjang, yang menghabiskan waktu saya berjam-jam sepanjang hari itu. Saya kebanyakan memilih naik bus, dengan membawa satu dua buku untuk dibaca selama perjalanan.
Akhirnya saya tiba di kantor itu dan melakukan pembayaran yang diperlukan, tetapi kemudian saya melihat perubahan cuaca di luar jendela lobi. Langit kini berwarna kelabu dan mendung, dengan salju yang berhamburan ditiup angin. Pada awalnya hati saya melonjak gembira. Sebagai orang yang berasal dari tenggara Amerika, saya tidak biasa melihat salju, dan hujan salju yang paling ringan pun akan mengingatkan saya pada pengalaman masa kecil yang menyenangkan, sekalipun hal itu jarang sekali terjadi. Tetapi kemudian saya menyadari problema saya—pakaian saya sangat tidak mendukung dan saya jauh dari apartemen.
Sembari mencari-cari kartu bus di saku, saya melangkah menuju jalan raya. Ketika tiba di halte bus, saya baru sadar bahwa kartu saya bukan saja sudah kosong, tetapi saya juga sudah menyerahkan semua uang yang ada untuk membayar rekening-rekening. Satu-satunya yang masih dapat saya lakukan agar bisa pulang adalah ke stasiun kereta, yang jauhnya sekitar 1,6 kilometer.
Kaki saya yang kurang pengalaman tidak siap menghadapi es dan salju. Setiap langkah adalah sebuah lompatan iman, dan perjalanan ke stasiun kereta Tulskaya itu merupakan perjalanan terlama dan terberat dalam hidup saya. Tubuh saya memar-memar secara memalukan karena tersandung dan tergelincir, sementara semua orang lain – anak-anak, para lanjut usia, anjing-anjing berkalung tali – praktis meluncur dengan mulus di sekitar saya.
Pada akhirnya, saya sampai juga di apartemen, dengan terpincang-pincang dan sebagian tubuh serasa beku. Sebelum saya sempat menarik napas lega, istri saya berteriak, “Kamu sudah pulang! Kita harus berangkat sekarang, sebab kalau tidak, kita akan terlambat untuk makan malam!” Hal yang sungguh paling tidak saya inginkan saat itu adalah kembali mengarungi cuaca yang sangat dingin, meskipun itu berarti saya akan kehilangan kesempatan untuk bertemu teman-teman.
Ketika saya akhirnya kembali ke halte bus bersama Beth, saya lagi-lagi tergelincir di atas es. Tetapi kali ini saya tidak berusaha untuk tidak jatuh. Saya membiarkan saja diri saya terjerembab di trotoar, ambruk seperti dalam film gerakan lambat. Badai salju pertama di Moskow telah menang. Beth, yang berdiri di samping saya, berbisik, “Tim, bangun. Kamu menghalangi!” Gerombolan orang Moskow terus saja melanjutkan perjalanan mereka, melangkah di sekitar tubuh saya yang meringkuk. Sebagian besar bahkan tidak menoleh ketika saya tergeletak di sana, kalah.
Itulah saat pertama saya ingin meninggalkan Moskow. Bukan saat yang penuh siksaan psikologis atau gegar budaya. Hanya saat ketika situasi-situasi di kota itu benar-benar mengalahkan saya, dalam arti yang sebenarnya. Ada saatnya ketika saya mempertanyakan mengapa saya ada di sana, dari perspektif misiologi. Saya mempertanyakan tujuan saya dan apakah saya sedang melakukan hal yang benar. Tetapi ada juga saatnya ketika saya benar-benar berjuang untuk tetap berdiri – dalam arti sebenarnya – di atas kedua kaki saya sendiri.
Dalam khotbah yang berjudul “Strength for All Times” (Kekuatan di Setiap Waktu), Dr. Stanley memberikan pengingat yang penting:
Semua yang dikatakan Paulus tentang kepuasan, semua yang dikatakannya tentang kekuatan, dan semua yang ia katakan tentang pemenuhan, dibungkus dengan fakta bahwa jika Yesus Kristus adalah hidup kita … kita akan menyadari bahwa segala pemenuhan, kepuasan, energi, semangat, kekuatan dan semua yang kita perlukan, bukan berada “di luar sana” tetapi di dalam diri kita sendiri, siap diluncurkan dengan hikmat dan kasih karunia Tuhan. Jadi… kita harus bekerja dengan kekuatan Tuhan Yang Mahakuasa sendiri, yang selalu sangat berkuasa.
Pada saat saya memasuki apartemen teman-teman dan melihat wajah mereka yang ramah dan bersemangat, segala luka memar, terpeleset, terjatuh terasa terbayar lunas. Melalui kasih dan kemurahan hati orang lain, saya dapat melihat gambar Kristus, yang memperbarui dan menguatkan saya kembali pada saat yang paling saya butuhkan. Sungguh pengingat yang berharga bahwa ketika hari-hari kita penuh kejatuhan – dalam berbagai arti kiasan maupun arti sebenarnya — pembaruan dan kepenuhan yang kita terima sebagai ciptaan baru dalam Kristus menolong kita untuk bangkit berdiri dan berjalan lagi, lebih dekat pada-Nya untuk menanggung segala penderitaan.