Penderitaan Yang Tidak Kita Lihat
(Tim Rhodes)
Kita terus-menerus mendengar tentang penderitaan di seluruh dunia, tetapi bagaimana dengan yang di sudut belokan itu?
Saat itu pertama kalinya saya berada di Arizona, dan saya tersesat. Saya sedang bertugas untuk mencari cerita yang akan datang dan mewawancarai seorang wanita yang mendirikan organisasi nirlaba untuk orang-orang yang mengalami tak punya rumah di pusat kota Phoenix. Tetapi saya sepertinya tidak bisa menemukan alamatnya. Berkelok-kelok melewati jalan-jalan yang ramai di tengah kesibukan jam makan siang akhir pekan, saya merasa kerdil di sekitar gedung-gedung pencakar langit.
Saya berbelok di sebuah tikungan dan tiba-tiba saya mendapati diri saya berada dalam realita yang berbeda. Gedung-gedung pencakar langit sudah tidak ada, dan sebagai gantinya terhampar deretan tenda dan kanopi terpal. Pakaian-pakaian tampak disampirkan di pagar-pagar besi. Orang-orang lalu lalang dengan sepeda atau kereta belanja sambil membawa tas atau kardus berisi barang-barang. Saya terkejut dengan kontrasnya pemandangan dari lingkungan yang baru saja saya lihat kurang dari satu menit sebelumnya. Fotografer kami tiba dan berkata, “Wow. Saya tinggal 10 menit dari sini tetapi saya tidak tahu ada yang seperti ini.”
Ketika saya kembali ke Atlanta, tempat saya tinggal selama 15 tahun terakhir, saya bertanya-tanya bagaimana mungkin hal itu tersembunyi di antara hal-hal yang menonjol itu. Saya tahu statistik tentang orang-orang yang tidak punya rumah dan memberi perhatian pada berbagai pelayanan di seluruh kota itu. Tetapi apakah saya mengenal seseorang, secara spesifik dan mengetahui namanya, dalam situasi itu?
Seringkali Alkitab dapat terasa samar-samar dan di luar jangkauan kita ketika kita harus memerhatikan dengan cermat bahasa aslinya, pembaca yang dituju, budaya pada saat itu, dan bahkan genre kitabnya. Tetapi di dalam kitab-kitab Injil dan perkataan Yesus, Dia sangat jelas tentang bagaimana kita harus mewujudkan kasih-Nya di bumi. Perintah-perintah-Nya sederhana dan tidak bertele-tele.
Bahkan, di bagian menjelang akhir Injil Matius, Yesus dengan jelas dan sespesifik mungkin menjelaskan bagaimana kelak adegan perjumpaan pertama kita dengan Tuhan Yang Maha Tinggi. Kita semua tahu ayat-ayat itu:
“Dan Raja itu akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanan-Nya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. … Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Matius 25:34-40)
Kelak ketika kita berdiri di hadapan Bapa, kita tidak akan ditanya tentang apa teologi atau doktrin tertentu yang kita anut, tetapi hanya siapa yang telah kita beri makan? Siapa yang telah kita beri pakaian? Siapa yang kita sambut? Siapa yang kita pedulikan? Dan meskipun Yesus sedang berbicara kepada para pengikut-Nya, belas kasihan semacam ini bukan untuk ditujukan bagi orang percaya saja. Perumpamaan seperti Orang Samaria yang Baik Hati mengungkapkan bahwa tidak ada orang yang tidak termasuk dalam jangkauan perhatian kita—sekalipun itu orang yang kita anggap musuh.
Perintah yang berulang-ulang untuk mempedulikan orang-orang yang membutuhkan datang dari seluruh teks Alkitab. Bahkan di ayat-ayat Perjanjian Lama, seperti Zakharia 7:8-10, sangat jelas bahwa Tuhan ingin kita bergerak mendekati kaum marginal, bukan menjauh: “Firman Tuhan datang lagi kepada Zakharia, bunyinya: Beginilah firman Tuhan Semesta Alam: ‘Tegakkanlah hukum yang benar dan tunjukkanlah kasih setia dan kasih sayang satu sama lain; Janganlah menindas janda dan anak yatim, pendatang dan orang miskin; dan janganlah merancang kejahatan dalam hatimu satu terhadap yang lain.’”
Saya menyadari bahwa, entah karena situasi atau disengaja, rutinitas saya sehari-hari membuat jarak antara saya dan orang-orang yang dalam kesusahan—dan ini terjadi pada banyak dari kita. Entah kita melewati sebuah penjara, daerah terpencil yang hampir tak dapat diakses, atau komunitas yang tak punya rumah yang terasing di bagian kota yang diabaikan, hidup kita berjarak dari individu-individu yang secara khusus Kristus perintahkan untuk dilayani oleh para pengikut-Nya. Bagaimana kita dapat memenuhi panggilan ini jika gaya hidup kita bertentangan dengan perintah ini? Bagaimana kita dapat saling menanggung beban jika kita tidak dekat atau memiliki relasi?
Kasih yang Kristus harapkan dari kita membutuhkan kesadaran yang disengaja terhadap orang-orang di sekitar kita, dan kemauan untuk melakukan belokan-belokan kecil ke sudut lain, seperti yang saya dan fotografer saya alami di Phoenix. Mengasihi sesama berarti berada cukup dekat untuk memahami kesusahan mereka.