Penuh—Bukan Dipenuhi
(Jamie A. Hughes)
Dalam hal relasi kita dengan Tuhan, lebih sedikit/sederhana itu lebih baik.
Sekitar dua puluh tahun yang lalu, saya mendapat nasihat terbaik yang pernah saya terima dalam hal menyunting: Jika ragu-ragu, singkirkan saja. Saya tahu, saya tahu. Kedengarannya mudah, tetapi kata-kata itu merevolusi cara saya bekerja dan memikirkan kalimat-kalimat. Dosen saya sedang berusaha menyampaikan inti pesannya—bahwa terkadang lebih sedikit/sederhana itu akan lebih baik dalam merangkai kata-kata dan bahwa untuk membuat suatu paragraf (atau bahkan seluruh tulisan) lebih berdampak adalah dengan menyingkirkan setiap potongan teks yang menghalangi.
Hal yang sama, saya kira, bisa terjadi dalam kehidupan rohani kita.
Dalam tulisan klasiknya yang berjudul The Pursuit of God, A. W. Tozer berkata, “Ketika agama sudah menyampaikan kata akhirnya, tidak banyak yang kita perlukan selain Tuhan sendiri. Kebiasaan buruk dari “mencari Tuhan dan…” secara efektif menghalangi kita untuk menemukan Dia dalam pewahyuan sepenuhnya. Di dalam “dan…” ini terletak bahaya besar kita. Jika kita menghilangkan “dan…” itu, kita akan segera menemukan Tuhan, dan di dalam Dia kita akan menemukan yang secara diam-diam sudah selalu kita rindukan sepanjang hidup kita.”
Tidak ada kekurangan “dan…” untuk dipilih sekarang ini, banyak di antaranya yang merupakan hal yang sangat baik: pendalaman Alkitab, kelompok kecil, kesempatan menjadi sukarelawan di gereja dan komunitas, seminar, kepanitiaan, diskusi tentang doktrin – yang daftarnya hampir tak ada habisnya. Tetapi Tozer benar—“di dalam ‘dan…’ ini terletak bahaya besar kita.”
Saya tidak tahu bagaimana dengan Anda, tetapi saya kadang meninggalkan gereja dengan perasaan lebih lelah dan jenuh daripada ketika saya datang. Hari Minggu bersama anak-anak cukup menegangkan, sementara suami saya seringkali sibuk dengan tugas-tugas diaken yang diserahkan padanya. Sebagai ketua komisi wanita, saya juga sering terusik. Menyembah Tuhan yang sesungguhnya, yang “pura-pura” kita lakukan di sana, kadang bisa terasa seperti perenungan. Dan, dengan sedih harus saya katakan bahwa kita tidak menjadi jauh lebih baik dari keenam hari lainnya dalam minggu itu.
Tidak mudah untuk berdiam diri di hadapan Tuhan ketika kita tidak bisa menata hati untuk duduk diam selama beberapa menit dan meneduhkan pikiran kita. Saya tahu kita tidak dapat melakukan hal ini dengan semua komitmen gereja kita, tetapi ada kebijakan untuk berkata “tidak” pada hal-hal tertentu, dalam rangka membuat keseimbangan antara doing (melakukan) dan being (menjadi). Bagaimanapun, Tuhan tidak menilai kita dari seberapa sibuknya kita bagi Dia.
Dr. Stanley membahas hal ini dalam khotbahnya yang berjudul “A Hunger and Thirst for God”:
Tidakkah membaca Alkitab itu sudah cukup? Tidak juga. Demikian juga dengan semua hal lain yang Anda lakukan. Kerinduan Tuhan adalah agar Anda dan saya mengenal Dia, bukan sekadar tahu bahwa Dia sudah menyelamatkan Anda, bahwa Anda memiliki rumah di surga. Dia ingin Anda mengenal Dia secara pribadi dan intim seperti seorang sahabat karib – sahabat yang Anda bisa merasa nyaman bersama-Nya setiap hari. Anda tidak perlu berusaha berkenan pada-Nya. Itulah relasi yang intim. Relasi persahabatan yang jauh melampaui yang dapat dipahami banyak orang.
Pikirkanlah relasi-relasi Anda yang paling intim dan paling memuaskan. Apakah Anda selamanya sibuk, selalu pergi, pergi dan pergi, atau bisakah Anda hanya bersama saja? Dapatkah Anda menikmati keheningan bersama yang terasa lebih intim daripada berbicara berhadapan muka? Itulah jenis kedekatan yang Tuhan ingin rasakan bersama kita, tetapi yang lebih sering terjadi, kita mengisi waktu dan tempat itu dengan begitu banyak kekacauan rohani. Dan ketika hati kita mulai sakit karena kesepian rasa terasing, kita tidak berhenti untuk bertanya pada diri sendiri mengapa bisa begitu. Kita tidak “menyingkirkannya.” Sebaliknya, kita sering menggandakannya, dengan berpikir Tuhan akan terasa lebih dekat, bahwa Dia akhirnya akan berkenan pada kita, jika kita memenuhi kalender kita dengan pekerjaan-pekerjaan yang kudus.
Padahal kebenarannya—Tuhan sudah berkenan pada kita. Dia berkenan dan sangat senang dengan kita. (Bacalah Mazmur 18:20, Mazmur 147:11, Mazmur 149:4). Dan apa pun yang mengalihkan kita dari kebenaran yang indah ini, betapa pun baiknya hal itu, harus disingkirkan. Mungkin, pada waktunya, akan ada tempat untuk hal-hal seperti itu lagi. Atau mungkin kita perlu meletakkan semuanya itu tanpa pernah mengambilnya lagi. Yang mana pun yang kita pilih dan lakukan, dengan tangan dan hati kita yang bebas, kita akan dapat mencintai dan dicintai dengan lebih tulus dari yang pernah bisa kita bayangkan.