Teman Di Tempat Gelap
(Kimberly Coyle)
Rasa takut adalah hal yang umum, dan bersyukurnya, begitu pula dengan kehadiran Tuhan yang menghibur.
Rasa takut adalah kebalikan dari iman. Ungkapan populer ini, yang dikenal di kalangan gereja, memberikan solusi sederhana bagi kita yang bergumul dengan rasa takut sehari-hari. Sejak kecil, saya sudah diajarkan bahwa jika saya cukup percaya, rasa takut akan sirna seperti kabut di bawah sinar matahari pagi. Ketika situasi menakutkan muncul, saya mencoba memikirkan jalan keluarnya, berusaha keluar dari situasi itu, dan mendoakannya—tetapi rasa takut tetap ada. Sepertinya iman saya lebih kecil dari biji sesawi, karena sudah puluhan tahun saya mengalami keraguan, penderitaan batin, mimpi-mimpi buruk dan tidur yang tak nyenyak.
Sekarang, setelah membesarkan tiga orang anak dan mengamati bagaimana mereka mengalami rasa takut, saya menemukan perspektif baru tentang kegelisahan saya sendiri. Ketika anak-anak saya merasa takut, saya tidak berharap mereka berpikir atau merasakan yang lain. Saya tidak memberikan jawaban-jawaban keliru yang menuntut mereka memikul beban rasa takut di bahu kecil mereka sendiri. Mereka perlu mengungkapkan kegelisahan-kegelisahan mereka dan menerima kasih sebagai balasannya. Ketika mereka takut, mereka memerlukan saya merespons dengan pelukan, tatapan mata, dan jaminan bahwa dengan kehadiran saya mereka aman. Di hadapan kasih, rasa takut kehilangan kekuatannya.
Dinamika dengan anak-anak saya menjadi pengingat bahwa rasa takut bukanlah kebalikan dari iman; rasa takut adalah kebalikan dari kasih. Iman bukanlah seperti plester yang dapat kita tempelkan di luka kita, tetapi kasih? Kasih adalah balsam. Salep. Obat yang menyembuhkan, bukan yang menyembunyikan luka. Ketika kita menyadari rasa kasih kita sendiri sebagai anak Tuhan, kita dapat menerima kasih yang menemani kita di tempat-tempat gelap dan menakutkan.
Kecenderungan kita, ketika kita merasa takut, adalah mencari pintu keluar secepat mungkin. Kita memakai segala macam pengalih rasa sakit yang ditawarkan kehidupan modern —kesibukan, makanan, minuman, belanja-belanja, atau berselancar di layar/dunia maya—untuk mengatasi ketidaknyamanan. Kita ahli dalam seni melarikan diri. Tetapi mati rasa dan pelarian hanya memberi kelegaan jangka pendek atau sementara. Kita juga tidak bisa melontarkan satu ayat Alkitab tertentu atau perkataan yang terdengar-rohani kepada ketakutan kita.
Sebaliknya, kita dapat membaca Kitab Suci untuk memahami karakter Tuhan saat Dia bekerja pada orang-orang yang merasa takut, orang-orang yang menderita, orang-orang yang terbelenggu dalam dosa, penyakit atau pandangan religius tertentu. Ketika Yakub menghabiskan malam yang menggelisahkan di tempat sunyi sebelum bertemu saudaranya yang sudah berpisah lama, Esau, ia tidak sendirian. Ia bergumul dengan malaikat dan menamakan tempat pergumulan itu “Peniel”, yang berarti “wajah Tuhan.” Yakub telah melihat Tuhan “berhadapan muka” dan hidup untuk menceritakan hal itu (Kejadian 32:30). Lalu, di dalam kisah Keluaran yang luar biasa, bangsa Israel tak pernah dibiarkan mengurung diri sendiri di padang kegelisahan mereka. Tuhan selalu hadir, memberikan bukti penyertaan-Nya dengan tiang api pada malam hari dan tiang awan pada siang hari. Kisah di atas ada di antara kisah yang tak terhitung banyaknya tentang penyertaan Tuhan dalam Alkitab – penyertaan yang mencapai puncaknya dalam inkarnasi Yesus Kristus dan penyertaan Roh Kudus. Cerita sentral iman kita adalah keyakinan bahwa Tuhan menyertai kita, terutama di tempat-tempat yang paling gelap dan menakutkan kita.
Terkadang ketakutan kita berasal dari imajinasi tentang suatu bencana di masa depan, dan kadang hal yang paling kita takutkan itu menjadi kenyataan: Diagnosis penyakit terminal. Anak yang menolak iman. Kehilangan pekerjaan. Peristiwa traumatis yang mengubah segala sesuatu.
Tetapi apa pun yang terjadi, Kristus ada di sana menunggu kita dengan kehadiran dan penyertaan-Nya. Kita tidak sendirian. Ketakutan itu nyata, tetapi Kasih yang adalah Diri-Nya sendiri menyertai kita sampai pada akhir zaman.