Kasih Karunia Dalam Bintang-Bintang
(Kayla Yiu)
Bagaimana hal-hal di dunia mengarahkan kita ke surga
Apa sebenarnya yang dimaksud [Paulus] tentang mengarahkan pikiran kepada hal-hal yang di atas? Nah, di dalam kitab Amsal ada perkataan, “Seperti seorang laki-laki atau seorang perempuan berpikir di dalam hatinya, seperti itulah ia.” Artinya, apa yang Anda dan saya pikirkan, itulah yang akan kita ujudkan. Apa yang paling kita inginkan dalam kehidupan, itulah hal yang akan kita kejar paling keras, dan apa yang paling mendapat kasih dan perhatian kita, itulah yang akan menjadikan kita seperti apa nantinya.
Sulit melihat bintang-bintang dari teras rumah saya. Jika tidak dikalahkan oleh sinar lampu-lampu toko di seberang jalan, pasti akan terhalang oleh cahaya remang-remang kota saya. Meskipun bintang-bintang itu selalu berada tinggi di atas, hanya ketika saya meninggalkan rumah, saya bisa melihat keindahan kemilaunya. Dan pemandangan penuh bintang yang jelas itu tak pernah gagal menarik perhatian natur spiritual saya sendiri dan Tuhan yang ajaib yang menciptakannya. Dengan tanah berpijak yang keras di kaki saya dan bentangan berkelap-kelip di atas kepala, saya diingatkan bahwa dunia yang saya diami ini bobrok dan juga kudus.
Bagaimana kita menyeimbangkan keduanya? Saya sering memikirkan perintah Paulus kepada orang-orang percaya di Kolose: “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi” (Kolose 3:2). Meskipun kata-kata sang rasul membangkitkan gambaran tentang langit malam yang berkilauan secara harafiah, ia tidak bermaksud kiasannya berhenti di sana. Hal-hal yang “di atas” yang ia maksudkan adalah hal-hal surgawi atau—berdasarkan contoh-contoh lain dari bahasa Yunani aslinya, anó—kerajaan Tuhan atau panggilan tertinggi kita. Tetapi di luar konteks, ayat ini tampaknya dapat melemahkan arti kehadiran kita sehari-hari di bumi ini.
Di dalam kitab Injilnya, rasul Yohanes menggunakan kata anó untuk menggambarkan Yesus. Pada saat itu, Lazarus telah mati selama empat hari, dan semua orang berduka: Yesus, kehilangan sahabat; Maria dan Marta kehilangan saudara kandung—serta harapan mereka pada Mesias yang diharapkan akan menyelamatkan saudara mereka. Jadi, sebagaimana yang diceritakan, Yesus pergi ke makam Lazarus, menunggu batu itu digulingkan, dan sebelum Lazarus bangun, Yesus menengadah ke atas dan berkata: “Bapa, Aku mengucap syukur kepada-Mu, karena Engkau telah mendengarkan Aku” (Yohanes 11:41). Pada saat kritis ini, mengapa Yesus mengarahkan pandangan-Nya, anó , ke langit biru? Meskipun kita tahu bahwa surga belum tentu berada di atas kita, bagaimana jika Yesus—yang juga manusia sejati seperti saya— memikirkan Bapa-Nya dengan memandang ke awan yang berarak? Mungkin sudah sifat alami kita, yang diciptakan oleh Tuhan, untuk memikirkan Dia ketika kita melihat sesuatu yang tak dapat dijelaskan.
Di sini Yesus terperangkap dalam situasi penuh kehancuran di bumi dan penebusan surgawi—sama seperti yang sering dialami orang-orang percaya. Dan dalam menghadapinya, Dia menghayati kesedihan nyata yang ada di hadapan-Nya, memandang ke atas, dan mengucap syukur kepada Bapa untuk kebangkitan yang akan terjadi. Kemungkinan inilah contoh tentang bagaimana kita juga dapat mengalami identitas surgawi maupun duniawi. Meskipun hanya Yesus yang dapat mencapai keseimbangan dengan sempurna, momen keintiman antara Bapa dengan diri-Nya menjadi pengingat bahwa, dengan perspektif yang benar, dunia fisik dapat membantu menempatkan kasih dan perhatian kita pada Tuhan. Entah itu kesedihan-kesedihan kita sebagai manusia atau misteri penciptaan, segala sesuatu dapat membuat hati kita terarah ke surga, jika kita membiarkannya. Semoga kita tidak pernah mengabaikan yang satu demi yang lain, tetapi selalu mengingat bahwa keduanya bisa menyatu. Dan semoga rasa sakit yang ditimbulkan teman atau pun orang lain membawa kita kepada saat dalam kehidupan Yesus ini, agar kita juga ingat untuk duduk bersama mereka sejenak, memandang ke atas, dan berkomunikasi dengan Bapa.