Biarkan Alkitab Berbicara Untuk Dirinya Sendiri
(Kayla Yiu)
Ketika kita berasumsi lebih sedikit tentang Alkitab, kita belajar lebih banyak tentang Tuhan.
Tahukah Anda bahwa Alkitab tidak menyebutkan hewan apa pun pada adegan di palungan? Meskipun ide ini masuk akal, mengingat konteks budaya zaman itu, firman Tuhan tidak berkata apa-apa tentang hal itu – dan adegan Kelahiran yang kita tampilkan pada saat Natal adalah spekulasi belaka. Ada banyak hal lain yang tanpa disadari kita bawa ke dalam Alkitab, seperti asumsi tentang domba-domba dan unta-unta ini. Memang hal yang manusiawi untuk memasukkan diri dan pengalaman kita – serta yang mungkin kita ketahui tentang sejarah – ke dalam segala sesuatu yang kita baca, termasuk Alkitab. Ambillah contoh tentang pemimpin muda yang kaya yang datang pada Yesus: dalam semua versi perumpamaan itu, ketika ia mendengar perkataan Yesus, dikatakan ia lalu pergi dengan sedih, sehingga kita berasumsi ia memilih mempertahankan seluruh harta kekayaannya. Padahal teks itu tidak pernah berkata ia mempertahankan kekayaannya, atau berkata ia membagi-bagikan hartanya. Karena kita tidak bisa memastikan salah satu dari tindakan itu, kita seharusnya membaca cerita itu dengan membayangkan kedua akibat tindakan itu serta implikasinya.
Pikirkan tentang wanita di tepi sumur di Yohanes 4:1-45. Teks Alkitab mengatakan bahwa Yesus bertemu dengan seorang wanita yang sedang menimba air di sebuah sumur di Samaria. Dalam percakapan mereka, Yesus berkata, “Engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu bukanlah suamimu.” (Yohanes 4:18). Mudah sekali untuk membaca perkataan Yesus sebagai tuduhan atau penghakiman daripada penerimaan tentang fakta itu. Dan tidak sulit untuk pikiran kita mulai memenuhi celah-celah yang kosong. Jika wanita itu sekarang tinggal bersama laki-laki yang bukan suaminya, kita mungkin mulai berlogika, maka kelima pernikahannya itu pasti berakhir karena perilaku dosa. Bagaimana lagi seorang wanita sampai berganti lima suami? Padahal, bagaimana jika kita tidak cepat-cepat menghakimi dan membaca lagi Yohanes 4? Alih-alih berasumsi tentang pergaulan bebas, mari kita pertimbangkan tentang kemungkinan kisah hidup wanita itu jauh lebih rumit dari yang kita duga sebelumnya.
Mempelajari sejarah akan menolong dalam hal ini: Pada zaman wanita Samaria itu, pernikahan bukanlah awal dari sebuah kisah cinta, tetapi suatu perencanaan ekonomi, perpindahan properti – khususnya kaum wanita dan maharnya. Dan perceraian juga kurang lebih sama. Jika seorang suami ingin menceraikan istrinya karena suatu alasan, ia dapat melakukannya, dengan sedikit atau tanpa konsekuensi. Tetapi sebaliknya, seorang istri tidak dapat menceraikan suaminya—ia hanya dapat memintanya (yang jarang terjadi, mengingat risiko finansial), dan keputusan pada akhirnya tergantung pada suaminya. Secara keseluruhan, jauh lebih banyak istri yang menjadi janda karena suaminya meninggal daripada karena perceraian.
Dengan rentang usia yang signifikan antara laki-laki yang lebih tua dan istrinya yang masih muda, plus usia harapan hidup yang lebih pendek, kematian para suami sering membuat para janda mencari stabilitas ekonomi. Kita melihat hal ini terjadi berulang kali di sepanjang Alkitab, seperti pada Tamar (Kejadian 38:1-19), Naomi, Rut, dan Orpa (Rut 1:1-5). Selain itu, jika seperti beberapa keluarga wanita Samaria yang menganut versi pernikahan tradisi lama, sebagai janda ia akan diminta untuk menikahi kerabat dekat laki-laki. Dan jika kerabat itu sudah berusia lanjut, kematiannya bisa membuat janda itu berpindah dari laki-laki yang satu ke laki-laki yang lainnya dalam keluarga itu.
