Relung Hati Yang Tersembunyi
(C. Lawrence)
Anda tak perlu pergi ke mana-mana untuk mencari Kerajaan Tuhan.
Sekarang pun Tuhan sedang menarik Anda mendekat kepada-Nya. Dia ingin Anda mengenal Dia dengan baik – mengalami kasih dan kehadiran-Nya yang nyata di relung jiwa Anda yang terdalam. Tuhan punya kebenaran-kebenaran yang hendak disampaikan-Nya pada Anda – pelajaran-pelajaran yang akan diajarkan Roh Kudus-Nya pada Anda hanya ketika Anda mengambil waktu untuk berdiam diri terfokus pada-Nya … Jangan sia-siakan berkat luar biasa dari mengenal Tuhan ini dengan Anda benar-benar tinggal di hadirat-Nya. Tidak ada sukacita yang lebih besar, tidak ada pembangkit semangat yang lebih hebat, dan tidak ada penggunaan waktu yang lebih berharga, selain saat Anda mengalami Dia.
“Carilah dahulu kerajaan Tuhan”—perintah yang disampaikan Yesus ini merupakan salah satu ayat pertama yang saya hafalkan dari Alkitab (lihat Matius 6:33). Saya terus membawanya dalam hidup saya, dari remaja sampai dewasa, dari bujangan sampai menikah dan menjadi ayah. Dan selama saat itu, saya membayangkan tindakan mencari ini sebagai serangkaian disiplin atau latihan rohani – perilaku-perilaku hidup sebagai orang Kristen masa kini. Berdoa, melakukan pendalaman Alkitab, menjadi pemimpin di gereja, mengikuti perjalanan-perjalanan misi dan mengadakan proyek-proyek pelayanan, bahkan membersihkan gedung gereja —belum lagi mengatur perilaku – menjadi hakikat dari menjadi bagian dalam kerajaan Tuhan.
Jika tidak jelas mengapa hal ini menjadi masalah, saya sudah menyadarinya lama kemudian bahwa meskipun hal-hal ini berpotensi membantu pengudusan saya, hal-hal ini berkaitan dengan bagian eksternal yang berbatasan (jika tidak sepenuhnya) dengan performa (penampilan atau perbuatan). Suatu cara hidup, bergerak, dan menunjukkan diri saya yang terlepas dari Tuhan, meskipun semua itu dilakukan dalam lingkup umat-Nya. Tetapi untuk siapa saya melakukannya?
Jika Anda mengajukan pertanyaan itu pada saya bertahun-tahun yang lalu, jawabannya, tentu saja, adalah Tuhan. Dan itu sebagian benar. Saya memang sudah mengenal Tuhan secara pribadi dan mengalami kehadiran-Nya—pimpinan Roh Kudus. Meskipun dalam keadaan yang lebih sadar dan rentan, diri saya yang bertahun-tahun lalu itu akan mengakui bahwa upaya-upaya itu juga untuk kebaikan orang-orang di sekitar saya—mata orang tua dan teman-teman, para pendeta dan orang percaya lain yang mengamati. Proporsinya akan bergeser dan berubah seiring musim-musim kehidupan, tetapi yang perlu waktu bertahun-tahun untuk menyadarinya adalah bahwa pengamat utamanya bukanlah Tuhan atau komunitas, tetapi pengamat yang satu itu. Diri sendiri. Ego. Seseorang yang jarang, jika pernah, menutup matanya.
Untuk membayangkan bagaimana Tuhan atau orang lain memandang saya, secara disadari atau tidak, seringkali merupakan latihan membiarkan diri sendiri melihat kembali keserupaan diri sendiri—bukan Tuhan yang nyata yang mengasihi saya. Berhala, dengan kata lain – hanyalah sudut pandang saya yang lain yang memandang saya – seperti memandang cermin dengan seseorang lain di belakang saya, kilasan-kilasan ego yang tak ada habisnya yang menjadi semakin kecil dan redup. Jika ada pengamat, pengamat itu pada akhirnya adalah satu penampakan tak terhalang yang melihat dan berbicara seperti saya. Hasil akhir dari seluruh kehidupan-sebagai-performa ini adalah kelelahan semata yang menghasilkan suatu bentuk yang tercela—jika tidak tentang diri saya sendiri, ya tentang kegagalan Kekristenan yang saya tahu akan membawa saya kepada hidup berkelimpahan yang dijanjikan kepada saya. Tentang bagaimana kerohanian saya yang tegang “mencekik” kasih karunia dan damai sejahtera dalam hati saya, seperti pohon ara yang mendambakan hujan.
Membaca Alkitab, berdoa, dan melayani orang lain bukanlah masalahnya. Tetapi, sayalah yang telah salah mengartikan sarana sebagai tujuan pada level yang mendasar, tanpa menyadari bahwa pencarian saya akan persetujuan merupakan kehausan yang terdistorsi dalam relasi kasih yang tanpa syarat. Bahwa distorsi itu dapat menyamarkan dirinya sebagai relasi yang pokok dengan Tuhan sedemikian lama adalah bukti dari sifat kesombongan yang berbahaya dan bagaimana komunitas-komunitas gereja terkadang menghargainya, menjunjung tinggi dan memuji hal-hal yang eksternal daripada formasi spiritual yang benar. Bertahun-tahun kemudian saya memahami bahwa mencari kerajaan tak lain adalah mencari kehadiran Tuhan—Dia yang selalu tinggal di dalam kita, bahkan ketika kita tidak tinggal di dalam Dia—di relung hati yang tersembunyi. Kualitas hidup dalam kerajaan-Nya— surga ini, taman kehadiran-Nya ini —adalah cinta kasih tetapi juga damai sejahtera. Dan apa lagi damai sejahtera dalam kehidupan Kristen itu jika bukan relasi dengan Yesus Kristus?
Kita terlalu mudah menerima hal-hal yang palsu, tiruan-tiruan, dalam kehidupan masa kini: waktu istirahat, liburan, rumah yang tenang yang jauh dari permasalahan orang lain. Tiruan-tiruan ini dapat mengambil berbagai macam bentuk, dan keluar masuk hidup kita dengan ketulusan angin sepoi-sepoi musim semi. Tetapi Kristus tidak pernah berubah—janji-Nya untuk menyertai kita sampai akhir zaman tetap teguh (Matius 28:20).