Hidup Anda Membuat Tuhan Senang

(Kimberly Coyle)

Diri Andalah—bukan performa Anda—yang menyenangkan Tuhan

Musim semi dan musim gugur di masa kecil saya ditandai dengan suara halaman buku yang dibalik. Sementara saya bersembunyi di dalam, anak-anak tetangga lainnya berkumpul untuk bermain kejar-kejaran, sepak bola, atau menendang kaleng. Saya menyadari sejak kecil bahwa saya kurang memiliki dorongan untuk berkompetisi dan berkoordinasi, yang berada dalam batas antara lucu dan tragis. Jadi suara-suara tawa yang terdengar di lapangan hijau di luar dapur kami tidak cukup untuk menggoda saya untuk berhenti membaca.

Musim panas berbeda. Sejak kolam renang di lingkungan kami dibuka, suara saya menyatu dengan paduan suara anak-anak yang berteriak “Lihat aku” dan tawa yang bergema di air yang mengandung klorin. Kolam renang adalah tempat saya merasa unggul, di mana tiba-tiba tangan dan kaki saya akan bergerak sesuai dengan yang saya harapkan. Saya menjadi ikan. Putri duyung. Lumba-lumba.

Di antara es loli, bersandar di kamar mandi, dan kompetisi-kompetisi menahan napas, saya akan berdiri di tepi ujung kolam renang dengan punggung menghadap ke air. Berkali-kali, saya akan mengangkat tangan saya, melengkungkan punggung, dan mendorong dengan jari-jari kaki mengikuti busur langit saat saya terjun mundur ke dalam air. Itu adalah gerakan terbaik yang saya tahu yang membuat saya merasa seolah-olah saya memiliki kekuatan super seorang anak kecil.

Kolam renang adalah sumber kegembiraan di masa kanak-kanak saya sehingga pada tahun pertama saya di sekolah menengah, saya bergabung dengan tim renang. Namun saya langsung menyadari bahwa saya tidak cocok untuk kompetisi renang. Saya menjadi takut dengan bel sekolah terakhir, yang menandakan sudah waktunya untuk latihan. Saya berenang putaran demi putaran di kolam renang dalam ruangan yang remang-remang, tertinggal di belakang teman-teman satu tim dan bertanya-tanya ada apa dengan diri saya.

Lalu, ketika pemeriksaan fisik rutin menunjukkan adanya potensi detak jantung yang kurang normal, saya bolos latihan untuk pemeriksaan lebih lanjut. Hasil ultrabunyi tidak meyakinkan, tetapi saya menggunakan hasil itu sebagai strategi untuk keluar dari kompetisi renang. Sungguh menyakitkan melihat wajah teman-teman satu tim ketika saya ditugaskan untuk lari estafet, terus-menerus bereaksi tergagap dan kelelahan di putaran terakhir, dan mendapati diri saya hanya berada di posisi terakhir. Kegembiraan yang pernah saya alami di air sudah sirna.

Pengalaman bersama tim renang di sekolah menengah inilah yang menghantui saya beberapa dasawarsa kemudian, ketika suami saya memutuskan untuk membuat kolam renang di halaman rumah untuk ketiga anak kami. Saya jarang bergabung dengan keluarga saya di dalam air. Namun sesekali, teriakan dan cipratan air mereka menyambut saya dengan ramah di dapur dan membangkitkan kenangan lama tentang masa-masa “putri duyung” itu.

Suatu sore, atas dorongan suami, saya mengenakan pakaian renang dan mencoba masuk lagi ke kolam renang. Michael menyemangati saya dari pinggir kolam ketika saya perlahan-lahan mengangkat tangan dan membuat lekukan panjang dengan tubuh saya, melengkung dari bawah ke atas di dalam air. Dengan penyelaman yang sekali itu, saya melihat bahwa saya tetaplah gadis dengan gaya renang yang indah, dan ia tetap adalah diri saya. Saya tidak hanya merasakan sukacita dalam satu kali penyelaman itu, tetapi saya juga merasakan bahwa hidup saya membuat Tuhan senang.

Saya tidak tahu apakah saya akan mencoba lebih banyak berenang lagi musim panas ini. Mungkin sudah cukup untuk mengetahui bahwa saya bisa kembali terhubung dengan bagian-bagian diri saya yang menyenangkan yang sempat hilang dalam kerasnya realitas hidup. Saat saya memikirkan “si putri duyung” itu, saya tak bisa tidak menahan senyum. Penemuan-kembali ini mengingatkan saya bahwa ada banyak kebaikan yang bisa didapatkan kembali dari diri saya yang dulu, saat masih lebih muda. Saya tetaplah gadis itu, dan ia menyukakan hati saya.