Kerumitan semakin parah jika kita menggali lebih dalam. Sebagai contoh, di Romawi kuno dan wilayah-wilayahnya, hidup bersama sebagai suami istri (tanpa menikah) merupakan sumber perlindungan dan keamanan bagi banyak orang, terutama bagi orang-orang seperti para budak yang tidak diperbolehkan menikah resmi. Stephanie Coontz dalam bukunya, Marriage: A History mengatakan bahwa “tidak ada surat nikah, dan perbedaan istilah masa kini antara “kumpul kebo” dan pernikahan tidak diketahui.” Selain itu, “tuntutan-tuntutan berat dalam mengurus rumahtangga di negara-negara kuno praktis mendorong orang untuk ‘kumpul kebo’. Rumahtangga dengan satu-orang benar-benar tidak dapat bertahan.”
Sehubungan dengan wanita Samaria di tepi di sumur itu, boleh jadi ia sedang dalam keadaan putus asa – dengan tidak adanya lagi kerabat laki-laki yang tersisa yang dapat dipilih, kumpul kebo bisa menjadi satu-satunya jalan untuk bertahan. Mungkin alasan laki-laki yang bukan suaminya itu tidak mau menikahinya secara resmi adalah karena ia mandul. Atau, apakah kebersamaan mereka itu ilegal karena laki-laki itu warganegara Romawi dan ia berasal dari kalangan masyarakat yang lebih rendah? Kita benar-benar tidak tahu. Semua ini hanya spekulasi yang dipelajari, tetapi dalam banyak hal, alasan tentang situasi kehidupan wanita Samaria itu tidak penting. Pada akhirnya, bagaimana ia berdosa tidaklah penting. Yang benar-benar penting di sini, seperti semua hal dalam Kitab Suci, adalah apa yang diungkapkan cerita itu tentang Tuhan.
Dengan membaca kembali Yohanes 4, dan menerima kemungkinan bahwa wanita di tepi sumur itu sudah diceraikan dan menjadi janda berulang kali, kita bisa melihat dimensi lain dalam karakter Tuhan terungkap. Alih-alih mendengarkan “tuduhan,” atau memberi kesan tentang Tuhan yang mahatahu yang menangkap basah seorang yang berdosa, kita menemukan Juru Selamat yang mahatahu dan lembut, yang mengetahui, mengerti dan merasakan penderitaan. Ketika Yesus menyebutkan banyak suami wanita itu, kita bisa membaca perkataan-Nya itu seakan-akan Dia berkata, Aku tahu engkau memiliki hidup yang sulit dan membingungkan, yang penuh dengan kesedihan. Aku mengerti yang kaualami.
Entah karena perzinahan, atau perjandaan, atau penjelasan lainnya, satu hal yang pasti adalah – wanita di tepi sumur Samaria itu adalah manusia yang tidak sempurna seperti kita semua, dengan segala kesalahan, kebiasaan buruk, dan kecenderungan tidak baik di masa lalu. Dan ketika Yesus, Orang yang benar-benar asing itu, menyebutkan detail-detail mendalam tentang hidupnya, ia dilihat dan dikenal sepenuhnya, semua kehidupan baik maupun buruknya terungkap. Hal ini bisa menakutkan, tetapi wanita itu justru “meninggalkan tempayannya di situ lalu pergi ke kota dan berkata kepada orang-orang yang di situ: ‘Mari, lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia itu Kristus?’” (Yohanes 4:28-29). Dianggap banyak orang sebagai penginjil yang pertama, wanita di sumur itu merupakan contoh yang untuk kita teladani. Biarlah kita juga benar-benar bertobat, dihiburkan dan diberi keberanian oleh pengetahuan Tuhan yang mendalam tentang kita.