Damai Seperti Sungai
(Charles F. Stanley)
Hal yang sangat dirindukan semua orang tetapi tidak banyak yang benar-benar mendapatkannya.
Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa damai sejahtera itu begitu sulit dicekal. Saya tidak berbicara tentang tidak adanya perang atau kerusuhan, tetapi tentang damai di hati yang mendatangkan rasa tenang dan sejahtera. Rasa tenang mudah dialami ketika segala sesuatu berjalan baik dan lancar, tetapi apa yang terjadi ketika dunia pribadi Anda runtuh? Apakah damai sejahtera itu dengan cepat menguap ketika situasi-situasi Anda berubah?
Yesus memberikan para pengikut-Nya jenis damai yang bertahan dalam situasi-situasi paling menantang: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu” (Yohanes 14:27). Jika Anda orang Kristen, Anda mungkin pernah merasakan damai yang tak dapat dijelaskan dalam suatu keadaan krisis, tetapi Anda mungkin bertanya-tanya mengapa Anda tidak dapat mengalami hal itu secara konsisten. Kita semua menginginkan hal itu terjadi secara otomatis, tetapi janji Yesus mengandung sebuah perintah – untuk tidak membiarkan hati kita menjadi gelisah atau takut. Damai-Nya memang diberikan secara cuma-cuma, tetapi cara kita bersikap sering menentukan apakah kita akan mengalami hal itu atau tidak.
Kata Yunani untuk “damai sejahtera” dalam Perjanjian Baru berasal dari kata kerja yang berarti “to join” (bergabung/terhubung/menyatu) dan itulah tepatnya yang terjadi. Melalui Kristus, tiga aspek yang terpisahkan oleh dosa telah dihubungkan dan dipersatukan. Kita dapat menggambarkan damai sejahtera Tuhan itu seperti sebuah bangku berkaki tiga.
Damai dengan Tuhan. Kaki pertama yang sangat penting adalah rekonsiliasi atau perdamaian dengan Tuhan. Kita semua lahir sebagai orang berdosa dan terpisah dari Tuhan, dan menurut Yesaya 48:22, “Tidak ada damai sejahtera bagi orang fasik.” Tetapi Tuhan telah mengambil inisiatif untuk membuat kita kembali berelasi dengan diri-Nya – dan Dia melakukannya dengan mengutus Anak-Nya, Yesus, untuk mati di kayu salib, untuk menanggung hukuman atas dosa-dosa kita. Jika kita percaya pada Kristus untuk pengampunan dosa dan rekonsiliasi ini, kita akan hidup dalam damai dengan Tuhan (Roma 5:1). Alih-alih menjadi seteru-Nya, kita menjadi anak-anak-Nya yang kekasih, yang terhubung dengan-Nya melalui ikatan yang tak terputuskan.
Damai sejahtera Tuhan. Setelah kita diperdamaikan dengan Bapa melalui iman dalam Kristus, kita dapat memiliki kaki kedua dari bangku damai yang berkaki tiga itu – damai sejahtera Tuhan, yang memelihara hati dan pikiran kita (Filipi 4:7). Damai sejahtera ini bukan hal yang bisa kita hasilkan sendiri dengan latihan-latihan relaksasi atau berpikiran positif. Damai sejahtera Tuhan adalah hasil karya Roh Kudus yang tinggal di dalam kita (Galatia 5:22-23).
Tuhan sudah menyediakan segala yang diperlukan untuk kita mengalami damai di hati dan pikiran. Karena itu, jika roh kita tetap gelisah, kita perlu memeriksa diri. Karena damai sejahtera Kristus tidak dipengaruhi oleh segala situasi, maka persoalannya tentu bukan lagi pada situasi, tetapi pada respons kita terhadap situasi itu. Kita mungkin masih menyimpan sikap-sikap, pola-pola pikir atau perasaan-perasaan berdosa yang merampas damai sejahtera kita. Kemarahan, ketidaksabaran, kepahitan, kegeraman dan kecemasan adalah tanda kita sedang tidak berjalan dalam Roh.
Paulus berkata, “Keinginan daging adalah maut, tetapi keinginan Roh adalah hidup dan damai sejahtera” (Roma 8:6). Setiap kali pikiran, keinginan dan harapan kita tidak sejalan dengan Roh, kita bertentangan dengan-Nya dan tidak mengalami damai. “Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging — karena keduanya